Nasihat Imam Al-Auza’i kepada Khalifah Al-Manshur: “Jangan Jadi Pemimpin Egois”

Nasihat Imam Al-Auza’i kepada Khalifah Al-Manshur: “Jangan Jadi Pemimpin Egois”

Nasihat Imam Al-Auza’i kepada Khalifah Al-Manshur: “Jangan Jadi Pemimpin Egois”
Ilustrasi seorang syekh sufi yang mengajari para muridnya.

Imam al-Auza’i adalah salah satu ulama besar Islam yang sangat dihormati pada masa kepimimpinan Khalifah al-Manshur. Bahkan, beliau pernah ditawari jabatan menjadi seorang Qadhi pada waktu itu.

Alkisah, satu waktu Imam al-Auza’i berada di pantai. Lalu Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memintanya untuk datang menghadap kepadanya. Ketika Imam al-Auza’i datang, dan mengakui keabsahan kekhalifahan serta berbaiat kepadanya, Sang Khalifah tiba-tiba bertanya, “wahai Auza’i, apa yang membuatmu datang terlambat?

Imam al-Auza’i lalu menjawab, “apa yang engkau inginkan ya Amirul Mukminin?

Sebagaimana dijelaskan dalam ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin karya Ibnul Jauzi, Khalifah al-Manshur lalu berkata, “aku ingin mengambil saran-saran dan pendapatmu.

Mendengar perkataan khalifah tersebut, Imam al-Auza’i kemudian berkata, “lihatlah wahai Amirul Mukminin, engkau tidak akan mengetahui apa yang akan aku katakan kepadamu.

Mendengar jawaban Imam al-Auza’I seperti itu, Khalifah al-Manshur lalu menimpali, “bagaimana mungkin saya tidak mengetahuinya, sementara saya yang langsung bertanya kepadamu. Dan saya juga yang ingin mengambil pendapatmu, dan memintamu untuk mengeluarkan pendapatmu.

Mendengar jawaban sang khalifah, Imam al-Auza’I kemudian berkata sambil menyindir, “engkau akan mendengarnya, tapi engkau kemudian tidak menjalankannya.

Mendengar jawaban yang menyindir itu, orang yang bernama Rabi’ berteriak dan menggerakkan tangannya ke arah pedangnya. Namun Khalifah al-Manshur menghardiknya dan berkata kepadanya, “ini adalah majlis untuk mencari pahala, bukan majelis untuk menghukum orang.”

Mendengar perkataan sang khalifah, Imam al-Auza’i merasa senang.  Beliau pun menjadi lebih leluasa untuk mengungkapkan perkataan-perkataannya dan saran-sarannya.

Beliau pun langsung berkata, “wahai Amirul Mukminin, Makhul pernah meriwayatkan sebuah hadis Nabi Saw kepadaku dari Athiyah bin Bisyr, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda;

أيما عبد جائته موعظة من الله في دينه، فإنها نعمة من الله سيقت إليه، فإن قبلها بشكر، وإلا كانت حجة من الله عليه، ليزداد بالله إثما ، ويزداد الله بها عليه سخطا

Artinya; Siapa saja hamba yang datang kepadanya nasehat dari allah dalam masalah agamanya, maka itu adalah nikmat dari allah yang dialirkan kepadanya. Jika dia menerimanya dengan rasa syukur (itu bagus). Namun jika tidak, maka itu menjadi hujjah dari allah atas dirinya, yang dengan itu Allah menamah dosa baginya, dan menambah kebencian-Nya kepadanya.

Imam al-Auza’I kemudian melanjutkan dengan menukil sebuah hadis lain dari Makhul, di mana Rasulullah Saw pernah bersabda;

أيما وال بات غاشا لرعيته حرم الله عليه الجنة

Artinya: siapa saja seorang pemimpin yang menipu rakyat yang dipimpinnya, niscaya Allah haramkan surga baginya.

Setelah itu, beliau kembali melanjutkan nasehatnya, “wahai Amirul Mukminin, yang melembutkan hati umat Islam terhadapmu. Ketika Dia memberikan amanah kepemimpinan atas mereka kepadamu adalah karena kekerabatanmu dengan Nabi mereka. Dan beliau Nabi Muhammad Saw adalah sosok yang sangat penyayang, dan penyayang terhadap umatnya. Serta selalu menyediakan dirinya untuk membantu umatnya pada waktu itu. Beliau tidak pernah menutup pintu dari permintaan tolong umatnya, tidak juga membatasi umatnya untuk bertemu dengannya. Beliau juga senang melihat nikmat yang ada pada mereka. Bahkan beliau merasa sedih dengan kesulitan yang menimpa umatnya. Maka sangat tepatlah beliau memperlakukan umatnya dengan kebenaran.

Wahai Amirul Mukminin, engkau sibuk mengurus keluargamu dan orang orang dekatmu, daripada mengurus perkara rakyat. Padahal engkau  telah memegang kendali atas seluruh urusan mereka. Baik mereka yang berwarna putih, atau hitam, baik yang muslim maupun yang kafir. Dan mereka semua mempunyai hak atasmu untuk diperlakukan dengan adil. Maka bayangkanlah, jika nanti di hari kebangkitan, mereka semua akan mengadukan bencana yang telah engkau buat terhadap mereka, atau kezaliman yang telah engkau timpakan kepada mereka.

Imam al-Auzai’I lalu bercerita, bahwa suatu ketika di tangan Rasulullah Saw teradapat pelepah kurma yang beliau gunakan untuk mengusir dan membuat takut orang orang munafik. Namun Malaikat Jibril datang kepadanya dan berkata, ”wahai Muhammad, mengapa engkau memegang pelepah kurma seperti itu, yang bisa membuat hati umatmu menjadi terluka dan ketakutan?

Jika perbuatan Nabi Muhammad Saw yang demikian saja sudah ditegur oleh Allah Swt melalui malaikat Jibril, lalu bagaimana dengan tindakan orang  yang melukai tubuh-tubuh rakyat. Sehingga kulit menjadi pecah, dan menumpahkan darah mereka, merusak rumah mereka, membuat mereka terusir dari tempat tinggal mereka, dan menanamkan ketakutan di hati mereka?” kata Imam al-Auzai’I kepada al-Manshur.

Dalam menasehati pemimpinnya, Imam al-Auza’I kembali mencontohkan kepribadian Rasulullah Saw ketika menjadi pemimpin. Ceritanya, Rasulullah Saw pernah meminta seorang Arab Badui untuk melakukan hukuman qishash terhadap diri beliau sendiri.

Hal tersebut beliau lakukan, karena terjadinya lecet di tubuh seorang Arab Badui yang disebabkan tindakan beliau yang tidak sengaja. Dan ketika Rasul tidak sengaja membuat lecet tubuh Arab Badui tersebut, datanglah Malaikat Jibril, “wahai Muhammad, sesungguhnya Allah tidak mengutusmu untuk menjadi seorang yang menindas dan sombong

Mendengar perkataan Malaikat Jibril tersebut, Rasulullah Saw langsung memanggil orang badui dan berkata, “lakukanlah qishash kepadaku.

Namun orang Arab Badui menjawab, “saya telah membebaskanmu dari hal itu, wahai Rasulullah. Saya tidak mungkin melakukan qishash itu kepadamu, wahai Rasulullah. Sekalipun engkau memintaku untuk melakukannya.

Mendengar jawaban orang badui tersebut, Rasulullah Saw kemudian mendoakannya dengan doa kebaikan.

Begitulah, seorang pemimpin memang seharusnya lebih mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya, daripada keluarganya dan kelompoknya sendiri. Seorang pemimpin seharusnya juga tidak anti kritik, dan selalu meminta nasehat-nasehat dari para ulama dan tokoh agama. Dan tugas seorang pemimpin adalah mewujudkan keadilan untuk rakyatnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.