Nailah binti al-Furafishah al-Kalbiyyah, dia istri kedelapan sekaligus istri terakhir dari Sayyidina Utsman bin Affan, khalifah ketiga. Dia putri dari al-Furafishah, orang ternama dari Bani Kalb, suku di kawasan Arab pedalaman (badiyah) di dekat Kufah. Mayoritas orang Bani Kalb saat itu adalah orang Kristen. Al-Furafishah sendiri juga orang Kristen.
Diceritakan di buku-buku tarikh Islam klasik, pernikahan Nailah-Utsman terjadi pada tahun 28 H. Bila Khalifah Utsman wafat pada 35 H di usia 82 tahun, berarti pernikahan itu terjadi saat Khalifah Utsman berusia sekitar 75 tahun. Adapun mengenai usia Nailah saat itu, saya belum menemukannya di sumber Arab klasik. Namun artikel-artikel berbahasa Indonesia menyebut usia Nailah saat itu 18 tahun. Dengan demikian, selisih usia suami-istri ini 57 tahun.
Awal rencana pernikahan bermula dari Sa’d ibn Abi Waqqash, yang saat itu menjabat gubernur Kufah dan telah menikahi Hindun binti al-Furafishah, saudaranya Nailah. Khalifah Utsman menyurati Sa’d: “Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba’du. Telah sampai kabar padaku bahwa engkau menikahi wanita dari Bani Kalb. Beritahu aku tentang status sosial dan kecantikannya.” Maka Sa’d membalas surat itu: “Adapun tentang statusnya, dia putri al-Furafishah. Sedangkan tentang cantiknya, dia putih dan tinggi.” (Teks Arabnya: “fainnaha baidha’ madidah al-qamah”; makna literal “qamah” dalam kamus Arab klasik adalah seukuran 6 kaki, alias 180 cm). Lalu Khalifah Utsman menyurati lagi: “Kalau dia punya saudara perempuan, nikahkan aku padanya.”
Singkat cerita dibawalah Nailah ke Madinah, dan yang menjadi wali nikahnya bukan ayahnya yang Kristen, tapi saudara laki-lakinya, Dhabb bin al-Furafishah, yang sudah Muslim. Diceritakan dalam beberapa buku tarikh Islam klasik bahwa saat dinikahi Khalifah Utsman, Nailah masih Kristen, tapi kemudian masuk Islam di waktu sebelum disetubuhi. (Teks Arabnya:“Watazawwajaha wahiya nashraniyyah tsumma aslamat qabla an yadkhula biha.” Dan ini menarik: berarti Sayyidina Utsman menikah beda agama?) Di malam pertama, Khalifah Utsman membuka penutup kepalanya dan tampaklah uban dan botaknya. Khalifah Utsman sempat khawatir Nailah tak menyukainya, namun Nailah berkata: “Inni min nisa’in ahabbul-azwaj ilayhinna al-kuhul” (“Aku termasuk wanita yang menyukai laki-laki paruh baya”; kata “al-kuhul” dalam kamus Arab klasik berarti yang berusia di atas 35 tahun).
Saat terjadi tragedi “fitnah” yang berujung pada pembunuhan Khalifah Ustman di kediamannya, Nailah ikut menemani. Bahkan Nailah sempat menahan pedang yang hendak dihunuskan ke Utsman hingga lima jari Nailah putus. Setelah Khalifah Utsman meninggal dan lalu dikebumikan, Nailah mengirim surat kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang saat itu menjabat gubernur Damaskus, untuk segera menuntut balas darah Ustman. Bersama surat itu, Nailah menyertakan jubah Utsman yang berlumur darah, beserta jarinya-jarinya—nantinya surat itu dibacakan di Masjid Damaskus dan jari-jari Nailah digantung di tiang masjid itu.
Selepas meninggalnya Utsman, Nailah dipinang banyak lelaki, namun semua ditolaknya, tak terkecuali Muawiyah bin Abi Sufyan. Nailah bertanya ke para wanita Madinah mengapa banyak lelaki tertarik meminangnya; dan kata para wanita itu: “Tsanayaki” (gigimu yang gingsul). Hingga saat Muawiyah meminangnya untuk kedua kalinya, Nailah mencabut giginya itu dan memberikannya kepada Muawiyah. Ketika ditanya Muawiyah mengapa melakukan hal itu, Nailah menjawab: “Hatta la yathma’a fiyya rijalun ba’da ‘Utsman” (Agar tak ada laki-laki lain setelah Utsman yang menginginkanku).
Wallahu A’lam.