Saat diminta terlibat dalam acara Silaturahmi Nasyid: Napak Tilas Perjalanan Nasyid Indonesia, yang merupakan rangkaian Kongres Ke-1 Lembaga Seni Nasyid Insani Indonesia (LESENSI), memori saya sontak memutar jarum sejarah ke belakang, teringat lagu hits tahun 2003 “Jagalah Hati”, yang dipopulerkan oleh grup nasyid legendaris, SNada. Lagu yang ditulis oleh dai kondang Aa Gym (Abdullah Gymnastiar) ini belakangan diadaptasi menjadi jingle Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk Pemilu 2004. Para personel SNada sendiri merupakan aktivis dakwah kampus yang terafiliasi dengan Partai Keadilan (PK), sebuah partai Islam yang didirikan pada 1998 oleh para aktivis Tarbiyah. Partai ini kemudian bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2002—sebuah keputusan yang mengawali trajektori berliku dari partai Islamis menjadi partai pos-Islamis.
Nasyid adalah salah satu genre musik populer Islam yang pernah berjaya pada era 1990an dan 2000an seiring dengan gelombang “Islamic turn” yang melanda universitas-universitas sekuler di sejumlah kota di Indonesia. Genre musik Islami yang terutama namun tidak secara eksklusif bergaya a capella ini dipelopori oleh para aktivis dakwah kampus berorientasi Tarbawi dan Tahriri. Dipengaruhi oleh gelombang nasyid dari Malaysia, para aktivis dakwah kampus itu membentuk grup-grup nasyid seperti SNada, Izzatul Islam, Shoutul Harakah, Ar-Ruhul Jadid dan sebagainya. Dalam arena musik populer Islami, mereka memperkenalkan corak musik Islami yang berbeda dari bentuk-bentuk musik Islam yang lebih tradisional seperti gambus dan qasidah atau gaya musik Islami yang lebih kontemporer dan hibrida sebagaimana direpresentasikan oleh Bimbo, Soneta dan Kyai Kanjeng.
Lahir dari rahim gerakan Islamis, band-band Nasyid pada umumnya mengangkat tema-tema politik dan patriotik dalam rilisan mereka. Ini terutama berlaku untuk band-band nasyid haroki yang lebih militan seperti Izzatul Islam, Ar-Ruhul Jadid dan Shoutul Harokah. Subgenre Nasyid ini dinamai haroki karena para personelnya sebagian besar berasal dari harokah atau gerakan Islam bawah tanah (underground) seperti Jemaah Tarbiyah dan Hizbut Tahrir. Berbeda dari SNada yang lebih suka bereksperimen dengan beat hip-hop, urban, dan bentuk lain musik populer, para personel nasyid haroki seperti Izzatul Islam menyatakan bahwa suara manusia adalah satu-satunya instrumen yang diperbolehkan dalam hiburan keagamaan, dengan pengecualian rebana karena asosiasi keagamaannya yang eksplisit. Grup yang bergelar Iziz ini menggunakan nyanyian harmoni yang kuat, lirik repetitif, tempo cepat, dan lebih menyukai musik marching dengan tema-tema jihad dan perjuangan seperti Hai Mujahid Muda, Barisan Jihad, Intifadhah, Al-Aqsho Memanggil, Duka Palestina, Untukmu Syuhada dan sebagainya.
Band-band nasyid haroki cenderung mengungkapkan maskulinitas alternatif yang berbeda dari apa yang mereka anggap sebagai musik populer Barat yang dekaden. Berbeda dari rocker Barat atau rocker Indonesia tahun 80an dan 90an yang identik dengan citra feminim dalam gaya berpakaian atau penampilan mereka di atas pangung, seperti rambut gondrong dan menjuntai, band-band nasyid haroki lebih mirip dengan genre musik bawah tanah yang “hiper-maskulin” seperti metal, skate punk dan hip-hop, baik secara musikal maupun dalam perilaku mereka yang khas laki-laki. Kemiripan nasyid haroki dengan kultur musik bawah tanah juga tampak dalam beberapa konser mereka. Dalam pagelaran konser, para penonton dan musisi tidak jarang terlibat dalam aktivitas moshing, crowdsurfing, stage diving dan slam dancing sebagaimana kultur musik bawah tanah—perilaku yang ironisnya berasal dari budaya anak muda Barat.
Kekhasan lain dalam konser-konser mereka adalah mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan slogan-slogan militan. Di samping itu, para musisi dan penggemar nasyid haroki cenderung menganut etos DIY dan gaya hidup militan straight edge—gaya hidup rocker hardcore punk tahun 1980an—sebagaimana ditunjukkan oleh pantangan mereka yang hampir religius dari tembakau, narkoba, dan seks bebas. Menurut Bart Barendregt (2011), perpaduan moral straight edge dengan tema jihad dan irama militan yang ditampilkan oleh nasyid haroki itu merupakan contoh dari dinamika berkelanjutan di kalangan pemuda Muslim masa kini yang berupaya mencari ekspresi pop yang berkarakter saleh dan politis secara bersamaan.
Perkembangan musik nasyid di Indonesia pada akhir 1990an dan awal 2000an dalam beberapa hal mirip dengan tren “pop-Islamisme” yang dikemukakan Dominik Müller (2013, 2015) dalam studinya tentang perubahan orientasi budaya Parti Islam Se-Malaysia (PAS), sebuah partai Islamis di Malaysia yang serumpun dengan Partai Keadilan (PK) sebelum bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Menggunakan data etnografi yang dikumpulkan dari Sayap Pemuda PAS antara 2009 dan 2013, Müller menjelaskan bagaimana PAS telah berubah selama dekade terakhir dari kelompok yang dalam jangka waktu lama memegang citra fanatik ‘anti-modern’ yang melarang hiburan dan memusuhi budaya ‘Barat’ menjadi pelopor “hiburan Islami” (Islamic entertainment) dan kreativitas budaya pop. Meskipun demikian, pergeseran orientasi budaya Sayap Pemuda PAS itu sama sekali tidak meninggalkan agenda Islamisme klasik yang berorientasi negara. Marketisasi Islam dan antusiasme generasi muda PAS terhadap konsumsi Islami justru dimanfaatkan secara strategis sebagai sumber mobilisasi guna mewujudkan agenda Islam politik.
Müller menyebut fenomena tersebut dengan istilah “pop-Islamisme” untuk membedakannya dengan istilah “pos-Islamisme” yang diperkenalkan oleh Asef Bayat (2005, 2007, 2013). Menurut yang terakhir ini, sejak 1990-an, orientasi politik-negara Islamisme secara bertahap telah digantikan oleh fokus individual pada gaya hidup Muslim modern, dengan ideologi politik yang mengubah dirinya menjadi filosofi hidup kesalehan pribadi yang sistematis. Meskipun membedakan “lintasan kontrastif” pos-Islamisme di berbagai negara, Bayat menggeneralisasikannya dengan menyarankan bahwa “perubahan bertahap dalam sifat Islamisme” telah terjadi karena ia telah bergerak “dari proyek politik yang menantang negara ke proyek yang berkaitan dengan kesalehan personal.” Menurutnya, perkembangan ini diperkuat oleh tendensi pos-Islamis pada beberapa gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir), Hizbullah (Lebanon), dan AKP (Turki). Bagi Bayat, pos-Islamisme mencerminkan pergeseran kualitatif menuju sebuah proyek yang menekankan religiusitas, pilihan individu, dan hak asasi manusia, serta pluralitas menggantikan suara Islamis otoritatif tunggal.
Menurut Muller, narasi “peralihan pos-Islamis” (post-Islamis turn)—yang diduga sebagai akibat kekecewaan umum terhadap orientasi politik-negara Islamisme klasik sejak 1990an—tidak berlaku untuk Sayap Pemuda PAS di Malaysia. Elit Pemuda PAS secara bersama-sama menjunjung tinggi tujuan Islamisme politik yang berorientasi negara dan bahkan melakukannya dengan semangat baru. Dogmatisme Sayap Pemuda PAS sangat ambisius dalam hal membawa kembali tujuan negara Islam dan hukum Islam ke dalam agenda PAS. Oleh karena itu, jika “masyarakat pos-Islamis” (post-Islamist society) dicirikan oleh tidak adanya “seruan baru untuk mendirikan negara Islam” di kalangan generasi muda yang melek media, Sayap Pemuda PAS justru menyerukan negara Islam, meskipun seruan baru untuk negara Islam ini semakin diekspresikan melalui saluran komunikasi modern dan Islam konsumtif, seperti YouTube, Facebook, iklan selebriti dan musik pop. Hal ini membuat klaim tentang peralihan pos-Islamis di Malaysia tampak sangat diragukan.
Tren pop-Islamisme semacam itu pada dasarnya telah berkembang lebih awal di Indonesia sebagaimana tercermin dalam fenomena nasyid haroki yang dipelopori oleh beberapa aktivis Partai Keadilan di akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000an. Namun seiring dengan perubahan platform politik Partai Keadilan yang bercorak Islamis menjadi Partai Keadilan Sejahtera yang bercorak pos-Islamis, tren pop-Islamis di kalangan generasi muda partai tersebut juga cenderung memudar. Bahkan tren nasyid haroki yang militan itu sendiri tidak bertahan lama. Pasca nasyid generasi pertama, sekitar tahun 2000 ke atas muncul nasyid generasi kedua yang secara lirikal dan musikal lebih ringan. Beberapa grup yang terkenal dalam generasi kedua ini antara lain Edcoustic, Shaffix, Gradasi dan Tashiru. Pada generasi kedua ini, instrumen musik pop lebih kentara dibandingkan generasi sebelumnya. Tema-tema percintaan juga lebih banyak walaupun dengan tetap menjaga norma keislaman. Misalnya, lagu yang pertama kali membuat Edcoustic terkenal adalah lagu tentang cinta berjudul “Nantikan Ku di Batas Waktu”. Namun perkembangan nasyid sepertinya berhenti di generasi kedua ini.
Kini, di era digital yang ditandai oleh proses mediatisasi, deteritorialisasi dan pluralisasi budaya serta perubahan pola-pola produksi, distribusi dan konsumsi musik dan produk-produk kultural lainnya, peluang nasyid untuk menorehkan kembali kejayaannya sangat terbuka lebar. Meskipun demikian, untuk mengejar impian semacam itu, para pegiat nasyid perlu mendefinisikan ulang identitas dan musikalitas nasyid agar dapat diterima pasar lokal dan global yang lebih luas tanpa menanggalkan citra ‘Islami’-nya. Bentuk-bentuk ekspresi estetik nasyid perlu diperkaya melampaui cita rasa tradisionalnya sebagai band a capella maskulin yang bersandar pada doktrin teologis tertentu seputar keabsahan musik Islam. Faktanya, tidak ada konsensus dalam pemikiran Islam mengenai musik dan bentuk-bentuk ekspresi bunyi lainnya. Interpretasi restriktif seputar musik hanya mewakili salah satu tren dalam sejarah panjang perdebatan para ulama. Di luar itu, terdapat interpretasi yang jauh lebih fleksibel dari sejumlah ulama yang juga sangat otoritatif.
Istilah “nasyid” itu sendiri tidak secara eksklusif merujuk pada musik a capella. Secara tradisional, istilah nasyid merujuk pada genre lagu-lagu Islami yang digunakan dalam konteks religius seperti shalawat, doa, zikir atau kidung pujian (doksologi). Namun sekarang ini istilah nasyid digunakan sebagai label untuk pelbagai genre musik populer Islami baru, yang terkadang mengikuti bentuk nasyid lama, namun sering kali tidak. Gelombang baru pop-nasyid dalam kancah global tidak serta merta merupakan kelanjutan langsung dari nasyid klasik. Sebaliknya, elemen gaya tertentu dari genre tersebut, melodi dan lirik populer tertentu, dan tentu saja namanya sendiri, bercampur dengan genre musik pop, teknik pemasaran komersial, dan pengaruh tren konsumsi halal dan musik dunia.
Beberapa munsyid yang sukses secara komersial bahkan kerap menampilkan nasyid dalam format orkestra, kadang-kadang dengan penyanyi pria dan wanita. Di antara yang paling populer adalah Sami Yusuf, Maher Zain, Mesut Kurtis, Raihan dan Rabbani—dua yang terakhir ini merupakan grup nasyid dari Malaysia. Para munsyid ini tidak kalah beken dibandingkan para superstar dunia di kancah musik populer sekuler. Sebut saja Maher Zain. Penyanyi, penulis lagu, dan produser musik asal Swedia berdarah Lebanon ini diikuti oleh lebih dari 28 juta orang di Facebook, 7 juta di Instagram dan 5 juta di YouTube. Sebagai perbandingan, Metallica diikuti oleh 36 juta orang di Facebook, 10 juta di Instagram dan 10 juta di YouTube.
Merujuk tren tersebut, peluang para munsyid Indonesia untuk berkompetisi di pasar global pada dasarnya terbuka lebar. Jika harapan menjadi superstar global kelewat melangit, setidaknya mereka bisa menjadi ikon nasional dalam kancah musik populer Indonesia. Kendati demikian, peluang tersebut akan menjadi harapan kosong jika mereka tidak berupaya melakukan eksplorasi artistik dan penjelajahan estetik untuk menemukan bentuk-bentuk baru ekspresi nasyid yang kreatif, inovatif dan distingtif.
Terlepas dari peran gandanya sebagai media dakwah dan ekspresi seni, nasyid sebagai sebuah genre musik merupakan produk estetik yang kelangsungannya bertumpu pada imajinasi dan kreativitas. Kabar baiknya, Nusantara sebagai negeri kepulauan sekaligus melting pot pelbagai arus budaya dunia sejak era proto-globalisasi memiliki khazanah bunyi dan suara yang berlimpah, yang dapat menjadi bahan artistik dalam pengembangan nasyid Indonesia. Elemen-elemen musik lokal dan global (Arab, India, Eropa, Tionghoa dll) yang berlimpah itu seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya estetik dalam proses penciptaan. Kenapa tidak, misalnya, menciptakan bentuk-bentuk ekspresi baru seperti nasyid koplo, nasyid Melayu, nasyid hip-hop atau bentuk-bentuk nasyid hibrida yang mencerminkan perpaduan tradisi lokal dan global dengan balutan pesan-pesan Islam universal.