Kafir Menurut Ulama Betawi

Kafir Menurut Ulama Betawi

Risalah lawas itu amat penting hukumnya dikabarkan kembali kepada khalayak ramai, tak terkecuali ulama dan umara. Sebab, akhir-akhir ini terjadi fenomena yang mengaca

Kafir Menurut Ulama Betawi

Tanggal 10 Nopember 1957, ulama betawi berkumpul di sebuah bangunan bernama Gosrul Wafidin, Jalan Bidaracina, Jakarta Timur. Mereka dikumpulkan oleh tiga pertanyaan yang dipicu dari fatwa hasil Muktamar Alim Ulama di Palembang, 11 September 1957.

Pertama, Kabinet Gotong Rojong jang terdiri dari berbagai matjam aliran Partai Politik seperti: Aliran Agama, Aliran Nasionalis, dan Aliran Sosialis. Adakah kabinet (pemerintah jang sematjam itu Haram menurut Agama Islam? Kedua, Dewan Nasional jang menjadi suatu Madjelis Pertimbangan da Penasehat dalam Negara RI jang anggouta2nja terdiri dari berbagai matjam aliran Partai Politik seperti, Aliran Agama, Aliran Nasionalis, dan Aliran Sosialis. Adakah Dewan Nasional jang sematjam itu Haram hukumnja menurut Agama Islam?

Ketiga, Bagaimana mengufurkan seseorang jang masih mengakui Agama Islam dan menghadap kiblat ketika sembayang. Adakah dan dapatkah orang itu dipastikan kufur dengan begitu sadja?

Di bawah pimpinan Habib Salim bin Djindan al-Alawi al-Indonesi dan KH Hasbiyallah sebagai sekretaris, menelaah dengan seksama dari pagi hingga malam. Kitab berjilid-jilid diangkut dari rumah masing-masing dan disajikan meja-meja layaknya makanan. Lalu dibuka satu-satu, dibacakan dengan fasih hingga hadirin paham. Perkara di atas memang serius, tidak baen-baen: tuduhan haram kabinet dan vonis kafir kepada mukmin. Apa jawaban ulama Betawi atas tiga persoalan di atas?

Pertanyaan pertama dijawab jelas, sistem Kabinet Gotong Royong yang dibentuk Soekarno itu mubah saja, tiada haram sama sekali. “Tidak ada alasan dalam agama bagi seseorang jang dapat mengharamkan hal itu, terketjuali ada alasan2 dalil2 dan Kuran, Hadist Nabi Muhammad s.a.w jang sohih beserta dengan Idjma Kaul Ulama.”

Ulama Betawi menyodorkan delapan dalil untuk menguatkan padangannya tersebut, lima berupa hadits dan tiga ayat Al-Qur’an.

“Sesungguhnya kehalalan dan keharaman sudah jelas. Dan tiap-tiap yang sudah ditetapkan Rasulullah itulah sebaik-baiknya hukum. Dan tidak boleh bagi seorang muslim menyembunyikan suatu hukum, kecuali Allah dan Rasulnya yang menambahkan dalam hukum syara’,” demikian di antara hadits yang disodorkan sebagai dukungan jawaban. Dan ayat suci yang dikemukakan “ma yuridullahu liyaj’ala ‘alaikum min haraj, sesungguhnya allah tidak menghendaki atas kalian kesusahan.”

Untuk pertanyaan kedua, ulama Betawi mengambil keputusan bahwa anggota dewan nasional dengan macam-macam aliran tidak ada masalah, karena tak ditemukan ayat Al-Qur’an ataupun hadits menghukumi masalah tersebut.

Masalah ketiga, yakni, mengufurkan (menghakimi kafir kepada seseorang) yang sesungguhnya tidak main-main, karena jika benar, bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan, dari soal perkawinan hingga hak mengurus anak, bahkan dapat berujung pada vonis mati. Apa jawabanya ulama Betawi terhadap masalah ini?

“Adapun mengufurkan seorang Muslim jang belum diketahui dan diselidiki jang sedalam2nja menorut pedoman Kuran-Hadis Nabi Muhammad s.a.w. beserta Idjma Ulama adalah tidak boleh,” demikianlah jawabannya.

Jawaban tersebut disandarkan pada delapan qoul atau pendapat mujtahid, satu atsar atau pendapat Sahabat Nabi, tujah hadits Nabi SAW, dan satu firman Tuhan.

Di antara pendapatnya adalah sesungguhnya mengafirkan seseorang mukmin adalah tidak sah dengan jalan apapun. Pendapat ini dikemukakan Syekh Bachit bin Heusen dari Al-Azhar Mesir dalam kitabnya Al-Bida.

“Kufur itu dosa yang sangat besar. Maka janganlah mudah, gampang sekali mencap seorang mukmin itu kafir. Dan sekalipun kamu mengetahui riwayatnya orang itu, hendaknya tidak boleh dikufurkan,” kata Az-Zaila’i dalam kitab Syahrul Kanzi. Sementara Nabi Muhammad memberi peringatan,”Siapa yang mengafirkan seorang mukmin, maka dialah yang kafir.”

***

Hasil musyawarah ulama Betawi itu didokumentasikan dalam risalah berjudul Penolakan Putusan Muktamar Alim Ulama di Palembang. Risalah empat belas halaman itu ditulis dengan bahasa Indonesia, dengan aksara Latin dan Pego.

Rasanya, risalah lawas itu amat penting hukumnya dikabarkan kembali kepada khalayak ramai, tak terkecuali ulama dan umara. Sebab, akhir-akhir ini terjadi fenomena yang mengacaukan kehidupan beragama.