Bagaimana cinta Khadijah begitu membekas di Nabi Muhammad? Tersebut dalam sebuah riwayat, suatu hari Nabi Muhammad saw mengambil cabang pohon kurma lalu menggoreskan empat garis di tanah. “Tahukah kalian apa arti 4 garis ini?” tanya Nabi saw.
“Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya,” jawab para sahabat.
“Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli surga yang paling mulia: Khadijah putri Khuwailid, Fatimah putri Muhammad, Istri Firaun–Asiyah putri Muzahim, dan Maryam putri Imran….”
Sibel Eraslan menutup karyanya Khadijah: Ketika Rahasia Mim Terungkap dengan riwayat ini. Novel Khadijah adalah 1 dari 4 serial novel wanita penghuni surga karya Sibel Eraslan: novel Khadijah, Fatimah, Asiyah, dan Maryam.
Membaca novel Khadijah, menginsafkan pembaca akan betapa besar peran perempuan dalam masa-masa awal dakwah Nabi Muhammad saw. Dan Khadijah binti Khuwailid menjadi perempuan yang paling berperan dalam dakwah Nabi Muhammad SAW.
Khadijah adalah istri yang senantiasa mendampingi Nabi Muhammad SAW. Menjadi air yang menyejukkan hati Nabi, serta motivator yang senantiasa menyemangati Nabi di kala menghadapi berbagai rintangan dakwah.
Beliau juga merupakan orang pertama yang menerima kebenaran Islam yang dibawa Rasulullah. Dia orang pertama yang bersyahadat–mengikrarkan diri masuk Islam. Orang pertama yang berwudhu dalam Islam, setelah Nabi sendiri. Dia yang pertama kali menyertai salat Nabi Muhammad SAW. Tentunya, orang yang pertama itu adalah perempuan.
Peran heroik sang istri Rasulullah abadi ketika Nabi Muhammad SAW cemas atas dirinya yang baru menerima wahyu di Gua Hira. Pulang dengan terburu-buru. Cemas, amat cemas dan takut.
“Selimuti aku…, selimuti aku…,” permintaan Nabi Muhammad SAW saat masuk ke rumahnya.
Dengan tenang dan penuh cinta, Khadijah menjadi penyejuk hati Muhammad. “Jangan berpikir buruk tentang dirimu. Bergembiralah! Aku bersumpah kepada Allah bahwa Dia tidak akan pernah membuatmu malu! Engkau telah melindungi dan memerhatikan kerabatmu. Engaku pun selalu berkata jujur dan membantu mereka yang membutuhkan. Engkau membantu orang-orang yang tidak memiliki apa-apa.” Ujarnya.
Malam itu, kata-kata Khadijah menjadi penyejuk hati Muhammad. Ah, tak hanya di malam itu, namun di momen-momen selanjutnya awal dakwah Nabi saw, Khadijah selalu menjadi penyejuk hatinya.
“Khadijah merupakan pendukung terbesarnya. Malaikat dan wanitalah yang menjadi pendukung terbesar Rasulullah,” kata Sibel Eraslan.
Suatu hari, saat Nabi SAW sedang bersama malaikat di Gua Hira. Malaikat melihat pancaran cahaya dari kejauhan. Cahaya itu berasal dari Khadijah. Khadijah yang khawatir dengan suaminya mendaki Hira sambil membawa keranjang.
“Ya Rasulullah, Khadijah datang,” kata malaikat.
Rasul pun menjelaskan pada malaikat kalau Khadijah memang senantiasa berada di sisinya.
“Ia berada di belakangmu, di balik batu itu. Ketika ia datang menghampirimu, sampaikan salam dari Allah dan dariku kepadanya. Allah memberikan kabar gembira sebuah tempat di surga yang jauh dari keramaian dan kelelahan.”
Meski mendaki di bawah terik matahari dalam panasnya tanah Mekah. Khadijah tetap memberi salam pada suaminya dengan penuh senyum, seakan tak ada rasa lelah di wajahnya, yang ada hanyalah senyuman untuk suaminya. “Salam ya Rasulullah! Salam ya Rasulullah!”
“Selamat datang Khadijah. Allah dan Jibril memberikan salam untukmu,” kata Nabi SAW. Itulah Khadijah, perempuan yang mendapatkan salam dari Allah dan malaikat.
“Ia selalu mendukung (Nabi Muhammad saw) secara terbuka maupun sembunyi, saling menghormati, dan tak pernah membiarkan suaminya sendiri tanpa perhatian. Khadijah adalah teman perjalanan hidup suaminya. Tak pernah melepaskan dan putus asa,” demikian ungkap Sibel Eraslan dalam buku ini.
Saat memulai dakwah, Nabi Muhammad SAW mendapatkan tekanan yang amat berat dari para penentang. Berbagai cacian-hinaan padanya. Bahkan, ada yang sampai melemparkan tanah ke kepalanya.
Suatu hari, seorang bertanya pada ‘As bin Wail di Pasar Ukaz sambil menunjuk Nabi SAW yang sedang berdakwah, “Siapakah gerangan orang yang bicara dengan perlahan-lahan itu?”
“Dia? Dia itu hanyalah seorang yang keturunannya terputus, tak punya keturunan,” jawab ‘As penuh dendam dan benci. Perkataan ini ditujukan atas Nabi SAW yang baru kehilangan Abdullah–putra tercintanya.
Mendengar itu, patah hati Nabi SAW. Dengan amat sedih, Nabi kembali ke rumah. Untunglah, ada Khadijah–sang motivator Nabi SAW.
“Engkau adalah Rasul utusan Allah yang Maha Esa,” kata Khadijah menguatkan hati Nabi. Sembari menatap dalam mata suami tercintanya, Khadijah mengulangi apa yang pernah dilakukannya, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Khadijah mengulangi syahadat untuk menguatkan hati Nabi Muhammad SAW. Khadijah selalu punya cara untuk menguatkan Rasulullah SAW.
“Di masa penuh ujian yang harus dilewatinya ini, Khadijah adalah satu-satunya sandaran, satu-satunya hiburan baginya (Nabi Muhammad saw)…. Khadijah, orang pertama yang mengimani utusan terakhir, sebagai wakilnya, satu-satunya penghibur buatnya, tidak diragukan lagi adalah yang terpilih untuk ikut berperan dalam terlaksananya tugas berat ini (dakwah Nabi saw) dengan selamat.”
Khadijah amat berperan dalam dakwah di kalangan perempuan Mekah. Ummu Ubais, Sumayyah, Zinnirah, Nadiyah, Lubainah, dan wanita-wanita lain baik budak maupun yang sudah dimerdekakan. Mereka telah beriman dan menjadi sahabat karib Khadijah.
Mereka tercatat sebagai muslimah angkatan pertama dalam Islam. Para muslimah yang meski mendapat siksaan, namun tetap teguh memegang Islam. Ada yang matanya dicongkel, kulitnya disayat-sayat, dipukuli hingga tulang-tulangnya patah, bahkan ada yang sampai ditarik lima ekor unta ke arah lima penjuru hingga hancur badanya. Meski mendapat siksaan yang amat berat, mereka tetap istiqamah dalam Islam.
Khadijah bersama putrinya menjadi dokter bagi para muslimah itu. Rumahnya sebagai rumah sakit untuk mengobati mereka. Khadijah juga berupaya memerdekakan para muslimah itu pada tuan-tuannya. Bagi Khadijah para muslimah itu sudah menjadi saudarinya.
Besar jasa Khadijah pada umat muslim kala itu. Besar, amat besar.
Saat terjadi peristiwa pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan umat muslim. Khadijah tetap setia menemani suaminya–Nabi Muhammad saw. Bahkan, dia tak mau menerima makanan yang dibawa sepupunya, Hakim bin Hizam. Sebab dia tak ingin makan enak, sementara suaminya, umat muslim, dan keluarga suaminya sedang kelaparan akibat pemboikotan.
Hartanya konon bisa membeli seluruh Mekah, namun dihabiskan untuk membantu dakwah Nabi saw dan umat muslim yang diboikot.
Sang tuan putri Mekah, di hari-hari terakhir pemboikotan, kulitnya pucat, pakaiannya lusuh dan rusak sana-sini. Namun, tak ada keluh di raut wajahnya, yang ada hanya senyuman untuk suaminya. Khadijah selalu menjadi penyejuk hati Nabi SAW.
“Dalam keadaan lemah dan kurus seperti itu pun, sosoknya tetap saja bak lentera kasih. Saat tertawa, matanya ikut tertawa dan Rasulullah selalu menemukan cinta dan kebahagiaan di sana. Mata itu bagaikan surga bagi Rasulullah…,” kata Sibel Eraslan, “saat tak seorang pun mempercayai Rasulullah, ia percaya. Saat tak satu pun manusia mendukungnya, ia mendermakan seluruh harta yang dimiliki. Saat semua orang menutup pintunya, wanita suci itu menjadi rumah bagi Rasulullah….”
Dialah sang penyejuk hati Nabi Muhammad saw. Istri yang tak pernah mengeluh dan tak pernah mengerutkan dahi di hadapan suaminya–Nabi Muhammad saw. Yang ada hanyalah senyuman. Senyuman Khadijah yang selalu memberi kekuatan dan penyejuk hati Nabi saw.
Tahun Khadijah meninggal disebut sebagai “Sanatul Hazan”, artinya: tahun duka cita. Di tahun itu, Nabi saw amat sedih, sebab 2 orang yang amat disayanginya–2 orang yang merupakan pondasi Nabi saw di masa-masa awal dakwahnya–meninggal, yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib. Ah, entah bagaimana pilunya Nabi Muhammad SAW waktu itu.
Khadijah adalah sosok the great muslimah, dialah sang penyejuk hati Nabi Muhammad SAW.
Judul Novel : Khadijah: Ketika Rahasia Mim Terungkap
Kategori : Novel Sejarah
Penulis : Sibel Eraslan
Penerjemah : Ahmad Saefudin, Hyunisa Rahmanadia, dan Erwin Putra
Cetakan : XI, tahun 2018
Penerbit : Kaysa Media
Halaman : xxxii + 388
ISBN : 978-979-1479-63-9