Nasihat Jonru Ginting untuk Umat Islam

Nasihat Jonru Ginting untuk Umat Islam

Siapa yang tidak kenal dengan sosok fenomenal Jonru Ginting? belakangan namanya banyak diperbincangkan warganet karena status-statusnya yang provokatif di media sosial.

Nasihat Jonru Ginting untuk Umat Islam

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”

Sungguh menakjubkan sekali beberapa hari lalu ketika Jhon Riah Ukur alias Jonru Ginting meneriakkan takbir dengan tangan mengepal ke atas yang sontak disambut pekikkan takbir dari sebagian peserta sidang. Heroik bin kompor gas.

Ya, persidangan yang dia jalani 8 Januari 2018 lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur merupakan buah dari pahit getirnya setelah banting tulang menebar benih ujaran kebencian di media sosial. Mulai menghina simbol negara, Presiden Joko Widodo, hingga sejumlah predikat negatif yang ia sematkan kepada ulama sekaliber Prof. Dr. M. Quraish Shihab.

Seperti diketahui, Jonru dikenai Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 A ayat 2 dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 UU RI No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 4 huruf b angka 1 juncto Pasal 16 UU RI No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 156 KUHP (detik.com, 8/1/2018).

Dalam tulisan ini, penulis mencoba berfikir apa maksud takbir dari Jonru di dalam persidangannya? Ada apa gerangan Jonru Allahhu Yarham sehingga ia merasa perlu berteriak takbir?

Saya berbaik sangka, bahwa Jonru sebetulnya sedang mengajak kita untuk merenungi kembali makna takbir. Ya, takbir yang biasa kita ikrarkan ketika sembahyang lima waktu itu.

Pada titik ini, saya jadi teringat sentilan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang mengatakan bahwa ketika takbiratul ihram dan menyeru Allahu Akbar, mestinya kita posisikan kesadaran hati dan jiwa sepenuhnya pada titik nol.

Mengapa demikian? Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat diri kita supaya merasa sangat kecil dan sadar posisi, bahwa sesungguhnya Tuhan itu Maha Besar. Bukan sebaliknya, merasa besar dan benar sendiri. Apalagi sampai membajak sifat Maha Besar itu untuk memenangkan nalar rimba egosentrisme diri sendiri.

Nah, dalam pengertian itulah saya kira, diktum “sholat itu dapat menghindarkan kita dari perbuatan keji dan negatif”  benar-benar akan terwujud. Bagaimana tidak, masih adakah ruang kebencian dalam relung sanubari kita, jika setiap orang mampu meletakkan takbir dalam tempat yang sakral nan suci dan jauh dari kesombongan, jauh dari merasa besar, jauh dari merasa benar, dan ragam jebakan perasaan lainnya?

Masalahnya, takbir belakangan ini seringkali terdengar menyeramkan. Ada semacam gejala yang menempatkan takbir tidak pada konteksnya. Akhirnya, takbir pun perlahan kehilangan ruhnya dan tak ubah sebatas yelyel demonstrasi, salvo untuk mengawali bom bunuh diri, alarm sweping, dan sebagainya.

Padahal, dengan menyadari bahwa dengan Allahu Akbar itu pada saat yang sama justru menegaskan kita itu sungguh sangat kecil di hadapan Tuhan. Jika sudah demikian, maka tidak ada alasan untuk kita saling menyombongkan diri seiring hembusan takbir yang kita dengungkan sehari-hari, setiap waktu, dan setiap kesempatan.

Bapak Jonru yang baik, hidayah tentu dari Allah Swt. Namun kita bisa memilih, mana ujaran kebencian, dan mana kata-kata hikmah yang menyejukkan. Pelajaran dari bapak kepada saya adalah, apa yang kita tanam, pasti akan kita tuai. Di dunia saja amal yang kita perbuat ada balasannya, apalagi kelak di akherat. Betul bukan? Wallahhu a’lam.

Anwar Kurniawan, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja, bisa disapa lewat akun twitter @anwarku_r