Tentang Syiah

Tentang Syiah

Perbedaan pandangan itu sesuatu hal yang wajar-wajar saja, justru yang bikin runyam itu biasanya pihak-pihak (dari golongan manapun) yang suka berlebih-lebihan

Tentang Syiah

Golongan Syi'ah dalam banyak hal ajarannya berbeda dengan Ahlus-Sunnah atau Sunni yang ajarannya dianut oleh sebagian besar umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia.

Kata Syi'ah semula mempunyai arti golongan. dan kemudian digunakan oleh nama suatu golongan tertentu yang memihak dan membela sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a, khalifah keempat.

Berbeda dengan umumnya umat Islam, kalangan syi'ah mempercayai bahwa orang yang berhak menjadi pengganti Nabi Muhammad Saw. setelah wafatnya adalah sayyidina Ali. Dan seterusnya, setelah Sayyidina Ali wafat, yang berhak menggantikannya sebagai imam adalah keturunannya.

Setelah Sayyidina  Ali mangkat dan puteranya sayyidina pun gugur di Karbala tahun 680 H, paham syi'ah terus berkembang, hingga lambat laun menjadi aliran tersendiri dalam itikad, politik, maupun ibadah.

Menurut keyakinan Syi'ah, imam-imam selalu sambung bersambung dari keturunan Nabi Saw. imam-imam ini ada yang menyebutkan jumlahnya sampai tujuh dan ada yang menyebutkan dua belas.

Imam yang kedua belas, menurut kepercayaan mereka menghilang secara khusus, kelak di hari kiamat akan muncul kembali ke dunia untuk mendirikan dan memimpin negara yang adil. Dan umat mereka pun menunggu-nunggunya dengan penuh kepercayaan.

Dalam perkembangannya, Syi'ah memang tidak mengakui hadist dan ulama kecuali dari golongannya sendiri. Siapa pun yang melangsir sabda Rasulullah Saw. kalau bukan dari golongan mereka sendiri, tidak mereka akui. Maka jangan heran jika dalam banyak hal mereka mempunyai aturan-aturan sendiri, termasuk dalam peribadatan , yang berbeda dengan yang dianut golongan Sunnah.

Sebenarnya, di samping perbedaannya, kesamaannya dengan golongan sunnah cukup — kalau tidak lebih– banyak. Misalnya doktrin pokoknya sama dengan ahlussunnah, yaitu: kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan Rasul-Nya Saw. percaya pada hari akhir dan adanya hisab (perhitungan) dan sebagainya.

Namun sehubungan dengan beberapa pandangan yang berbeda, seperti:

Penolakan mereka terhadap hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul-bait (keluarga Nabi), bahwa imam syi'ah itu ma'shum (terjaga dari berbuat dosa, tak bisa salah), bahwa afirmasi imamah dalam Syi'ah sebagai rukun agama, dan hanya mengakui sayyidina Ali sebagai khalifah serta menolak ketiga khalifah yang lainnya.

Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam keputusan rapatnya tanggal 8 maret 1984 M, sampai menghimbau umat islam Indonesia yang umumnya berpaham Ahlussunnah agar "meningkatkan kewaspadaan" (lebih lanjut bacalah "al-Milal wan- Nihal'-nya asy-Syarastani jili I mulai hal. 147; "al_farqu bainal-Firaq"-nya Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mulai hal. 15; dan "Leksikon Islam" jilid II hal. 688-690.

Waba'du: sebenarnya kalau cuma perbedaan pandangan, menurut saya sih wajar-wajar saja. Yang justru bikin runyam biasanya itu lho pihak-pihak (dari golongan manapun) yang suka berlebih-lebihan.

Berlebih-lebihan dalam bersikap, berlebihlebihan dalam memandang golongan dan pendapatnya sendiri sampai-sampai tidak hanya memutlakkan kebenaran diri sendiri, tetapi juga memutlakkan kesalahan (bahkan kekafiran) pihak lain. Seolah-olah pihaknyalah satu-satunya yang mendapat mandat Allah Swt. untuk menetapkan kebenaran.

Semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang benar.

Sumber: Fikih Keseharian Gus Mus, hal 427-429, Khalista 2013.