H.B Jassin: Kritikus Sastra yang Menerjemahkan Al-Quran

H.B Jassin: Kritikus Sastra yang Menerjemahkan Al-Quran

H.B Jassin memang terkenal sebagai penulis atau kritikus sastra, namun ternyata ia juga pernah memiliki karya terjemahan Al-Qur’an.

H.B Jassin: Kritikus Sastra yang Menerjemahkan Al-Quran

Mendengar nama H.B Jassin, sepintas kepala kita tergambar beberapa karya sastra hebat. Nama ini cukup familiar di telinga para seniman dan sastrawan. Ia sempat menjadi trendsetter sastra pada tahun 90an. Tapi ternyata H.B Jassin tak hanya memiliki karya sastra saja, loh. Ia juga memiliki terjemahan Al-Qur’an.

Nama lengkapnya adalah Hans Bague Jassin yang lebih dikenal sebagai H.B Jassin oleh publik. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1917 di Gorontalo dan meninggal 11 Maret 2000 di Jakarta. Pendidikannya ditempuh di Gouverments HIS Gorontalo, lalu HBS-B di Medan yang selesai tahun 1938. Tahun 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI. Setelah itu, ia memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra selama setahun di Universitas Yale Amerika Serikat (1958-59).

Jassin sangat terpengaruh oleh ayahnya yang mempunyai banyak koleksi buku. Selain itu, ada satu guru bernama M.A. Duisterhof yang akan selalu dikenang oleh Jassin ketika dia belajar di Gouverments HIS. Ia adalah orang yang mengenalkan Jassin ke dalam dunia sastra. Ia membacakan Max Havelar karya Multatuli yang membuat Jassin terpesona.

Sebagai kritikus sastra, Jassin banyak melahirkan karya dalam bidang sastra, di antaranya Gema Tanah Air I dan II (1948); Kesusastraan Indonesia Masa Jepang (1948); Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963); Angkatan ’66: Prosa dan Puisi (1968); Kritik Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956); Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1962); Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay I, II, III, IV (1954-1967); Analisa: Sorotan Cerpen (1961); Heboh Sastra 68 (1970); Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983); Pengarang Indonesia dan Dunianya; Surat-surat H.B. Jassin 1943-1983(1984); Koran dan Sastra Indonesia (1994); dan Kumpulan Cerpen dan Puisi Darah Laut (1997).

Selain bergelut dengan sastra, Jassin juga dikenal dengan kemampuan bahasa asingnya. Setidaknya ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman. Kemampuan multibahasa ini mendorong Jassin untuk melakukan penerjemahan. Karya terjemahan yang ia hasilkan di antaranya: Renungan Indonesia (karya Syahrazad, 1947); Terbang Malam (karya A. De St.Exupery, 1949); Api Islam (karya Syed Ameer Ali, 1966); Max Havelaar (karya Multatuli, 1985), Cis dan Cuk karya Vincent Mahiu (1976); Bacaan Mulia (1978); Percakapan Erasmus (1985); Sapi Betina dan Keluarga Imron (1985); Multatuli yang Penuh Teka-teki (karya W.F. Hermans, 1988).

Kemahiran Jassin dalam penerjemahan mendapatkan pengakuan dari dunia luar. Pada tahun 1973, ia memperoleh penghargaan Martinus Nijhoff dari Prince Bernard Fond (Belanda) atas keberhasilannya menerjemahkan Max Havelar karya Multatuli ke dalam bahasa Indonesia.

Terkait terjemahan yang paling fenomenal tentu saja adalah terjemahan Al-Qur’an yang diberi judul Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia. Jassin mulai menulis terjemahan ini tahun 1972 di Belanda. Dalam rentang satu tahun tinggal di Belanda, ia berhasil menerjemahkan setengah dari Al-Qur’an. Sementara, sisanya diselesaikan di Indonesia. Tepat pada tanggal 18 Desember 1974 karya tersebut berhasil diselesaikan dan baru diterbitkan tahun 1978.

Yang menarik, Jassin yang notabenenya adalah seorang kritikus sastra berani menerjemahkan Al-Qur’an yang biasanya hanya dilakukan oleh agamawan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerjemahan ini. Pertama, ini merupakan hasil interaksi Jassin dengan Al-Qur’an. Ia menemukan ketenangan dan kepuasan rasa dari keindahan ayat-ayat al-Qur’an yang dianggapnya sangat sastrawi.

Kedua, ia banyak menemukan terjemahan Al-Qur’an yang kaku yang justru mereduksi sisi sastrawi Al-Qur’an. Oleh karena itu, ia tergerak untuk berkontribusi kepada agama dengan mengembalikan sisi keindahan al-Qur’an dalam bentuk terjemahan.

Berbeda dengan terjemahan biasa yang mengambil bentuk prosa, terjemahan Jassin mengikuti gaya puisi. Walaupun Al-Qur’an bukan kitab sastra, tetapi bagi dia Al-Qur’an akan lebih terasa keindahannya apabila diterjemahkan dengan pola puisi. Layaknya sebuah puisi yang mempunyai rima, hal demikian juga digunakan dalam terjemahan ini.

Satu ayat tidak mesti menjadi satu baris. Jassin bisa saja membagi satu ayat menjadi beberapa baris layaknya sebuah puisi. Ada pemotongan yang dilakukan pada satu ayat ketika hendak berganti baris. Pemotongan ini berdasarkan inisiatif Jassin dan ia sendiri yang menentukan letak pemenggalannya.

Dalam menyusun terjemahan ini, Jassin menggunakan berbagai referensi dari mulai terjemah lain sebagai pembanding, buku tafsir sampai kamus untuk menentukan arti.  Namun, dari semua rujukan tersebut tidak ditemukan buku yang berbahasa Arab. Referensi yang dirujuk adalah sumber berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Indonesia. Hal ini bisa jadi sebagai indikasi bahwa Jassin kurang menguasai bahasa Arab yang notabene bahasa Al-Qur’an itu sendiri.

Mungkin karena hal ini pula, banyak tanggapan muncul sesaat setelah terjemahan Al-Qur’an bergaya puisi ini hadir di tengah masyarakat. Salah satu kritik datang dari H. Oemar Bakrie. Ia menganggap banyak kesalahan dalam karya terjemahan tersebut. Untuk menyampaikan pendapatnya, ia mengirim surat ke Depag, menulis di koran, dan berkirim surat secara langsung kepada Jassin.

Selain itu, kritikan juga datang dari Nazwar Syamsu, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara, dan yang lainnya. Semuanya mempunyai benang merah yaitu keberatan dengan beredarnya terjemahan Al-Qur’an karya Jassin ini. Sebaliknya, Jassin terkesan santai menanggapinya. Bahkan, ia mengumpulkan kritikan yang dimuat di berbagai media dan menyusunnya menjadi sebuah buku dengan judul Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi.

Selain yang kontra, ada juga yang menanggapinya dengan positif seperti Jaidan Jauhari. Ia memuji keberanian dan ketekunan Jassin. Ia juga menghargai Jassin atas usaha keras dan kemauan beliau dalam menerjemahkan Al-Qur’an. Selain Jauhari, Mukti Ali selaku Menag, Ali Sadikin sebagai gubernur Jakarta, dan HAMKA juga mengapresiasi karya Jassin ini. Walaupun demikian, dengan segala kontroversi yang hadir, tak bisa dipungkiri bahwa Jassin telah memberi corak baru dalam terjemahan Al-Qur’an dengan penekanannya terhadap sastra.

Wallahu a’lam.

 

Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo