Virus Corona (Covid-19) mewabah di dua bulan belakangan ini sejak muncul kali pertama tanggal 31 Desember 2019 di Wuhan China. Hingga tanggal 10 Maret 2020, berdasarkan data World Health Organization sebanyak 113.672 kasus terkonfirmasi yang tersebar di 110 negara (wilayah sebaran virus corona global). minum jamu
Pandemik ini menyebar ke seluruh menusia dari hewan menular lewat kontak manusia saat flu, pilek, atau bersin-bersin. Ukuran partikel virus ini sama seperti virus flu berkisar antara 80-12 nanometer (nm), sehingga dianjurkan memakai masker N95 yang mampu menyaring 95% partikel-partikel kecil.
Indonesia merupakan negara di Asia yang baru-baru saja diumumkan oleh pemerintah resmi terdampak atau ditemukan pasien positif virus corona. Ketika saya menulis opini ini, seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia, jumlah pasien positif di Indonesia bertambah. Total hingga Selasa (10/3) berdasarkan hasil tes dan analisa dokter, jumlahnya mencapai 27 orang.
Tapi teman-teman apakah masih ingat? Saat negara Indonesia sempat menjadi satu-satunya negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia yang tidak terdampak wabah virus mematikan ini. Lantas berbagai spekulasi pun muncul. Meski dugaan dan analisa bernada candaan juga menyebar di masyarakat lewat broadcast pesan di media sosial. Seperti halnya warga negara Indonesia sudah terbiasa jajan di jalan, hidup kotor, sejak kecil hujan-hujanan, main di empang, dan di Indonesia banyak sumber daya alam yang bisa dijadikan jamu (obat herbal).
Sebagian memang terdengar ngaco, kecuali pemanfaatan obat herbal ini mungkin sedikit bisa didiskusikan. Lalu yang jadi pertanyaannya apakah benar jamu bisa jadikan penangkal atau pencegah virus corona?
Jamu Penangkal Virus Corona
Mari saya ingatkan pada suatu berita yang menghebohkan terkait hal ini. Sejak dikabarkan di berbagai media bahwa guru besar UNAIR, Profesor Dr. drh. Chairul Anwar Nidom dalam wawancara di media menyatakan “klaim” bahwa telah menemukan ramuan jamu yang dapat dijadikan penangkal virus corona. Ramuan itu adalah curcumin yang ada pada jahe, kunyit, sereh, temulawak dan sejenisnya yang banyak ditemukan di Indonesia.
Bentar… Apakah di sini 100% percaya dengan kabar tersebut? Tentu ada yang percaya dan ada yang tidak. Akan tetapi sudah menjadi lumrah jika tanpa disadari kita ini sering lata. Ikut-ikutan apa saja yang menjadi viral dan booming di media sosial.
Setelah saya coba analisa, tentu ada tiga faktor yang mendasari di sini. Pertama, adanya kepanikan. Karena perasaan takut, khawatir, dan panik lah yang memicu seseorang bisa menerima tawaran apa saja saat butuh pertolongan. Sama halnya jika ada orang kepepet butuh uang, pasti lebih mudah tertipu bisnis-bisnis bodong serupa MLM dan serupa dengannya. Begitu juga virus corona mempu menyebabkan kekhawatiran seseorang sehingga ketika disuguhkan informasi ada obat/jamu buat anti virus corona pasti langsung tergiur. Meski belum tentu benar.
Kedua, sosok sumber pertama. Karena yang berbicara adalah seorang propesor dari kampus ternama. Tanpa ambil pusing dan menelisik jauh, kita pasti percaya. Bukan karena kurangnya pengetahuan kita soal ilmu saintifikasi jamu. Tapi memang kita yang kurang melek informasi. Apalagi tidak semua orang Indonesia bersedia membaca jurnal-jurnal atau buku-buku ilmiah yang membahas penelitian terkait.
Ketiga, jamu terlanjur diakui ampuh. Masyarakat Indonesia sangat mafhum. Sejak dulu kala nenek moyang kita mengkonsumsi jamu untuk berbagai macam pengobatan. Baik sakit ringan sekelas panu atau sakit keras berupa kanker atau tumor ganas, begitu pula untuk proses bersalin, dan sakit ayan sekalipun.
Indonesia merupakan negara megabiodiversity yang artinya banyak spesies tumbuhan ada di negara subur makmur ini. Itu sudah menjadi hadiah dari Tuhan Sang Maha Pencipta dan tidak bisa dibantah lagi. Jumlah spesies tumbuhan atau keanekaragaman hayati flora di indonesia menurut data dari Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (2015) mencapai sekitar 20.000 spesies dan 40%-nya tumbuhan endemik atau asli Indonesia. Kita harus yakin Allah menciptakan tumbuhan apapun tentu ada manfaatnya baik untuk keperluan pangan, ritual maupun di bidang medis.
Jika teman-teman pernah membaca atau belajar ilmu etnobotani, di sana mempelajari bagaimana orang-orang dulu atau sebagian suku jaman sekarang yang masih mempertahankan cara memanfaatkan tumbuhan sebagai obat. Di poin inilah sejatinya Profesor Nidom ingin mengungkap tradisi lokal nenek moyang jaman dahulu. Bagaimana cara untuk menjaga tubuh dan agar badan tetap sehat, maka salah satunya dianjurkan meminum jamu. Khususnya dalam kasus ini jamu “jahe dan kunyit.”
Sebagai orang yang pernah mengambil mata kuliah skrining bioaktif (fitokimia) dan skripsi saya saat S-1 kebetulan juga tentang standardisasi kandungan/komposisi obat herbal. Dalam penelitian ini saya menemukan formulasi yang tepat jamu subur kandungan asli Madura serta mengujinya secara invitro baik antioksidan maupun antimikroba. Sehingga tidak salah jika saya cukup tergugah membahas topik ini.
Mengutip buku Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid I karangan Drs. Didik Gunawan, Apt. SU dan Dra. Sri Mulyani, Apt. SU tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap tanaman memiliki zat/bahan aktif, baik itu senyawa metabolit primer dan metabolit sekunder. Masing-masing fungsinya berbeda-beda dan ada yang tidak bisa berfungsi dengan tepat ketika tidak bertemu atau bereaksi dengan komponen aktif lain –tentu dengan takaran yang tepat.
Begitu pula jahe dan kunyit maupun temulawak. Kandungan curcumin di dalamnya tidak melulu bisa dikatakan baik buat tubuh. Kita tetap harus menduga ada efek sampingnya juga. Karena jangan sampai salah kaprah jika obat herbat tidak memiliki side effect. Karena sebenarnya segala sesuatu pasti ada kadarnya (ukurannya) dan kita juga harus ingat dengan dalil bahwa apapun yang berlebihan itu tidak baik.
“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. [QS. Al A`raaf: 31]
Itu artinya harus diisolasi kandungannya dan ditemukan rasionya berapa buat mengobati penyakit. Karena jika sembrono minum banyak agar tanbah sehat justru malah kebuang sia sia atau malah ada efek samping yang tidak baik bagi tubuh.
Meluruskan Paradigma Masyarakat
Maka saya ingin mencoba meluruskan paradigma yang mayoritas berkembang di masyarakat. Kita tetap harus hati-hati dalam menerima informasi. Jika minum jamu itu bagian dari ikhtiar untuk menjaga agar tubuh tetap sehat dan meningkatkan antibodi (immunitas) tubuh barangkali bisa diterima. Tapi jika pada momen ini dimanfaatkan oleh berbagai kalangan sebagai bagian dari marketing dan pembodohan publik bahwa jamu bisa “menangkal virus corona” saya pikir ini jika belum teruji secara klinis tentu informasi ini tidak berdasar sama sekali.
Pun, saya bisa memaklumi jika kapan hari Bu Khofifah, Gubernur Jawa Timur mengunggah suatu berita sebagai bentuk bangga bahwa penemunya adalah putera asli Jawa Timur. Dan akhirnya secara tidak langsung berefek positif terhadap omset penjualan empon-empon dan bisnis jamu siap seduh di Indonesia. Para petani jahe, kunyit dan penjual-penjual di pasar pun jumlah pembelinya meningkat. Termasuk dalam hal ini kawan saya semasa kuliah di Malang juga merasakan keuntungan berlipat-lipat (bisa dicek di akun instagram).
Sayangnya belum ada edukasi di masyarakat jika jamu tanpa saintifikasi atau standardisasi dan uji klinis baik secara invitro maupun invivo bisa berbahaya juga. Apalagi jika memang tidak paham cara pengolahannya. Hal ini saya rasa senada dengan pendapat dokter spesialis paru, Erlina Burhan saat konferensi pers di Kantor PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta kemarin (5/3/2020).
Dokter Erlina menyatakan bahwa empon-empon itu bisa terdiri dari jahe, kunyit, dan lainnya yang sebetulnya semua itu mengandung senyawa antioksidan. Tapi kalau kita tidak bisa mengolah empon-empon, asal-asalan gitu dikhawatirkan bukan antioksidan yang terbentuk, tapi justru malah oksidan.
Sebagai referensi, antioksidan merupakan senyawa yang mampu melindungi sel dan menangkal radikal bebas. Sementara itu, oksidan adalah molekul yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi molekul lain. Oksidasi berupa reaksi kimia yang dapat menghasilkan radikal bebas sehingga memicu reaksi berantai yang dapat merusak sel. Justru dikhawatirkan oksidan yang terbentuk akan berbahaya bagi tubuh.
Untuk mengakhiri tulisan saya ini, sekiranya kita harus melek literasi dan bertanya kepada ahlinya baik itu dokter, dosen farmasi, atau ahli botani. Yang tidak kalah penting adalah cara memperkuat antibodi secara alami bisa diciptakan dari pikiran kita sendiri. Apabila stress dan panik, itu malah membuat daya tahan atau imun kita menurun. Karena pada dasarnya meningkatkan kekebalan tubuh dengan cara itu adalah tips paling ampuh terhindar dari segala macam penyakit termasuk itu virus corona. (AN)
Wallahua’lam