
Siffien adalah nama sebuah desa kecil di sebelah barat sungai Eufrat, perbatasan Syria dengan Iraq. Desa ini terkenal -dalam sejarah Islam – karena menjadi saksi perang saudara antara pasukan yang dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalieb, yang kala itu menjadi khalifah, melawan pasukan yang dipimpin Mu’awiyyah, Gubernur Syria.
Ini merupakan perang saudara kedua setelah sebelumnya terjadi perang onta antara Ali dengan janda nabi, Aisyah, yang dimenangkan pasukan Ali.
Namun, dibandingkan dengan perang onta, perang Siffien mempunyai dampak politis yang besar dan berkepanjangan sampai sekarang.
Sejatinya, dalam perang Siffien, tanda-tanda kemenangan ada pada pihak pasukan Ali, namun karena manuver politik yang dilakukan Mu’awiyyah dari Amr bin Ash, melalui sebuah perundingan, akhirnya terjadi kesepakatan damai.
Arbitrase damai ini ternyata berujung terpecahnya patron politik menjadi tiga kubu, yakni ahlussunnah wal jamaah (sunni), Ahl isma wal ‘adala (syiah) dan Khawarij.
Garis politik sunni berpatokan untuk mengutamakan kesatuan Jamaah dan mereka menerima hasil kesepakatan damai antara Ali dengan Mu’awiyyah.
Syiah sebaliknya. Kelompok ini berpandangan bahwa Mu’awiyyah telah melakukan makar atau pemberontakan terhadap pemerintahan Ali yang sah. Syiah menolak kesepakatan damai itu dan menuntut keadilan.
Khawarij berpandangan bahwa baik Ali maupun Mu’awiyyah telah keluar dan sesat dari Islam. Baik Ali dan Mu’awiyyah halal untuk dibunuh. Dikirimlah dua orang untuk membunuh mereka. Belakangan, Ali yang akhirnya harus mati di tangan Ibnu Muljam, Mu’awiyyah berhasil lolos dari pembunuhan.
Pasca kematian Ali, Mu’awiyyah berhasil melakukan konsolidasi politik dan menahbiskan diri sebagai khalifah. Berakhirlah era khalifat-ar-rasyidin (the great chalipate).
Pun, Mu’awiyyah memindah ibu kota imperium Islam dari Madinah ke Damaskus, sebuah kota perdagangan di Syria. Pemindahan ibu kota ini sekaligus menegaskan telah terjadi pemisahan antara wilayah negara dan wilayah agama. Mu’awiyyah melakukan proses sekularisasi (dalam pengertian Peter L Berger).
Mu’awiyyah murni memposisikan diri sebagai pemimpin sekuler dan tinggal di Damaskus. Sementara itu, Madinah menjadi kota “agama “, tempat seorang Mufti tinggal.
Kebijakan ini menjadikan Damaskus tumbuh pesat. Damaskus berkembang menjadi kota megapolitan, yang menjadi ikon kemakmuran Bani Ummayah.
Selama beberapa tahun -sebelum takluk oleh Bani Abbasiyah – Damaskus menjadi kota sekuler yang cantik dan menawan.
Jika Siffien adalah saksi terjadinya perang saudara, maka Damaskus di era Mu’awiyyah, menjadi saksi terjadinya sekularisasi yang begitu rupa.
Di samping itu, Damaskus juga menjadi saksi runtuhnya demokrasi yang dirawat sejak era nabi sampai Ali. Mu’awiyyah melakukan transformasi sistem pemerintahan dari Republik-demokratis menjadi monarki-absolut. Mu’awiyyah-lah orang pertama yang melanggengkan sistem “putra mahkota “.
Lepas dari sejarah panjang di atas, pada abad 21 ini, Damaskus menjadi saksi gagalnya gerakan “arab springs “.
Damaskus, salah satu kota tertua yang cantik itu kini luluh-lantak akibat perang saudara, entah sampai kapan? Jutaan manusia mati dan jutaan yang lain eksodus dari Damaskus.
Damaskus menjadi saksi bahwa agama kerap dijadikan alat untuk menebar kebencian dan perang. Agama bukan lagi dijadikan panduan moral untuk berwatak welas-asih.
Damaskus memberi pesan bahwa saat agama bersetubuh dengan politik kekuasaan yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan yang mengerikan.
Damaskus hari ini adalah sebuah de javu dari Siffien di masa lampau.