Apa benar tuntunan Islam berkenaan dengan hal nafkah dan keuangan seperti demikian?
Mula-mula kita harus kembali meresapi makna pernikahan.
Di mata Islam, pernikahan bukan hanya dimaknai sebagai akad yang menghalalkan hubungan antara perempuan dan laki-laki, juga bukan hanya sekadar persoalan memberi nafkah. Pernikahan dalam Islam jauh lebih mulia daripada itu. Pernikahan dianggap oleh Al-Qur’an sebagai sebuah perjanjian yang berat (mitsaqan ghalizha). Ini tidak lain karena pernikahan membutuhkan kedewasaan dan kesabaran dalam menjalaninya.
Kalau pernikahan hanya seputar nafkah dan uang, tetapi tanpa kedewasaan dan kesabaran, maka pastilah akan berujung konflik, pengkhiatanan dan perpisahan.
Setelah menikah, istri dan suami ibarat menjadi satu jiwa. Keduanya akan hidup bersama di tengah dua perbedaan latar belakang sosial dan karakter.
Dalam ikhtiar menjadi pasangan sakinah, mawaddah wa rahmah inilah, istri dan suami dituntun untuk bisa saling melengkapi, saling melayani satu sama lain.
Buat apa menikah, kalau istri dan suami berjalan sendiri-sendiri, saling menutup diri dan apalagi saling mencurigai. Harus dipahami bahwa hidup adalah seni menghadapi masalah. Dan pernikahan sendiri adalah bagian penting dari hidup.
Tentang bagaimana cara agar istri dan suami bisa saling terbuka, ketika menghadapi masalah dalam rumah tangga.
Setelah menikah, istri pasti punya masalah, demikian juga suami, entah itu masalah yang ditimbulkan oleh masing-masing istri dan suami maupun oleh kedua-duanya. Masalah istri adalah masalah suami, masalah suami adalah masalah istri.
Maka ketika istri sedang punya masalah, jujurlah kepada suami, jangan malah ditutup-tutupi dengan alasan tidak mau membebani dan begitupun sebaliknya.
Proses dalam mencapai target dan impian hidup bahagia dalam berumah tangga, adalah hasil dari musyawarah dan kesepakatan antara kedua pihak; istri dan suami. Suami mau bekerja apa, istri mau bekerja apa, mau punya berapa anak, mau mengontrak atau ikut dengan orang tua, dan lain sebagainya.
Nah, pemahaman yang ‘seimbang’ seperti dijelaskan di atas, tuntunan Islam yang selaras dengan prinsip kesalingan itulah yang mestinya menginspirasi para istri dan suami ketika menjalankan kewajiban menafkahi keluarga.
Saya sendiri lebih cenderung memahami bahwa kewajiban suami adalah menafkahi keluarga bukan hanya menafkahi istri. Karena keduanya, setelah menikah akan menafkahi anak-anak.
Termasuk kesadaran untuk tetap menafkahi masing-masing orang tua dan mertua, kalau ditemukan orang tua dan mertua yang kondisi ekonominya lemah. Untuk itu sekali lagi, kita harus lebih bijak dan memperluas makna nafkah yang bukan hanya sekadar memberikan uang kepada istri.
Nafkah dalam makna yang lebih bijak dan dewasa malah meliputi nafkah lahir dan batin. Nafkah uang, kasih sayang, saling percaya, saling beribadah dan masih banyak lagi.
Nafkah dalam bentuk uang memang penting tapi bukan satu-satunya penentu kebahagiaan berumah tangga. Sebab ada banyak pasangan istri dan suami yang uangnya banyak, hartanya melimpah, istrinya tinggal duduk manis di rumah, tetapi apakah dijamin rumah tangganya langgeng dan bahagia? Tidak juga. Jangan aneh kalau ada pasangan istri dan suami yang uangnya banyak, tapi berujung konflik dan perpisahan. Itu semua karena mental dan pemahamannya tidak sekaya jumlah uangnya, mental dan pemahamannya sangat miskin.
Jadi uang memang penting tapi bukan satu-satunya jaminan.
Nafkahpun penting, tetapi yang lebih penting adalah pemahaman kita tentang nafkah jauh lebih penting. Karena istri dan suami butuh hidup, maka keduanya butuh mencari nafkah. Istri dan suami terlibat mendidik anak secara bersama dan bergantian.
Masalah nafkah, misalnya terjadi istri yang menuntut nafkah uang banyak kepada suaminya itu terjadi karena ada pengkotak-kotakan tugas: suami tugasnya mencari nafkah, sementara istri menuntut nafkah sebagai ‘bayaran’ atas tugas istri dalam mendidik anak. Padahal dalam Islam, mendidik anak itu kewajiban dan kebutuhan bersama, antara istri dan suami, bukan hanya istri.
Kalau pemahamannya luas dan luwes seperti demikian, maka tidak akan ada istri yang marah-marah karena kurang nafkah.
Indahnya kiranya jika kemudian perspektif kita berubah menjadi: ‘uang istri adalah uang suami, uang suami adalah uang istri, uang yang keduanya adalah uang bersama, untuk kebutuhan hidup bersama.’
Pemahaman itu berangkat bahwa istri dan suami adalah satu ikatan, satu jiwa, senasib sepenanggungan. Jadi alangkah baiknya jika istri tidak menyempitkan kebersamaan hidupnya bersama suami. Keindahan pernikahan yang dirusak dengan nafsu kepemilikan uang dan harta lainnya. Yang berkah itu bukan kuantitasnya tetapi kualitasnya. Nafkah berkah itu bukan sekadar banyaknya, tetapi kualitasnya yang diutamakan.
Berumah tangga memang tidak semudah menulis kata-kata. Tetapi berlari dan gengsi dari nasihat baik juga bukan sikap bijak seorang Muslim dan Muslimah yang baik.
Pernikahan dan rumah tangga itu tidak bisa disetarakan dengan uang, meskipun menikah dan berumah tangga membutuhkan uang. Suka dan duka, sedih dan bahagia harus ditanggung bersama, antara istri dan suami, apapun kebutuhan yang diperlukan dalam menjalin hubungan rumah tangga adalah menjadi kesadaran bersama antara istri dan suami, termasuk dalam memenuhi kebutuhan nafkah dan tugas mendidik anak.
Wallaahu a’lam