Pelaku pengeboman di Surabaya yang berasal dari kalangan perempuan dan anak-anak membelalak mata banyak orang. Teori-teori dimunculkan oleh para pengamat atas kejadian memilukan ini. Bagaimana mungkin perempuan dan anak saat ini bisa menjadi pelaku peledakan bom bunuh diri? Apa motif yang melatarbelakanginya?
Saya lelah dengan semua teori-teori yang dikemukakan itu, karena teori apa pun tidak akan bisa menggugurkan bahwa kejadian yang lalu adalah sebuah kejahatan. Ironis memang karena kalangan teroris menyasar kalangan perempuan dan anak-anak untuk menjadi ‘pengantin’. Akan tetapi kejadian ini bisa diambil hikmahnya. Sepertinya ada yang salah dari kita dalam mendidik anak-anak tentang cara beragama.
Di sebuah status Facebook teman, ia menyoroti metode pengajaran agama di tingkat anak-anak, terutama konten-konten yang menyinggung agama lain. Salah satu yang paling familiar diajarkan di anak-anak adalah tepuk anak saleh. Dulu semasa saya masih di sekolah SD, di pelajaran agama sang guru juga mengajarkan tepuk anak saleh. Liriknya seperti ini:
Tepuk anak saleh
Aku cinta Islam
Rajin salat
Rajin ngaji
Orang tua dihormati
Cinta Islam
Sampai mati
Lailaahaillallah, Muhammadu rasulullah…
Islam Islam yes!
Setelah melakukan tepuk-tepuk anak-anak biasanya langsung bersorak, kemudian ibu guru menimpali dengan berbagai pertanyaan, mulai apakah tadi sebelum ke sekolah sudah salat subuh, apakah seharian ini sudah membaca Al-Quran, dan lain sebagainya.
Saya sempat asing dengan tepuk ini karena saat sekolah tingkat menengah pertama dan lanjut saya tidak pernah mendapat metode tepuk-tepuk lagi. Akan tetapi saat memutuskan pindah ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan, saya kembali mendengar tepuk itu. Namun kali ini saya terkaget-kaget karena ada tambahan lirik di belakang. Setelah kalimat ‘Islam Islam yes!’ ditambah dengan kalimat ‘kafir kafir no!’.
Pertama kali saya mendengarnya dalam sebuah kegiatan bersama anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Quran). Ini juga yang menjadi kegelisahan beberapa teman yang menyatakan kegelisahan itu melalui akun media sosial masing-masing. Inilah awal mula anak-anak diajarkan untuk menolak perbedaan.
Satu kalimat akhir itu disebut biasa saja. Ini argumen yang sempat dikemukakan salah satu pengajar TPA saat diprotes kenapa harus ada kalimat itu. Di sinilah bahayanya karena ajaran tentang perbedaan sudah menjadi suatu kewajaran yang terus diwariskan turun menurun.
Jika tujuannya adalah untuk menanamkan kecintaan pada Islam, tapi apakah harus sepaket dengan mengajarkan kebencian pada agama lain?
Berger & Luckman (1966) menyebut realitas sosial dihasilkan oleh konstruksi sosial individunya. Realitas sosial sebuah masyarakat yang saling menghargai terjadi karena para aktor sosial berusaha mewujudkan hal tersebut dengan berbagai cara. Sebaliknya, jika aktor sosial melakukan sesuatu ke arah yang anti dengan perbedaan, maka gejala sosial yang terjadi pun demikian. Hal ini berlaku juga dalam membentuk realitas agama di tengah masyarakat.
Dalam kehidupan beragama dan bernegara, salah satu cara untuk bisa hidup berdampingan adalah dengan menanamkan kejujuran di masing-masing individu. Cara yang paling memungkinkan untuk jujur secara kolektif adalah dengan membangun ruang dialog. Tanpa dialog, perbedaan hanya akan menggiring individu-individu untuk bersikap saling curiga.
Ketika saya sedang mengisi sebuah pelatihan yang dihadiri oleh orang-orang berbagai latar belakang, salah seorang peserta menyampaikan rasa bahagianya karena bisa terlibat dengan kegiatan tersebut. Ia yang berasal dari etnis Tionghoa beragama Buddha merasa mendapat pencerahan setelah berinteraksi langsung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang tersebut. ‘Ternyata apa yang saya takutkan selama ini tidak terbukti,’ ujarnya.
Saya sering kali berdiskusi dengan teman-teman yang berasal dari berbagai agama mengenai persoalan-persoalan ajaran agama, terutama konsep kafir. Harus diakui bahwa semua agama memiliki konsep tersebut dengan berbagai sebutan, yang pada intinya orang-orang yang berada di luar agama yang dianut disebut keliru. Namun kami bersepakat bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perbedaan-perbedaan inilah yang menyatukan. Kami berbeda agama tetapi agama kami punya satu keyakinan yang sama bahwa Tuhan menghendaki perbedaan.
Alasan kemanusiaan sangat cukup untuk menjembatani segala bentuk perbedaan yang ada. Apalagi di negara majemuk seperti Indonesia, keberagaman semestinya dikelola dan dirayakan agar menjadi kekuatan dalam mengarungi masa depan bangsa. Tak perlu takut dengan perbedaan karena merupakan bagian dari keniscayaan makhluk Tuhan. Jika dialog ini berjalan tanpa aling-aling kecurigaan, agama justru menampilkan wajah yang teduh dan menjadi rahmat bagi semua.
Terkait kasus teror, saya justru menyayangkan sikap sebagian elit politik yang menggiring opini seolah-olah kejadian ini rekayasa untuk menyudutkan Islam. Padahal, sejauh saya berinterkasi dengan banyak kalangan, semua bersepakat bahwa Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme. Tetapi harus diakui ada orang bodoh yang tidak mengerti agama menggunakan tendensi Islam untuk melancarkan aksinya.
Yang menjadi momok sebenarnya adalah kebodohan, dalam bahasa Arabnya disebut jahil. Karenanya, jika ingin memerangi terorisme harus beriringan dengan memerangi kebodohan. Untuk itulah saya mengusulkan jika lirik tepuk anak saleh itu diganti seperti ini:
Islam Islam yes! Jahil jahil no!
Lebih revolusioner, bukan?