Kunjungan V.S. Naipaul ke tempat “bangsa muslim” Asia di tahun 1979 ternyata membawanya pada sesuatu yang dicari sejak semula: Islam yang marah.
Yang dicarinya memang Islam yang bukan untuk dipahami sepenuhnya, tetapi Islam yang menolak apa yang diyakini Naipaul sendiri: Humanisme modern yang sekular, dan teknologi yang dihasilkan oleh humanisme tersebut. Hasil kunjungan itu direkam dalam bukunya yang terbaru, Among The Believers.
Sebagai salah seorang novelis terbesar dewasa ini, dengan sendirinya Naipaul menyajikan pengamatan yang tajam dan tinjauan yang mendalam atas apa yang dilihatnya. Sangat menarik dilihat dari bagaimana ia mencoba mencari “benang halus” yang menghubungkan ucapan, sikap, dan pendirian orang yang ditemuinya, menjadi sebuah narasi yang baik, menarik, dan enak dibaca.
Sayangnya, kesemuanya itu tidak menutupi kelemahan fundamental dari karya terakhirnya itu: Kesudahannya, ia hanya mampu mengungkap Islam yang marah terhadap dunia modern – padahal kesimpulan itu sendiri belum tentu benar. Kiranya masih besar liputan “Islam yang tidak marah”, yang lepas dari pengamatan Naipaul.
Kemarahan Islam didapati Naipaul di Indonesia dalam berbagai bentuk. Dalam diri Adi Sasono yang merasa dipojokkan oleh petugas intel, hanya karena ia seorang muslim yang taat, seorang santri. Dalam diri Imaduddin dari ITB, yang menggunakan teknik psikologi modern untuk menanamkan kesadaran superioritas melalui kursus keagamaan yang diselenggarakan. Dalam diri seorang pengusaha muslim yang memperkirakan pertarungan fisik antara “kaum universiter” dan “kaum pesantren”. Tidak cukup sejuta orang mati sebagai akibat peristiwa G-30-S/PKI, kata orang itu, masih jutaan lagi akan jadi korban pertarungan yang diperkirakannya itu.
Kalau dilihat begini, memang patut Naipaul ketakutan. Kepemimpinan umat yang eksklusif, yang mencari kebenaran hanya pada diri sendiri belaka, intelektualitas yang tidak mau mencari terlebih jauh dari hanya sekadar merekonstruksi ajaran formal agama, dan moralitas individu yang dicukupkan hanya pada meniru tingkah laku lahiriah Rasulullah belaka, adalah apa yang diamati Naipaul sebagai manifestasi kesadaran kaum muslimin yang ditemuinya.
Ia lalu menjadi skeptis dengan perkembangan Islam yang serba marah itu, dan tidak melihat ada sesuatu yang baik yang dapat diambil.
Sayangnya kunjungan Naipaul ke dunia pesantren tidak membuatnya memahami keadaan secara lebih baik. Padahal di sanalah ia akan mendapat sebuah kekuatan yang sedang tumbuh, untuk menyajikan Islam yang tidak marah.
Ironisnya, kunjungan yang dilakukannya itu justru ke pesantren Tebuireng di Jombang dan Pabelan di Muntilan, tempat bermulanya upaya tersebut.
Apa yang ditangkapnya ternyata tidak mendalam dan tidak bersifat mendalam. Di Pabelan ia tidak melihat kreativitas dalam bentuk pendidikan yang mengutamakan integrasi antara penduduk desa dan warga pesantren. Ia hanya membuat “komune di mana orang menolak teknologi dan membuat segala-galanya dengan tangan sendiri”, katanya.
Di Tebuireng Naipaul hanya melihat pesantren sebagai penerusan institusi kependetaan dari masa pra-Islam: membodohi orang desa sambil hidup dari mereka. Alhasil, pendapat Naipaul tentang pesantren dapat dikembalikan pada kata-katanya: membuat orang desa tetap saja menjadi orang desa belaka. Di tempat lain dikatakannya, pesantren membuat orang desa tetap bodoh.
Inti dari masalah yang dirisaukan Naipaul adalah gagalnya orang Islam untuk menyajikan jawaban modern atas tantangan kehidupan masa kini. Baginya, modernitas adalah dalam bentuk yang berkembang di negara-negara yang sudah maju industrinya, dari sikap hidup yang serba berperhitungan hingga kemampuan menguasai dan mengeksploitasi alam. Tidak heran kalau ia lalu berucap: orang Islam tidak akan maju kalau masih mengerjakan shalat dan berpuasa – yang dirumuskannya sebagai “kerja yang tak perlu”.
Di sini terdapat kesalahan mendasar dari Naipaul: ia mengukur modernitas dari penolakan terhadap yang tradisional, mengukur kemajuan dari penghancuran keyakinan semula.
Benarkah setajam itu pergulatan yang terjadi? Tidak mungkinkah lahir kesadaran akan perubahan total dalam pola kehidupan bermasyarakat, justru dari ketaatan terhadap ajaran yang bersifat ritualistik? Bukankah mungkin sekali ideologi yang kreatif dan dinamis dibangun dari penggalian kembali terhadap ajaran sendiri?
Kalau Naipaul menganggap pesantren – yang mempertahankan bentuk-bentuk luar dari masa lampau dan ritus-ritus yang diwariskan dari generasi ke generasi – penerus “fungsi keagamaan” pra-Islam di pedesaan kita, itu adalah haknya. Akan tetapi, ia akan salah besar jika menganggap pengamatannya itu sebagai satu-satunya kenyataan yang berkembang di Indonesia dewasa ini.
Ia mengutip pertanyaan yang diajukan oleh sebuah majalah Kristen (Katolik) di Filiphina, ketika mewawancarai seorang kiai: Bagaimanakah seorang kiai dapat memelopori perubahan mendasar dalam sebuah masyarakat? Bagaimana ia mampu membuat para tuan tanah dan orang kaya menyerahkan kekayaan mereka, yang menurut Islam justru milik Allah semata-mata, kepada mereka yang mampu menggarap dan mengolahnya? Bagaimana ia mampu membuat para petani menyadari pentingnya kehadiran mereka di dunia ini, guna memungkinkan tegaknya keadilan secara tuntas?
Bahwa pertanyaan seperti itu diajukan oleh seorang yang bukan muslim kepada seorang kiai pesantren, sudah menunjukkan betapa besarnya perubahan terjadi. Naipaul seharusnya menggunakan kutipan di atas untuk menggali lebih dalam dari kehidupan pesantren, yang sedang memulai upaya besar untuk mengubah struktur kehidupan bermasyarakat secara mendasar, tanpa menggunakan kekerasan dan tanpa mengajukan protes apa pun. Tanpa kemarahan.
Tidak berhaklah rasanya Naipaul meremehkan hal ini, dan menganggap lemah-lembutnya pesantren hanya sebagai kebekuan, dan menganggap ketergantungan pada kehidupan ritualistik sebagai penerusan “fungsi keagamaan” pra-Islam belaka.
*) Abdurrahman Wahid
Kolom ini dimuat pertama kali di majalah Tempo, 6 Februari 1982