Ada satu tulisan menarik dari Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) yang berjudul “Online Fatwa in Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling a Kiai”. Tulisan ini berisikan tentang fenomena fatwa online yang telah dimulai sejak era new media. Salah satu ciri dari new media adalah ia mampu menjadi ruang publik baru.
Pada saat itu media dimanfaatkan untuk memproduksi pengetahuan tentang fiqih. Di Indonesia sudah banyak bermunculan media-media online yang memberikan fatwa dan/atau nasihat tentang berbagai macam persoalan, salah satunya fiqih. Di satu sisi, hal ini bisa bersifat positif apabila memang tidak ada klaim kafir-mengkafirkan aliran atau firqah tertentu, namun di sisi lain sangat membahayakan karena tidak adanya filter dan lembaga terlegitimasi yang menaunginya.
Terkait dengan persoalan yang negatif, Gus Nadir berargumen bahwa di dalam kasus fatwa online tidak ada yang menjamin legalitas dan validitas terkait dengan argumentasi yang dibangun. Misalnya terkait dengan metodologi dalam berfatwa. Selama ini fatwa dan persoalan fiqih dibahas dalam ruang-ruang sendiri. Di NU terdapat Batsul Masail dan di Muhammadiyah ada Majlis Tarjih. Kedua lembaga ini sama-sama memiliki metodologi yang jelas dan orang-orang memiliki legalitas keilmuan tinggi.
Persoalan mendasar dari meningkatnya fatwa online di media online adalah tidak adanya filterisasi di dalamnya. Ukuran menjadi seorang mufti untuk melakukan ijtihad tidak diketahui secara pasti. Apakah orang tersebut ahli dalam bidang tertentu atau semua bidang, semuanya itu belum diketahui secara pasti.
Berbeda halnya dengan tolak ukur dari ormas NU, Muhammadiyah, dan MUI yang telah memiliki beberapa kriteria seorang menjadi mufti. Kredibilitas keilmuan mufti dan para alim ulamanya sudah terlegitimasi. Secara metodologi, NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki perangkatnya sendiri. NU dengan lembaga Batsul Masailnya telah menetapkan beberap metode istinbath hukum, begitu juga dengan Muhammadiyah dengan Majlis Tarjihnya.
Pandangan seperti ini belum nampak jelas di fatwa media online. Bentuk fatwa yang diberikan biasanya melalui tanya jawab persoalan keseharian maupun lainnya. Apabila seseorang bertanya tentang suatu hal, maka si mufti online akan memberikan jawabannya.
Menurut Gus Nadir telah banyak dijumpai di Indonesia ketika internet sudah dikenal luas oleh masyarakat tentang munculnya fatwa di media online. Pada saat itu internet masih banyak digunakan di kalangan perkotaan. Hal ini bisa dipahami sebab akses terhadap modernitas dan layanan internet mudah dijangkau dalam perkotaan dibandingkan dengan desa. Oleh karena itu, penyebaran pertama kali adanya fatwa online ini dalam masyarakat perkotaan.
Perkembangan media di era new media ini telah memberi dampak yang signifikan dalam religiusitas masyarakat Indonesia. Hal ini mempermudah seseorang untuk mengakses ilmu keislaman di media online ketimbang harus mencari tahu kepada gurunya dan bertemu secara fisik.
Para mufti online mengetahui bahwa saat ini orang banyak belajar dari media online. Mereka memanfaatkan kebangkitan media baru sebagai upaya untuk mengkonstruksi pemahaman keagamaan. Di samping itu juga, realitas masyarakat saat ini juga sedang memasuki era post-truth di mana seseorang mudah terpengaruh oleh media. Oleh karena itu, keberadaan mufti online bisa mempengaruhi cara beragama masyarakat di Indonesia.
Apabila hal ini semakin meningkat tanpa adanya filterisasi, maka kesemrawutan model pemahaman keagamaan akan terjadi. Kadang kala ada baiknya jika pusat fatwa diarahkan pada lembaga tertentu dan sifatnya terpusat, namun di sisi lain juga terdapat keburukan apabila keterpusatan itu justru mereduksi kreatifitas orang untuk berijtihad.
Namun yang menjadi catatan di sini adalah masyarakat harus tahu bahwa saat ini perkembangan media online dalam memberikan fatwa-fatwa dan penyelesaian dalam persoalan agama tidak lagi terpusat pada lembaga tertentu. Fatwa ini tersebar di mana-mana. Berceceran di google. Tinggal klik satu-dua isu tertentu maka akan muncul penyelesaiannya.
Oleh karena itu, menyebarnya fatwa-fatwa di media online perlu ada filterisasinya. Mulai dari ulamanya, keilmuan ulama tersebut seperti apa, apakah dia menguasai seluruh keilmuan dalam Islam ataukah hanya parsial. Hal ini bertujuan untuk mengontrol mereka supaya semena-mena memberikan fatwa kepada masyarakat yang tidak berlandaskan seperangkat metodologi dan tidak mendasarkan pada aspek maqasid as-syar’i, tujuan dari syari’at itu sendiri. Wallahhu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.