Mewaspadai Politik Merasa Terzalimi dalam #2019GantiPresiden

Mewaspadai Politik Merasa Terzalimi dalam #2019GantiPresiden

Menelisik upaya merasa ‘yang terzalimi’ sebagai umat islam, catatan untuk #2019GantiPresiden atau #2019TetapJokowi

Mewaspadai Politik Merasa Terzalimi dalam #2019GantiPresiden
Mardini Ali Sera dan Mustofa Nahra, dua pentolan #2019GantiPresiden yang kontroversial. Kami tidak setuju penolakan, tapi apa salahnya mengkritisi dan waspada konten propaganda dalam gerakan ini?

Zalim memiliki arti aniaya, bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, dan kejam. Pada dasarnya, zalim berasal dari bahasa Arab, yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam perjalanan waktu, kata zalim ini seringkali digunakan dalam percakapan keseharian. Saat ini istilah tersebut semakin mendapatkan ruang dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan bergesernya moral sebagian masyarakat Indonesia dan mengarah ke perilaku tersebut. Di sisi lain, ada fenomena sebagian masyarakat yang lain merasa terzalimi meskipun tidak ada bukti valid bahwa pihak yang dianggap menzalimi benar-benar berbuat kezaliman. Kondisi terzalimi ini kemudian menyebabkan mereka mengadakan gerakan-gerakan untuk mengadakan perlawanan.

Kita semua sudah memahami bahwa masyarakat Indonesia sedang diuji dengan polarisasi dalam bidang sosial dan politik. Masyarakat terbagi tampaknya menjadi dua bagian besar: pendukung pemerintahan—dan kemudian mendukung terpilihnya kembali Ir. Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia). Satu lainnya menamakan diri dengan tagar #2019GantiPresiden”. Bagian terakhir ini seringkali memainkan politik merasa terzalimi.

Sejatinya, merasa terzalimi ini memiliki sisi yang beragam sehingga dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Dalam konteks global atau dunia internasional, merasa terzalimi sudah terbangun sejak lama pada diri sebagian kalangan muslim. Hal ini tidak terlepas dari dominasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam dinamika ekonomi dan politik dunia. Dominasi ini kemudian menyebabkan paham yang dianut oleh Barat (kapitalisme, modernisasi, dan sebagainya) menjadi patokan untuk seluruh aspek kehidupan.

Akibatnya, sebagian kalangan muslim yang menganut nilai dan paham yang berbeda lambat laun tersingkirkan. Selain itu, dominasi Barat (yang menganut neo-imperialisme) ditunjukkan dengan sikap campur tangan Barat pada negara-negara Islam Timur Tengah dan di wilayah lain (misalkan, di Palestina, Kkashmir, Afghanistan, Irak, Libya, Mesir). Fenomena terjajahnya dan semrawutnya kondisi negara-negara Islam di berbagai belahan dunia memunculkan rasa kesetiakawanan di kalangan muslim di belahan dunia yang lain. Sehingga, perasaan terzalimi ini ikut dirasakan oleh kalangan muslim di negara lain. Inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab sebagian kalangan muslim terjatuh pada paham dan perilaku terorisme dan radikalisme.

Dalam konteks Indonesia, perasaan terzalimi ini menjadi semakin besar sejak empat tahun terakhir. Tepatnya, sejak Jokowi terpilih menjadi presiden Indonesia yag ketujuh. Pertanyaannya, mengapa fenomena merasa terzalimi ini mencapai eskalasi yang signifikan di jaman presiden Joko Widodo sampai-sampai menjadi suatu gerakan perlawanan? Pertanyaan ini nantinya akan membawa masyarakat pada pemahaman akhir, apakah sikap merasa terzalimi ini murni untuk kepentingan bangsa dan negara atau gerakan perlawanan untuk kepentingan kelompok tertentu?

Sejak awal masa kampanye pada tahun 2014, Joko Widodo sudah diidentikkan dengan komunis dan kekafiran oleh sebagian kelompok. Meski tak ada bukti jelas, asumsi ini justru semakin diperbesar pasca terpilihnya Joko Widodo menjadi presiden. Akibat asumsi ini, maka muncul kekhawatiran irasional terhadap kemungkinan tersingkirnya dan terzaliminya umat Islam. Asumsi dan kekhawatiran irasional ini semakin besar di pertengahan masa pemerintahan Joko Widodo. Setiap fenomena masyarakat yang terjadi selama masa pemerintahan Joko Widodo selalu dikaitkan dengan ketertindasan dan terzaliminya umat Islam. Pemikiran semacam ini seringkali dipaksakan demi untuk membuktikan asumsi awal mereka bahwa Joko Widodo jauh dari Islam. Uniknya, asumsi dan pemikiran mereka dikemas dalam pernyataan-pernyataan dan gambar-gambar meme yang sangat mudah dipahami oleh masyarakat awam (terlepas apakah valid atau tidak). Dengan demikian, banyak masyarakat awam yang terpengaruh dengan propaganda merasa terzalimi tersebut.

Salah satu puncak politik merasa terzalimi ini melahirkan beberapa gerakan, misalkan aksi bela Islam yang berjilid-jilid dan gerakan 2019 ganti presiden. Geraka ini untuk meyakinkan masyarakat yang lebih luas, gerakan tersebut terus didengungkan di berbagai daerah. Di sisi lain, tak lupa mereka mengkaitkan kondisi Indonesia saat ini layaknya kondisi awal Islam ketika Nabi Muhammad SAW dizalimi oleh kaum kafir. Ya, mereka menempatkan diri mereka layaknya posisi mulia Nabi Muhammad SAW.

Pada titik ini, kita bisa membaca abnormalitas mereka yang berupa narsistik dan berpikir jalan pintas berdasarkan kesamaan unsur dengan menafikan perbedaan konteks. Menyamakan kondisi mereka dengan kondisi Nabi jelas bukan sikap yang bijak karena bagaimanapun juga setiap orang tidak bisa mensejajarkan dirinya dengan perjuangan dakwah Nabi.

Di sisi lain, konteksnya jelas berbeda. Jika jaman awal Islam Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya benar-benar berhadapan dengan kaum kafir yang nyata dan menzalimi secara nyata pula, maka di jaman ini dan di Indonesia ini kondisi tersebut tidak ditemukan. Kondisi ini ditemukan hanya dalam alam imajinasi utopis mereka yang mensejajarkan perjuangannya dengan perjuangan Nabi beserta para sahabat.

Baca juga: Gerakan #2019GantiPresiden, Ayat Al Hujorot ayat 11 dan Hilangnya Politik Kebangsaan

Maka, menjadi aneh jika kondisi Indonesia yang aman dan tenteram ini disamakan dengan kondisi umat Islam yang menghadapi kaum kafir dalam perang Badar dan perang Uhud (layaknya orasi Neno Warisman di kesempatan deklarasi 2019 ganti presiden).

Sampai penjelasan ini, maka dapat kita pahami bahwa merasa terzalimi tak lebih dari politik untuk menyerang kelompok tertentu dan merebut kekuasaan. Pada titik ini juga dapat dipahami bahwa agama rentan digunakan oleh kelompok tertentu untuk mempengaruhi masyarakat dalam mencapai tujuannya sehingga masyarakat awam mudah terpengaruh. Hal ini dikarenakan politik merasa terzalimi yang dibungkus oleh agama membuat seseorang berpikir dan merasa agama yang dianutnya sedang diperlakukan tidak adil (terlepas ketiadaan bukti valid akan pemikiran ini) sehingga dirinya harus turut berkontribusi mencegah tersingkirnya umat Islam.

Terlebih bagi masyarakat awam yang kurang memahami agama secara mendalam (baik pengetahuannya maupun minim praktik peribadatan keagamaan), ancaman tersingkirnya umat Islam membuatnya bersemangat mengambil peran untuk menutupi kekurangannya dalam beragama. Kondisi ini yang seharusnya mampu dipahami oleh masyarakat sehingga masyarakat belajar berpikir kritis dan evaluatif.

Baca juga: Propaganda Islam yang Terzalimi

Untuk menutupi politik merasa terzalimi yang digunakan sebagai modalitas dalam menjatuhkan elektabilitas Joko Widodo, maka mereka selalu mengatakan bahwa umat Islam sudah terzalimi sejak lama dan dimanapun berada umat Islam juga terzalimi, meskipun tidak ada hubungannya dengan presiden Joko Widodo.

Ketika sikap merasa terzalimi ini sudah menjadi gerakan tertentu dengan mensejajarkan konteks Indonesia layaknya masa awal Islam (antara Nabi dan para sahabat melawan kaum kafir), menjadi ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. Hal ini dikarenakan beberapa faktor.

Pertama, sebagian kalangan masyarakat lain merasa tersinggung dan sakit hati karena posisi mereka disamakan dengan kaum kafir yang melawan Nabi. Padahal, di antara mereka yang dianggap posisinya sama dengan kaum kafir juga beragama Islam. Sehingga, wajar jika muncul perasaan tersinggung.

Kedua, politik merasa terzalimi yang menjadi berbagai gerakan ini seringkali memunculkan pernyataan-pernyataan yang provokatif, menjatuhkan, dan seringkali tidak menyertakan data yang valid. Ketiga, politik merasa terzalimi ini perlahan ditularkan pada generasi anak (bahkan, ada cerita tentang orang tua yang menakuti anaknya jika presiden Joko Widodo terpilih kembali maka umat Islam akan disingkirkan dan dibunuh).

Meski tidak ada gerakan perlawanan fisik, politik merasa terzalimi memiliki potensi untuk mengarah ke situ. Hal ini bahkan diungkapkan oleh Tengku Zulkarnaen yang berkali-kali menyebut perang sebagai solusi. Oleh karena itu, masyarakat perlu mewaspadainya dengan mengedukasi diri, baik meningkatkan pemahamannya terhadap agama maupun fenomena sosial secara tepat.

Selain itu, masyarakat juga perlu mengedukasi diri untuk menyikapi perbedaan dan menghadapi gerakan-gerakan merasa terzalimi dengan cara yang bijak sehingga tidak ada celah bagi kelompok yang merasa terzalimi untuk melegalkan perang dan permusuhan. Politik merasa terzalimi bisa berpotensi menciptakan kegaduhan sosial dan polarisasi yang semakin jauh, bahkan pertumpahan darah. Para pemuka agama juga dapat mengambil peran dalam bentuk menampilkan Islam yang penuh dengan nilai-nilai moderat, menyejukkan, dan agen pembebasan dengan program pemberdayaan bukan dengan perlawanan. Orang tua dan pengajar dapat berperan dalam mendidik generasi muda yang bersedia membangun peradaban dengan ilmu, bukan dengan ujaran kebencian dan perasaan terzalimi. Selain itu, juga penting untuk mendidik generasi muda agar berpolitik secara sehat.

Di sisi lain, fenomena politik merasa terzalimi sejatinya bisa menjadi peringatan bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam bersikap agar tidak disalahpahami dan digunakan oleh kelompok yang merasa terzalimi untuk menjatuhkan pemerintah. Indonesia menjadi tanggung jawab bersama. Persatuan harus diutamakan, perselisihan harus ditinggalkan, untuk mencapai Indonesia sejahtera.