Membandingkan Metode Dakwah Wali Songo dengan Ustadz-ustadz Medsos yang Viral

Membandingkan Metode Dakwah Wali Songo dengan Ustadz-ustadz Medsos yang Viral

Metodologi dakwah Wali Songo seringkali gagal dibaca oleh umumnya pendakwah Islam era sekarang yang lebih mementingkan aspek formalistik.

Membandingkan Metode Dakwah Wali Songo dengan Ustadz-ustadz Medsos yang Viral

Perkembangan Islam di Indonesia cukup menarik. Dalam satu diskusi mata kuliah Islam Indonesia, setidaknya – secara selintas, menurut penulis- ada tiga tahap perkembangan dakwah Islam Indonesia. Petama, masa persemaian. Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad pertama Hijriah (abad ke-7 dan ke-8 Masehi), tetapi sifatnya “singgah  sementara dan baru diperkenalkan” oleh para pedagang. wali songo

Sifat para pedagang inilah yang menyertai proses Islamisasi yakni sangat terbuka dan bersifat setara. Tentu sangat berbeda dengan sifat Islam yang disebarkan melalui ekspansi militer. Tiga sampai empat abad kemudian para pedagang mulai membuat komunitas-komunitas yang menetap dengan berbagai pranatanya, bahkan mampu mewujudkan kekuatan-kekuatan politik yang mantab menjelang abad ke-13.

Keberadaan kekuatan-kekuatan politik Muslim sebagai puncak dan akibat yang dihasilkan pada fase-fase awal perdagangan telah semakin membuka lebar jalan bagi penyebaran Islam secara signifikan.

Kedua, masa perkembangan dan pemantapan. Menjelang awal abad ke-13, orang-orang Islam memberikan perhatian khusus pada aktivitas-aktivitas penyebaran Islam dengan semakin banyaknya para pendakwah, guru agama, dan ulama—yang banyak dikenal dengan sebutan mullah, makhdum, maulana, syekh, dan gelar lokal seperti, sunan, wali, ketib, dato, ataupun kyai—untuk secara profesional menyebarkan ajaran Islam.

Pada abad-abad ini pula, terdapat banyak sufi yang mengajarkan Islam melalui tasawuf. Kejayaan dan pemantaban dari proses dakwah secara sufistik terjadi pada pertengahan abad ke-15 hingga abad ke-16 melalui peran Wali Songo. Tasawuf telah menjadi faktor utama perkembangan dan pemantaban proses dakwah Islam.

Meskipun tidak sesuai dengan praktek dan budaya Arab tempat Islam pertama kali dilahirkan, melalui tasawuf, Walisongo melakukan proses dakwah dengan cara mencari titik kesamaan dan substansi antara nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya masyarakat setempat, tanpa harus mengganti praktek dan budaya yang sudah ada. Melalui perantara budaya lokal yang diisi dengan nilai-nilai ajaran Islam para Wali Songo mengajarkan masyarakat secara perlahan dan tidak terasa telah menganut ajaran Islam.

Metodologi dakwah Wali Songo seringkali gagal dibaca oleh umumnya pendakwah Islam era sekarang yang lebih mementingkan formalistik. Dalam pandangan Wali Songo, selama orang-orang lokal sudah mengakui nilai-nilai ajaran Islam secara hakiki mengenai keesaan Tuhan dan kerasulan Nabi Muhammad, maka sudah dianggap sebagai Muslim, meskipun secara formal belum melakukan ritual dan masih melakukan tradisi dan budaya nenek moyangnya.

Bukan sebaliknya, menilai Islam tidaknya seseorang hanya pada aspek formal dan permukaan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia tanpa memperhatikan aspek yang lebih dalam dan nilai-nilai hakiki ajaran Islam itu sendiri.

Akibat yang muncul dari cara pandang formalistik ini adalah bahwa seseorang akan dianggap sudah ‘masuk Islam’ ketika dia telah semakin mendekati atau sama dalam melaksanakan tradisi dan budayanya seperti budaya masyarakat Arab, meskipun secara hakiki belum mengakui nilai-nilai inti ajaran Islam.

Adapun terhadap seseorang yang telah mengakui akan hakikat dan nilai-nilai utama ajaran Islam mengenai keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad—yang secara syari’ah sudah dianggap ‘masuk Islam’—tetapi masih mengamalkan tradisi dan budaya lokal, maka akan tetap dianggap belum ‘masuk Islam’ karena belum sesuai dengan standar “Islam paling murni” yang diidentikkan sebagai ‘Islam ala Arab’.

Ketiga, memilki metode yang bisa diterapkan, yakni: pertama, kontekstual, yaitu roses dakwah harus memahami ruang dan waktu, sehingga akan lebih bisa masuk ke semua kalangan. Selanjutnya, toleran, yakni berdakwah harus siap berbeda dan mampu menyadarkan bahwa meskipun berbeda pemahaman tetapi tetap simpatik, bukan memaksa.

Kedua, menghargai tradisi. Tidak memusuhi traidisi dan budaya, justru menjadikan tradisi dan budaya sebagai alat menghidupkan nilai-nilai Islam, sebab nilai-nilai Islam memerlukan kerangka yang sudah lama akrab dengan kehidupan pemeluknya.

Terakhir, ketiga, membebaskan. Sebagai aktivitas dakwah, Islam harus mengetengahkan sebagai ajaran yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan kemanusiaan secara universal, bukan malah menyempitkan cara pandang dan pola pikir. Islam adalah untuk memanusiakan manusia dan demi kebaikan mereka. (AN)

Wallahu a’lam.