Beberapa pertengahan bulan lalu, media sosial kita sempat ramai poster-poster pengajian yang bertajuk “Muslim United” yang rencana awalnya akan bertempat di Masjid Kauman Yogyakarta. Pasalnya yang mengadakan acara tersebut memiliki afiliasi terhadap kelompok tertentu untuk menanamkan benih-benih paham khilafah. Dan yang paling disayangkan adalah mereka melakukan klaim secara sepihak terhadap tempat tersebut, sehingga banyak yang tidak sepakat terhadap acara tersebut.
Tentu kejadian seperti ini seharusnya tidak terjadi dan sangat disayangkan sekali acara tersebut banyak mengundang pedakwah ustadz-ustadz yang memiliki afiliasi yang kuat terhadap paham khilafah. Pun, menggunakan tajuk “Muslim United” ini merupakan hal yang kurang tepat, seolah-olah mereka mewakili suara umat islam yang ada di Indonesia.
Namun, Muhidin M Dahlan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap keberadaan perkumpulan seperti ini, yang menurutnya merupakan bagian dari ajakan untuk berkumpul sesama umat islam dan “menyatukan semangat berislam” di masjid, selain itu juga untuk memupuk solidaritas antar umat islam. Jika kita bisa melihat suara umat islam di Indonesia ia memiliki suara mayoritas dan seharusnya tidak melakukan klaim sepihak terhadap tempat ibadah.
Namun, kerapkali klaim terhadap tempat ibadah terjadi ketika sentimen dalam beragama meledak. Kita tahu politisi masjid banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok yang ingin menguasai masjid dalam meneriakkan suara-suara khilafah dan takbir. Padahal, islam pun tidak pernah mengajarkan menggunakan pandangan seperti itu di dalam masjid, apalagi untuk orasi dan lain sebagainnya.
Nah, masjid sendiri yang sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran islam, kerap kali malah menjadi bagian dari tempat untuk berpolitik. Politisasi masjid yang terjadi di DKI Jakarta pada saat pilkada menjadi sebuah polemik tersendiri bagi umat muslim di Indonesia. Yang seharusnya, masjid milik semua orang, akan tetapi hanya dikuasai beberapa kelompok mayoritas yang ada di wilayah tertentu.
Sentimen yang muncul ini menjadikan umat muslim terpecah hanya karena berebut lahan ibadah. Untuk beribadah pun harus seribet itu, padahal masjid yang sebagai poros sekaligus basis penyebaran islam di Nusantara menjadi penting adanya. Masjid selalu menjadi sebuah simbol dalam masyarakat islam nusantara yang hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.
Banyak masjid yang diakuisisi oleh beberapa kelompok yang memiliki kepentingan untuk menyebarkan paham-paham yang tidak sesuai dengan islam di Indonesia. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi. Mengingat bahwa keistimewaan sebuah bangunan masjid selalu memiliki makna dan misi tersendiri dalam menyebarkan khazanah islam. Di berbagai wilayah di Indonesia banyak bangunan masjid yang memiliki simbol yang selalu mencerminkan khazanah nusantara.
Nah, terjadinya akuisisi hingga mempolitisi masjid ini menjadi hal yang seharusnya tidak terjadi pada masyarakat kita. Sudah seharusnya marwah masjid kembali seperti semula dan digunakan untuk pusat penyebaran islam di tanah nusantara. Melalui masjid, banyak melahirkan tokoh-tokoh agama yang memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama manusia.
Mengingat Wali Songo saat mengajarkan ajaran Islam ke Nusantara salah satunya dengan menggunakan elemen masjid. Selain menjadi tempat untuk beribadah, mengaji, dan kegiatan agama yang lain, masjid saat itu juga dipergunakan untuk mempertemukan seluruh umat islam, sekaligus menjadi tempat musyawarah.
Simbol yang digunakan oleh Wali Songo ini tidak untuk disalahgunakan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun, semakin kesini, zaman semakin modern keberadaan masjid ini justru menjadi simbol tonggak kekuatan umat Islam khususnya di Indonesia. Selain menjadi rumah ibadah umat muslim, masjid juga menjadi simbol moderasi umat islam di seluruh dunia. Wallahua’lam.
Arief Azizy, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.