Kontestasi Pemilihan Umum bulan April mendatang diwarnai dengan berbagai macam variasi dan jalan dalam rangka memperoleh kemenangan. Salah satunya doa yang dirapalkan oleh Neno Warisman pada acara Munajat 212 yang digelar pada hari Kamis, 21 Februari 2019 di Monas.
Dalam doanya, Neno menyebutkan bahwa jika Pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden yang tersebut dalam doanya kalah dalam pilpres mendatang, mereka khawatir Tuhan tidak akan ada yang menyembah lagi.
Doa ini tidak perlu ditafsirkan dari sisi politis, sebab secara eksplisit telah jelas bahwa doa tersebut dimaksudkan untuk kemenangan jagoannya. Memang, dalam hal demokrasi, menurut saya, hal inisah-sah saja.
Hak untuk memilih dan kemudian mendoakan kemenangannya tidak pernah dilarang dalam Islam, apalagi untuk kemaslahatan bangsa. Akan tetapi, doa ini harus dilihat pada tataran etika Islam.
Namun, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Adab fi Ad-Din menjelaskan bahwasannya ada lebih dari sepuluh etika dalam berdoa, di antaranya adalah merendahkan diri disertai keyakinan atas dikabulkannya sebuah doa. Merendahkan diri adalah poin utama yang harus dimiliki si pendoa dalam mengutarakan pintanya.
Pendoa harus sadar diri bahwa ia sedang menyandang predikat sebagai seorang “peminta” yang membutuhkan apa yang ia pinta kepada yang dipintanya. Peminta tidak bisa semena-mena bertindak, karena ia yang lebih membutuhkan. “Berdoalah kalian kepada Tuhan dengan rendah hati” (QS. 7:55).
Poin kedua ada pada keyakinan hati. Peminta harus memiliki kemantapan diri bahwa permintaannya akan diberikan. Berfikir Positifjuga merupakan sebuah pikiran yang patut ditanamkan pada diri si pendoa. Sebab tanpa keyakinan, akan muncul keputus-asaan dari dirinya dan ketidak-yakinan atas terwujudnya permintaan yang dipanjatkan. Sementara Tuhan sendiri telah mengisyaratkan, “Berdoalah kalian semua kepadaku, niscaya akan aku kabulkan kepada kalian” (QS. 40:60).
Doa Neno dalam konteks ini jauh dari etika yang seharusnya. Ia terkesan terlalu mendikte Tuhan untuk mewujudkan harapannya. Padahal, jika diibaratkan dengan pengamen atau pengemis jalanan, mau atau tidaknya kita memberi kepada mereka adalah hak kita. Tidak seyogyanya sebagai pengemis meminta-minta dengan paksaan yang berlebihan. Jika demikian halnya, justru akan menimbulkan keengganan dari si pemberi.
Jika kita memiliki keyakinan atas kuasa dan kehendak Tuhan, tentunya kita tidak membutuhkan kalimat doa yang terkesan mengancam. Terkabul atau tidaknya doa adalah hak mutlak Tuhan. Apalagi manusia, Nabi dan Malaikat pun tidak memiliki kewenangan atas itu.
Lagi pula, Tuhan tidak akan kerepotan jika tidak ada yang menyembah-Nya lagi di kemudian hari pasca pilpres. Tuhan tidak akan menganggap pilpres lima tahunan menjadi tolok-ukur disembah-tidaknya Dia. Pilpres adalah hal recehyang buat Tuhan tidak akan berdampak pada keagungan-Nya.
Akhir-akhir ini memang doa dalam rangka mendukung salah satu paslon menjadi hal yang banyak diperdebatkan. Setelah sebelumnya salah seorang ulama terkemuka Mbah Moen salah menyebut nama sehingga diingatkan dan kemudian diralat oleh beliau, kini giliran Neno Warisman yang tengah ramai diperbincangkan perihal paksaan kepada Tuhan ntuk mengabulkan doanya.
Dalam menyongsong kontestasi pemilu April mendatang, dengan menggunakan embel-embel munajat, istighatsah, doa bersama memang merupakan sebuah fenomena yang sudah tidak dapat dielakkan. Namun kegiatan keagamaan tersebut akan lebih baik jika ditujukan untuk menyongsong masa depan bangsa secara umum.
Doa memang sesuatu yang dianjurkan oleh Islam dalam hal apapun itu. Namun, tujuan berdoa bukanlah untuk meminta secara paksa, akan tetapi memohon dengan ikhlas dan penuh kerendahan. Di sisi lain, doa hanya salah satu dari bagian usaha manusia. Jauh dari itu, Allah Swt telah memiliki keputusan sendiri yang tak bisa didikte oleh siapapun, termasuk Neno Warisman.
Wallahu A’lam.