Propaganda Islam yang Terzalimi

Propaganda Islam yang Terzalimi

Islam terzalimi menjadi konsep propaganda yang justru berkebalikan dengan fakta

Propaganda Islam yang Terzalimi

Propaganda terbesar di era Jokowi adalah Islam yang terzalimi. Disebut propaganda karena ini adalah kesan yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu. Seolah-olah ada kekuatan besar yang mau menghancurkan Islam dan, ini pokoknya, seakan-akan rezim yang berkuasa saat ini merestuinya.

Islam yang terzalimi adalah kesan yang memang telah lama eksis dalam pembicaraan politik Indonesia sehari-hari. Akarnya terletak pada ingatan kolektif mengenai kolonialisme Belanda di masa lalu yang digambarkan sedemikian rupa sebagai anti-Islam. Pemerintahan pasca-kemerdekaan dianggap hanya meneruskan praktik itu hingga sekarang.

Akan tetapi dengan sedikit kritisisme saja kita bisa membantah bahwa kesan itu tidak benar. Terutama sejak akhir 1980-an, tidak ada rezim di negeri ini yang mengabaikan–apalagi menzalimi–Islam. Para ahli strategi politik tahu persis hari ini tidak ada kekuatan sosial yang bisa memobiliasi massa sedahsyat Islam.

Masalahnya selalu saja ada pihak-pihak yang memanfaatkan gejala yang awalnya hanya bersifat sosiologis ini menjadi sangat politis. Mereka menyerang lawannya dengan tuduhan anti-Islam. Mereka tahu propaganda ini cukup murah tetapi efeknya sangat besar.

Propaganda Islam yang terzalimi semakin menguat di era media sosial. Dengan adanya internet, propaganda yang jelas bisa dikategorikan sebagai berita palsu (hoax) ini menjangkau pemirsa yang sangat luas. Propaganda ini juga mengandung ujaran kebencian (hate speech) yang sangat berbahaya. Isinya menyerang eksistensi kelompok lain, seperti orang Cina, yang dibayangkan sebagai setan yang akan merusak Islam.

Padahal, sekali lagi, jika menggunakan sedikit kritisisme aja, kita bisa melihat pemerintahan Jokowi justru sangat pro-Islam. Tidak ada presiden dalam sejarah negeri ini yang lebih sering mengunjungi pesantren daripada presiden yang sekarang. Bahkan terhadap kelompok Islam yang berseberangan sekalipun, Jokowi tetap menerima eksistensi mereka dengan lapang.

Namun kita juga tahu kritisisme adalah sesuatu yang semakin hilang. Bahkan kalangan terpelajar pun gampang sekali termakan oleh berita palsu dan aktif menyebarkan ujaran kebencian. Mungkin kondisi ini adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari adanya media sosial, tetapi mungkin juga ini adalah kondisi alamiah masyarakat kita.