Salah Kaprah di Balik Gerutu ‘Dulu Umat Islam Melahirkan Pemikir, Sekarang kok Kofar-Kafir’

Salah Kaprah di Balik Gerutu ‘Dulu Umat Islam Melahirkan Pemikir, Sekarang kok Kofar-Kafir’

Ada miskonsepsi tentang gerutu yang selama ini kerap kita dengar, soal ketidakmampuan umat Islam melahirkan pemikir dan terjebak debat kafir melulu

Salah Kaprah di Balik Gerutu ‘Dulu Umat Islam Melahirkan Pemikir, Sekarang kok Kofar-Kafir’
Ia ada di sekitar kita dan kita tidak sadar, ia suka menyalahkan sesama walaupun ia ulama hanya karena beda pilihan politik

Saya baru saja membaca iklan buku terbaru mengenai Maturidiyah, satu aliran teologi Islam yang menjadi pegangan Ahlu Sunnah Waljamaah (Sunni) selain Asya’irah. Judulnya Transcendent God, Rational World yang dikarang Ramon Harvey, salah seorang akademisi di Inggris. Buku ini menarik dan relevan dengan tradisi di Indonesia yang memang mayoritas Sunni.

Selain itu, pada masa pandemi ini saya membaca kiprah sepasang muslim kelahiran Turki bernama Sahin dan Tureci yang terlibat dalam memecahkan problem pandemi dan membuat vaksinnya di BioNTech dan bekerja sama dengan Pfizer. Ada juga wisudawan dari Harvard University yang berasal dari Indonesia dan dapat kesempatan kasih pidato karena prestasinya di bidang kesehatan masyarakat. Namanya Nadhira Nuraini Afifa. Ia sosok muslimah yang berjilbab.

Masih banyak sekali temuan dan prestasi yang telah dibuat oleh muslim. Tetapi, saat ini masih saja ada ustadz atau kyai yang merendahkan umat Islam dengan bilang, “Dulu umat Islam melahirkan para pemikir hebat semacam Ibnu Farabi, Ibnu Rusyd dll. Sekarang justru ribut-ribut soal kofar-kafir, sosat-sesat, dll.”

Ada dua problem di sini. Pertama, diskusi dan wacana soal kofar-kafir dari dulu hingga kini terus ada. Bahkan, di kitab-kitab besar juga terdapat wacana itu. Tak perlu merasa karena ingin dianggap toleran lantas meninggalkan wacana ini. Ada banyak kitab yang merekam soal aliran-aliran dalam Islam dan senyatanya ada masuk dalam kelompok sesat dan kafir. Misalnya kitab al-Farqu bayn al-Firaq-nya Abu Manshur al-Baghdadi atau kitab Maqalatul Islamiyin-nya Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga menyinggung mana kelompok yang sahih dan mana yang tidak.

Para ulama membahas sikap dan tindakan sebuah kelompok dan mengukurnya menggunakan ukuran yang bisa diperdebatkan. Dan debat soal ini akan terus ada. Mungkin sampai sehari sebelum kiamat. Ini sudah ada di dalam al-Quran, hadis, dan kitab-kitab para ulama salaf dan shalih.

Yang perlu dipupuk dari umat adalah bagaimana bersikap terhadap yang lain. Dalam hal akidah, bisa berbeda. Tapi dalam hal muamalah, ini harus terus menerus dibiasakan bahwa umat Islam bisa dan mampu berinteraksi dan produktif dengan umat beragama lain.

Problem kedua, ustadz/kyai tersebut kurang membaca situasi terkini atau tidak mendapatkan informasi tentang perkembangan umat Islam terkini. Bahwa capaian dan prestasi umat Islam saat ini mengalami kemajuan yang luar biasa.

Di sisi lain, saya lihat dan amati, ustadz atau kyai yang memiliki cara pandang merendahkan umat begini biasanya malah karyanya biasa saja. Atau malah tidak ada karyanya. (Tidak ingin menyebut nama-nama, karena yang paling penting adalah ibrah-nya. Pelajarannya.)

Dan yang paling menarik adalah justru ustadz/kyai/ulama yang karyanya dahsyat-dahsyat itu tak pernah punya pikiran negatif terhadap umat. Bisa dilihat, misalnya, Habib Quraisy Shihab.

Dalam hampir semua karyanya, beliau selalu berpandangan positif dan mencari problem kemanusiaan dan keumatan dalam sisi yang bisa menjadi penyemangat buat umat. Bahwa perbedaan-perbedaan yang ada adalah lumrah dan wajar dan kita diminta untuk menyikapinya sebagai rahmat, kasih sayang Allah.

Mendorong umat lebih produktif bisa kok dengan cara dan pendekatan yang lebih positif. Habib Quraisy Shihab baru satu contoh, dan masih banyak sekali teladan dan contoh dari para ulama atau habib lainnya. Bukan dengan cara negatif, yang justru membuat mereka menjauh dan akhirnya bisa mengeraskan polarisasi.

Wallahu a’lam bish-showab