Salah satu ulama generasi kedua dalam jaringan intelektual Islam betawi adalah KH. Muhammad Syafi’i Hadzami. Beliau dilahirkan pada di Jakarta tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadhan 1349 H. Ayahnya bernama Muhammad Saleh Raidi, sedangkan ibunya bernama Mini.
Sejak kecil, Muhammad Syafi’i Hadzami berada dalam bimbingan kakeknya yang bernama Husin. Dari sinilah awal mula beliau mendapatkan pendidikan intelektualnya dengan belajar Al-Qur’an secara baik dan benar sesuai dengan kaidah dalam ilmu tajwid. Berkat ketekunannya dalam belajar, beliau berhasil menghatamkan Al-Qur’an pada usia 9 tahun. Selain belajar Al-Qur’an, beliau juga belajar ilmu alat seperti nahwu dan shorof sebagai bekal agar dapat mempelajari kitab-kitab klasik yang tidak mempunyai harakat (kitab gundul).
Walaupun dalam tradisi keluarganya, tidak ada yang mempunyai kecenderungan menjadi ulama atau kiai. Namun, berkat didikan kakeknya yang sering menyuruh Muhammad Syafi’i Hadzami untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama, membuat beliau ingin menyamai mereka. Berangkat dari keinginan inilah yang menjadikannya selalu bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.
Berbeda dengan perjalanan intelektual ulama lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat, Muhammad Syafi’i Hadzami hanya mencari ilmu-ilmu agama di sekitar Jakarta. Beliau tidak pernah belajar di pesantren atau madrasah, apalagi di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi beliau. Sebab dari sinilah beliau belajar ilmu-ilmu agama.
Diantara guru-guru Muhammad Syafi’i Hadzami adalah KH. Mahmud Romli (1866 M), seorang ulama besar betawi. Kepadanya, beliau belajar kiyab ihya Ulumuddin dan Bujayrimi selama 6 tahun. Kemudian, kepada KH. Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak pada dua ulama Haramain abad ke-17 yaitu Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz az-Zamzami. Beliau sering mengaji dan membaca dzikir di tempat KH. Abdul Fattah (1974 M) yang dikenal sebagai pembawa tarikat Idrisiyah di Indonesia. Selain itu, beliau mengikuti pengajian rutin Habib Ali bin Abdurrahmanal-Habsyi setiap hari Ahad.
Selanjutnya, Muhammad Syafi’i Hadzami mengaji Al-Qur’an, belajar ilmu tajwid, ilmu nahwu dengan kitab Mulhat al-i’rab dan ilmu fiqih dengan kitab ats-Tsimar al-Yani’ah yang merupakan syarah kitab ar-Riyadh al-Badi’ah kepada Sa’idan di Kemayoran. Dari sinilah kemudian beliau disuruh untuk belajar lagi kepada ulama-ulama lain, seperti Ya’Kub Sai’di (Kebon Sirih), Khalid (Gondangdia), dan Abdul Majid (Pakojan).
Adapun salah satu guru utama Muhammad Syafi’i Hadzami yang lain adalah Habib Ali bin Husein al-Attas yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Beliau membaca kitab di hadapan Habib Ali yang sering disebut dengan istilah sorogan selama kurang lebih 18 tahun.
Meskipun Muhammad Syafi’i Hadzami hanya belajar ilmu agama kepada ulama-ulama yang berada di sekitar Jakarta. Namun tingkat keilmuan yang dimilikinya tidak kalah hebat dengan ulama-ulama lainnya yang hidup pada abad ke-20. Hal ini disebabkan karena kemantapan hati, ketekunan, dan usaha keras yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlak, dan kecerdasannya.
Muhammad Syafi’i Hadzami dikenal sebagai seorang ulama yang produktif menghasilkan karya dalam bentuk tulisan. Salah satu karya terkenalnya berjudul Tawdhih al-Adillah yang sudah terbit dalam 7 jilid dan telah dicetak berulang kali. Adapun karya yang lain, diantaranya: Sullamu al-Arsy fi Qira’at Warsy (berisi kaidah-kaidah pembacaan Al-Qur’an menurut Syekh Warsy), Qiyas Hujjah Syar’iyyah (berisi dalil Al-Qur’an dan hadis bahwa Qiyas adalah salah satu argumentasi syariah), Qabliyyah Jum’at (berisi kesunahan sebelum sholat), Shalat Tarawih (berisi hal-hal yang berkaitan dengan tarawih), Ujalah Fidyah Shalat (berisi permasalahan fidyah), dan Mathmah ar-Rubi fi Ma’rifat ar-Riba (berisi permasalahan riba).
Pada akhirnya, Muhammad Syafi’i Hadzami dapat membuktikan kepada kita semua bahwa meskipun beliau hanya belajar pada satu wilayah saja. Namun, berkat kesungguhan dalam mempelajari ilmunyalah yang dapat mengantarkan beliau pada keberhasilan. Dalam konteks dewasa ini, dimana ilmu pengetahuan sangat mudah sekali didapatkan, seharusnya dapat menjadikan kita menjadi seseorang yang paling tidak mempunyai keilmuan yang setara atau bahkan melebihi beliau.
Wallahu A’lam