Mengenal Syiah Zaidiyah

Mengenal Syiah Zaidiyah

Mengenal Syiah Zaidiyah

Pemahaman doktrin Zaidiyah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan faksi Syiah lainnya. Bagi al-Syahrastani, Zaidiyah merupakan faksi besar seperti halnya Imamiyah. Di dalam kelompok ini juga terdapat banyak faksi. Sebelumnya, mari kita ketahui dulu doktrin kepemimpinan dan teologisnya.

Zaidiyah merupakan penisbatan terhadap pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib. Pandangannya tentang Imamah (kepemimpinan) mesti berdasarkan kepada keturunan Fatimah Ra, bahkan mereka berpendapat tidak bolehnya kepemimpinan selainnya.

Pertama bahwa kelompok Ali bin Abi Thalib tidak salah dalam memerangi para pemberontak. Dan para pemberontaknya tidak serta merta sebagai orang kafir. Kedua bahwa Abu Bakar al-Shiddiq boleh diangkat sebagai khalifah, meskipun adanya Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang paling utama.

Karena ia hidup dan memiliki pandangan teologis dan kepemimpinanyang bertolak belakang dengan pemerintah kekhilafahan saat itu, Zaid bin Ali dibunuh dan disalib di gerbang gereja Kufah. Kemudian oleh para pengikut Zaidiyah, kepemimpinan diserahkan kepada Yahya bin Zaid. Nasib yang sama juga menimpa dirinya sebagai mana terjadi pada orang tuanya.

Dalam perkembangannya, doktrin Zaidiyah banyak mengalami perubahan. Hal ini terlihat dari kemunculan berbagai pemikiran di dalam Zaidiyah. al-Syarastani menyebut setidaknya ada 2 kelompok:

Al-Jarudiah

Kelompok ini dipimpin oleh Abu al-Jarud Ziyad bin Ziyad. Abu al-Jarud berpendapat bahwa Ali diangkat sebagai pemimpin bukan karena penamaan spesifik (tasmiyah), akan tetapi karena berdasarkan sifat. Berbeda dengan Imam Zaid, ia berpendapat bahwa Abu Bakar diangkat sebagai khalifah karena ketidak pemahaman orang terhadap sifat khalifah yang telah diberikan kepada Ali.

Al-Sulaimaniyah

Al-Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Pengikut Sulaiman berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar yang dipilih umat Islam merupakan sebuah ijtihad. Jika ada yang menilai salah, maka ia hanya keliru dalam ijtihad. Umat Islam yang memilihnya tidak lantas menjadi fasik karena pengangkatan tersebut.

Dalam persoalan kepemimpinan, Zaidiyah berpendapat bolehnya dualisme kepemimpinan dalam dua daerah yang berbeda selama mereka tidak berada dalam satu daerah, maka diperbolehkan bagi kelompok tertentu mengangkat pemimpinnya.

Pandangan ini berangkat dari bolehnya pemimpin berasal dari keturunan al-Hasan dan al-Husein. Menurut Zaidiyah generasi awal bahwa dua kepemimpinan sekaligus itu diperbolehkan, merujuk kepada fakta dari eksistensi kepemimpinan Muhammad dan Ibrahim yang keduanya merupakan keturunan al-Hasan dan al-Husein. Keduanya hidup pada saat dinasti Abbasiyah dipimpin oleh sultan Abu Ja’far al-Manshur.

Oleh Abu Ja’far al-Manshur keduanya dianggap keluar dari pemerintahan yang sah. Ironisnya atas nama kedaulatan kepemimpinan Islam, keduanya kemudian dibunuh oleh sang khalifah. Pembunuhan atas Muhamamd dan Ibrahim yang tinggal di Madinah dan Irak mendapat dikarenakan sikap khalifah yang mencela dua Imam Mazhab. Yaitu Abu Hanifah dan Imam Malik, meski kedua nya sama-sama berbait kepada Abu Ja’far al-Manshur, akan tetapi tidak setuju terhadap praktek politik Abu Ja’far al-Manshur.

Secara personal, Zaid bin Ali merupakan seorang yang alim. Ia dikenal memiliki semangat belajar ilmu agama yang sangat tinggi. Ia pernah belajar kepada Washil bin ‘Atha. Karena kedekatannya kepada pendiri Mu’tazilah, banyak pengikut Zaidiyah sependapat dengan Mu’tazilah. Zaid bin Ali tentang khalifah al-Rasyidin berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq dan Umar bin Khattab didasarkan pertimbangan kemaslahatan sehingga tidak terjadinya kekacauan.

Beberapa kurun setelahnya, Zaidiyah tidak hanya memiliki pandangan teologis, atau imamah-khilafah semata. Zaidiyah berkembang di ranah pemikiran keilmuan Islam lain seperti fikih. Banyak pandangan fikihnya setangkup dan memengaruhi pandangan mazhab fikih Syafi’iyyah.

Zaidiyah belakangan banyak tersebar di daerah Yaman. Di antara ulama tersebut adalah Muhammad bin Ismail al-Shan’ani. Ia adalah ulama terkenal mazhab Syafi’iyyah, pengarang kitab Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram. Selanjutnya Zaidiyah banyak memiliki kesamaan dalam  persoalan fikih dengan Sunni pada umumnya. Pemikiran Zaidiyah bisa dikatakan sangat dekat kepada aliran Sunni.