Sering terdengar kata “bunuh”, “penggal”, dan kata bermakna penghilangan nyawa lainnya yang disampaikan seorang muslim. Perkataan ini kerap dihubungkan dengan landasan teologis seperti murtad atau kafir hingga meninggalkan kesan “Islam menghalalkan darah”.
Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad (as-sîrah an-nabawwiyyah) diinformasikan bahwa Nabi tidak pernah melakukan pembunuhan meski di dalam perang. Pesannya kepada para sahabat jika menghadapi orang-orang yang tidak menyetujui dakwahnya dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan adalah bersabar. Bahkan jika musuh sudah menyerang secara fisik hingga melakukan pembunuhan, Nabi memerintahkan untuk menunjukkan jenazah orang yang dibunuh sembari mengingatkan bahwa Allah tidak rela dengan darah manusia yang ditumpahkan.
Diinformasikan, ketika Nabi Muhammad mendelegasikan para sahabatnya ke Yaman untuk mengajak manusia supaya menghormati hak dan martabat manusia yang dipimpin Mu’âdz bin Jabal, Nabi berpesan:
لَا تَقْتُلُوْهُمْ حَتَّى تَدْعُوْهُمْ، فَإِنْ أَبَوْا فَلَا تُقَاتِلُوْهُمْ، حَتَّى يَبْدَأُوْكُمْ، فَإِنْ بَدَأُوْكُمْ، فَلَا تُقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى يَقْتُلُوْا مِنْكُمْ قَتِيْلًا ثُمَّ أَرَوْهُمْ ذَلِكَ، وَقُوْلُوْا لَهُمْ: هَلْ إِلَى خَيْرٍ مِنْ هَذَا سَبِيْلٍ، فَلَأَنْ يَهْدِىَ اللهُ عَلَى يَدَيْكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ وَغَرَبَتْ
Artinya: “Janganlah kalian memerangi mereka (penduduk Yaman) hingga kalian berdakwah kepadanya. Apabila mereka menolak maka janganlah kalian perangi hingga mereka mengawali memerangi kalian. Apabila mereka telah mengawali memerangi kalian maka janganlah kalian memeranginya hingga mereka membunuh salah seorang di antara kalian, perlihatkanlah jasad orang yang terbunuh kepada mereka, dan katakanlah kepadanya, ‘apakah ini jalan yang terbaik, sungguh Allah kelak akan menunjukkanmu bahwa nyawa satu orang lebih baik dari pada tempat di mana matahari terbit dan terbenam.’” (Abû Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn, II, 516).
Sabda Nabi Muhammad di atas menunjukkan betapa berharganya nyawa manusia hingga Nabi menegaskan, “satu nyawa manusia di hadapan Tuhan lebih baik dari tempat matahari terbit dan terbenam”. Pernyataan ini, pada masa Nabi Muhammad (abad 6 M) sangat luar biasa mengingat kebiasaan masyarakat Arab pra Islam tidak menganggap penting nyawa manusia.
Jika seseorang menyakiti satu orang saja, maka antar suku akan melakukan perang. Orang yang diancam jika berhasil dibunuh maka jasadnya akan dicacah-cacah dan dibelah hingga berkeping-keping sebagai balasan dan pelampiasan amarah. Dalam masyarakat yang demikian, Nabi menyerukan kepada para sahabatnya, jika dalam berperang terpaksa harus membunuh, maka pembunuhan harus dilakukan dengan cara yang baik, yakni tidak boleh menyakiti jasad yang sudah mati.
Pembunuhan bagi Nabi adalah perbuatan yang sangat nista, hingga Nabi mengumpamakan “satu nyawa” masih lebih baik daripada sumber kehidupan semesta, yakni tempat terbit dan terbenamnya matahari. Lebih tegas lagi dalam QS. Al-Mâ`idah 32 dinyatakan bahwa orang yang membunuh satu orang seakan-akan dia telah membinasakan semua umat manusia. Sebaliknya, orang yang memelihara kehidupan satu orang maka sama dengan menjaga kehidupan semua umat manusia.
Melalui pembacaan atas ayat al-Quran dan hadis di atas, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad melarang pertumpahan darah. Lalu bagaimana dengan seorang muslim yang justru menyerukan pertumpahan darah melalui ucapannya “bunuh” dan “penggal lehernya”? Bukankah Nabi melarang pembunuhan? Bukankah akhlak Nabi yang harus diikuti?
Pembunuhan adalah kebiasaan buruk para pendendam yang hidup pada abad ke 6 M yang menjadi objek dakwah Nabi Muhammad. Jadi, kalau ada muslim yang menyerukan pembunuhan, pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang harus didakwahi meski di depan namanya terdapat gelar-gelar keislaman atau berpakaian “jubah”.
*) Khoirul Anwar, Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang