Benarkah mengucapkan tahun baru atau meniup terompet akan otomatis jadi Yahudi dan dianggap murtad? Sebelum ke sana, kita harus sadar fakta ini: menjelang dan setelah tahun baru, kita menemukan banyak sekali orang yang berjualan terompet. Untuk memeriahkan pesta tahun baru tidak hanya dengan terompet saja, melainkan juga disertai menyalakan kembang api. Keduanya dilakukan bersama-bersama menjelang detik-detik pergantian tahun. Kejadian semacam ini bisa kita lihat diberbagai kawasan di Indonesia, dan dilakukan di tempat terbuka seperti lapangan dan jalanan besar.
Meniup terompet dan kembang api adalah dua tindakan yang kerap dilakukan dalam menyambut datangnya tahun baru dan ini sudah menjadi budaya dalam masyarakat kita. Namun, yang menarik untuk dilihat ialah budaya terompet itu sendiri. Pasalnya, banyak dari kita yang belum mengetahui asal mula terompet, kegunaannya apa dan budayanya siapa.
Jika kita mencari sejarah terompet, kita akan menjumpainya dalam budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, terompet digunakan untuk memanggil orang-orang berkumpul ke Sinagoge pada saat beribadah. Terompet agama Yahudi memiliki ciri khas yakni bentuknya seperti tanduk kambing. Bentuk ini diambil atas penghormatan kepada Isaac (Nabi Ishaq dalam Islam) yang dalam kepercayaan mereka akan disembelih oleh Nabi Ibrahim bukan Nabi Ismail menurut kepercayaan Islam.
Di samping untuk memanggil orang-orang beribadat juga digunakan dalam perayaan tahun baru dalam penanggalan Ibrani. Dalam kitab Imamat 23:24 yang berbunyi “katakanlah kepada orang-orang Israel, dalam bulan ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari perhentian penuh yang diperingati dengan meniup terompet, yakni hari pertemuan kudus”.
Namun, sejak bangsa Yahudi dikuasai oleh Romawi pada tahun 63 SM, orang-orang Yahudi menggunakan dua kalender yakni kalender Ibrani dan kalender Masehi. Sejak saat itu lambat laun penanggalan Ibrani ditinggalkan dan hanya mengikuti kalender Masehi. Begitu juga dengan perayaan yang biasanya dilakukan pada tanggal satu bulan tujuh diganti pada tanggal 31 Desember hingga 1 Januari.
Dengan begitu, maka terompet bisa dikatakan atribut dari agama Yahudi. Anggapan ini didasarkan perkataan Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Umair bin Anas, dari sebagian pamannya dari kaum Anshar, berkata “Nabi SAW sangat prihatin terhadap shalat, bagaimana cara mengumpulkan orang banyak untuk mengerjakan shalat.”
Maka dikatakan kepada beliau, “tancapkanlah bendera ketika waktu shalat telah tiba. Apabila mereka melihatnya, maka sebagian memberitahukan yang lainnya.” Namun usulan itu tidak disukai beliau. Lalu disebutkan juga kepada beliau terompet, kata Ziyad, ‘terompet Yahudi”. Pendapat ini juga tidak disenangi oleh beliau, dan beliau SAW bersabda, “itu perbuatan orang-orang Yahudi.” Disebutkan pula kepada beliau, supaya memakai lonceng, beliau bersabda, “itu perbuatan orang-orang Nasrani.” Setelah kejadian tersebut Abu Zaid pergi pulang.” (HR. Abu Dawud no. 496).
Hadits lain yang membicarakan mengenai perkara tersebut ialah : “Dahulu kaum muslimin saat datang ke Madinah, mereka berkumpul seraya memperkirakan waktu shalat yang (saat itu) belum di adzani. Di suatu hari, mereka pun berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian orang diantara mereka berkomentar. ‘Buat saja lonceng seperti orang-orang Nasrani’. Sebagian lagi berkata, ‘Bahkan buat saja terompet seperti terompet kaum Yahudi. Umar pun berkata, ‘Mengapa kalian tak mengutus seseorang untuk memanggil (manusia) untuk shalat’. Rasulullah SAW bersabda,’Wahai Bilal, bangkitlah lalu panggilah (manusia) untuk shalat.” (HR. Bukhari 604 dan Muslim 377).
Dengan melihat uraian di atas, antara sabda Nabi dan Yahudi, tentu kita harus mencermati lebih dalam melihat budaya perayaan tahun baru dengan terompet. Tradisi Yahudi dengan atribut terompetnya digunakan untuk memanggil orang-orang beribadat. Jika orang Islam meniru hal secamam itu, yakni memanggil orang dengan terompet untuk beribadah, maka ia termasuk orang-orang yang bertasyabbuh dan ini yang diharamkan oleh Nabi.
Hal ini akan berbeda jika meniup terompet pada perayaan tahun baru. Sebab, hukum asal meniup terompet adalah boleh dan hanya bisa dibatasi kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Dalam hadits di atas, Nabi tidak melarang untuk meniupnya melainkan hanya tidak suka dengan penggunaan terompet dalam memanggil orang. Dengan begitu illat yang ditujukan untuk sarana memanggil kaum Yahudi dalam beribadah, bukan ditujukan dalam hal peniupannya.
Jadi, jika meniup terompet untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah maka hukumnya haram, sebagaimana penjelasan tasyabbuh di atas. Namun, jika meniup terompet untuk perayaan hari raya dengan memakai illat tadi (tasyabbuh), maka illatnya tidak cocok. Dengan begitu maka pelarangannya tidak mutlak sebab illatnya tidak menunjukkan demikian. Hemat saya, monggo saja yang mau meniup terompet di perayaan pergantian tahun, lebih baik lagi diselingi dengan bermuhasabah, introspeksi diri.
Tapi, omon-omong, apa tidak bosan ya berdebat hal ini, debat tentang boleh atau tidaknya mengucapkan tahun baru? Selamat tahun baru. Mohon maaf lahir dan batin. Wallahhua’lam.