Sejak satu dekade terakhir diskriminasi terhadap kelompok Syiah di Indonesia belum bisa terselesaikan. Jika kita lihat, sampai hari ini pengungsi Syiah Sampang masih belum bisa pulang ke rumah mereka dan harus bertahan di pengungsian Sidoarjo, Jawa Timur. Sedangkan, warga Syiah di Bangil Pasuruan juga masih belum bisa sepenuhnya bebas melakukan berbagai aktifitas keagamaan karena ancaman kekerasan kelompok intoleran bisa datang sewaktu-waktu.
Kelompok Syiah khususnya di Jawa timur mengalami sebuah represi ganda yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Di satu sisi, mereka mengalami tindakan intimidatif, kekerasan, hingga terpaksa harus meninggalkan kampung halaman di Pasuruan.
Semakin ironis setelah negara membentuk sebuah regulasi yang berbentuk SK Gubernur Nomor 55 Tahun 2012 tentang pembinaan kehidupan beragama dan aliran Sesat.
Peraturan tersebut memberikan wewenang kepada MUI untuk mencatat siapa saja yang dikategorikan sebagai kelompok sesat dan salah satunya menjustufikasi Syiah sebagai ajaran sesat. Hadirnya situasi yang terus menerus menekan Syiah membuat perubahan yang cukup drastis terhadap identitas keagamaan dan hak kewarganegaraanya.
Identitas yang Tergerus
Pada aspek identitas, hal mendasar yang paling berpengaruh adalah kebebasan kaum Syiah dalam menampilkan berbagai macam simbol keagamaan yang mereka miliki. Muslim Syiah memiliki berbagai macam hari besar keagamaan yang harus dirayakan seperti Asyura, Arbain, Idul Ghadir hingga acara Islam secara umum seperti Maulid dan Isra’Miraj.
Stigma sesat dan aksi kekerasan dari kelompok intoleran berdampak pada terampasnya hak kelompok Syiah karena tidak memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai upacara keagamaan. Karakteristik terbuka dalam beribadah akan tergantikan oleh sifat peribadatan yang tertutup dan eksklusif.
Padahal secara teorits, dalam situasi yang sangat kompleks, unsur identitas keagamaan menjadi penting demi mempertahankan sebuah komunitas religius. Busana, praktik keagamaan, dan afiliasi organisasi berfungsi sebagai penanda identitas yang sangat penting untuk membantu meningkatkan kesadaran diri individu dan melestarikan kohesi kelompok (Williams dalam Peek, 2005: 6).
Aspek identitas inilah yang pertama kali tergerus dan menjadi sasaran serangan yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Contoh represi ini bisa kita lihat saat diadakanya Haul Sayyidah Fatimah yang diselenggarakan LSM bernama Islamic Women Center (IWOC) di Bangil (www.merdeka.com).
Kelompok Syiah dipaksa untuk membubarkan acara yang sebenarnya menjadi hak dasar menjalankan kegiatan keagamaan dalam sebuah negara hukum.
Negara yang seharusnya bisa melindungi pun juga tidak bisa berbuat banyak. Bahkan, kepolisian dan bupati Pasuruan waktu itu hanya bisa menginstruksikan untuk memindahkan lokasi acara di dalam pesantren agar mereka (https://news.okezone.com). Jika sudah begini, kelompok minoritas tidak memiliki tempat untuk perlindungan yang pasti.
Hak Kewarganegaraan Hilang
Pada lingkup yang lebih luas, tindakan kekerasan telah menggerus hak kewarganegaraan muslim Syiah. Seorang warganegara seharusnya diberi keleluasaan dalam memiliki kepercayaan dan beragama. Karena dalam konstitusi hak tersebut telah diatur dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Hal yaang bersifat kontradiktif juga dialami oleh muslim Syiah di Sampang, Madura. Pasca konflik sosial di Tahun 2012, ratusan warga Syiah harus direlokasi ke tempat Pengungsian di Sidoarjo. Langkah-langkah rekonsiliasi sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk meredam konflik. Akan tetapi upaya rekonsiliasi tersebut terbentur oleh kultural, nilai agama dan opini publik yang berkembang disana cenderung kontra terhadap Syiah.
Pemerintah daerah, wakil rakyat dan organisasi keislaman di sana memiliki kecenderungan sikap untuk memihak pihak Anti Syiah (Panggabean &Fauzi, 2014). Rekonsiliasi tidak akan berhasil ketika negara yang seharusnya bisa melindungi malah bersikap pro mayoritas dan anti-pati atas warganya yang beraliran minoritas. Nilai yang dianut para pejabat lokal lebih mementingkan asumsi mayoritas yang dianggap sebagai nilai lokal. Dan solusi yang ditempuh adalah merelokasi warga Syiah ke tempat pengungsian yang berdampak pada kejelasan nasib hingga hari ini.
Negara yang seharusnya berperan sebagai penjaga malam dan pelindung malah menampilkan karakter state of exception karena bersifat pragmatis dalam menjalani sebuah kehidupan umum (Agamben dalam Robet, 2017). Bukan asas keadilan absolut yang digunakan untuk menyikapi berbagai macam konflik yang ada.
Negara malah menampilkan karakter untuk menunda fungsi norma hukum yang berlaku dan berdampak pada terampasnya kedaulatan rakyat sehingga mempengaruhi kehidupanya dalam sebuah sosial struktur masyarakat.
Rekonsiliasi Terus-Menerus
Kajian yang dilakukan Ihsan Ali Fauzi dan Panggabean (2014) menyebutkan bahwa kendala terbesar rekonsiliasi di Sampang adalah nilai kultural yang dianut tokoh agama dan masyarakat, tidak adanya keseriusan pemerintah daerah dan wakil rakyat, hingga latar belakang politis yang kompleks. Kondisi yang hampir serupa juga terjadi pada muslim Syiah di Pasuruan.
Unsur pertama yang harus dimunculkan saat menyelesaikan konflik “aliran” tersebut adalah komitmen serius dari aktor negara yang memiliki otoritas dan pengaruh.
Penyelesaian pertama adalah hadirnya pemerintah pusat untuk mengintervensi pejabat provinsi dan pemkab untuk merubah peraturan yang menekan kelompok minoritas dan memulai sebuah gerakan rekonsiliasi di tingkat akar rumput. Bekerjanya intervensi tersebut harus membawa konten politik pluralisme dan toleransi.
Kerja rekonsiliasi tersebut harus diawali dengan menjalin komunikasi yang intens dan berjejaring terhadap tokoh agama dan organisasi –organisasi agama yang anti terhadap Syiah.
Pun harus terdapat sebuah dialog yang dilakukan secara terus menerus untuk menemukan kesepakatan bahwa aturan konstitusi dan kebebasan beragama menjadi hal mutlak dalam negara kita. Fase inilah yang harus ditempuh dan menjadi kunci keberhasilan penyelesaian konflik.
Jika fase ini terlampaui, aktor negara, tokoh agama dan ormas harus mulai memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang nilai-nilai pluralitas yang harus dijaga dalam kehidupan bernegara. Harus terdapat sharing knowledge (berbagi pengetahuan) bahwa perbedaan menjadi unsur dasar yang harus dihormati dan tidak bisa dipaksakan kepada orang lain.
Prosedur rekonsiliasi memang membutuhkan waktu yang panjang, menguras banyak sumber daya dan seringkali berbenturan dengan persepsi dan kepentingan yang berbeda. Akan tetapi jika tidak dimulai dari sekarang, mau kapan lagi?
Wallahu A’lam