Pada 23 Mei 2020, sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri 2020, PUSAD Paramadina dan Narasi TV merilis film dokumenter berjudul “Cerita Pandemi: Keragaman di Tengah Corona”. Selain mengunggahnya di kanal Youtube, kami juga mengajak sebanyak mungkin peminat untuk menonton film ini dan mendiskusikannya.
Mengapa kami membuat film ini, di tengah situasi yang serba tidak mudah? Apa harapan yang mau kami tebar kepada publik lewat pesan-pesan dalam film ini? Apa maknanya bagi perluasan ruang-ruang publik kita sekarang?
Mendokumentasikan Solidaritas
Film pendek ini, berdurasi hanya sembilan menit, bercerita tentang kisah-kisah baik terkait agama atau aktor-aktor agama di tengah ancaman Covid-19. Ada tiga kisah tentang solidaritas lintas-iman di sana, yang melampaui toleransi, yang justru terjadi akibat pandemi itu.
Kisah pertama tentang warung kerukunan yang dikelola Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta. Di balik kisah itu ada perencanaan untuk bekerja bersama, misalnya dalam mendanai makanan yang akan didonasikan, mengontak pimpinan setempat untuk memilih warung yang cocok, dan memastikan bahwa mereka yang terlibat akan mengikuti protokol kesehatan. Semuanya diawali inisiatif membantu meringankan beban orang lain secara lintas-iman. Bekerja sendiri-sendiri dan bekerja bersama-sama, kata perempuan aktivis FKUB dalam film itu, “beda banget!”
Kisah kedua tentang kerjasama beberapa tokoh atau organisasi lintas-iman dalam mengumpulkan dan menyalurkan donasi terkait Covid-19. Ini juga diawali keyakinan mereka bahwa selain memiliki dimensi ibadat, semua agama juga memiliki dimensi sosial. Mereka juga yakin bahwa donasi harus diberikan kepada siapa saja, terlepas dari apa agama atau suku seseorang, karena Covid-19 juga tidak memilih korban berdasarkan identitas-identitas itu.
Akhirnya, kisah ketiga bercerita tentang komunitas Kristen di Maluku yang mendoakan seorang perawat yang harus dibawa Mobil Ambulan ke rumah sakit karena yang bersangkutan sakit. Percakapan di antara dua orang berbeda agama saat itu, di pinggir jalan, menunjukkan sikap saling percaya (trust) di antara mereka. Permintaan bapak pendeta agar dia dan jamaahnya bisa mendoakan secara Kristen kesembuhan sang perawat, yang Muslim, segera diiyakan sang ibu. Mungkin ini biasa terjadi, tetapi ancaman Pandemi Corona mengharuskannya terjadi.
Kisah-kisah itu kami masukkan ke dalam film karena kisah-kisah itu menunjukkan solidaritas kemanusiaan kita, yang menyatukan kita di tengah berbagai perbedaan kita. Solidaritas kita sesama manusia justru makin teguh karena ada ancaman pandemi. Solidaritas di situ bahkan melampaui toleransi, sikap atau tindakan menerima mereka yang berbeda, karena solidaritas itu sudah mendorong kita untuk bekerjasama. “In a dark time, the eye begins to see,” begitu kata penyair Theodore Roethke.
Tetapi kami juga merekam kisah-kisah itu agar kami bisa mendokumentasikannya. Kisah-kisah seperti itu mungkin juga ada di tempat-tempat lain, tetapi dengan sengaja merekamnya, kami juga sedang “mengabadikannya” dan mengajak pihak-pihak lain untuk melipatgandakannya.
Dari segi ini, kami berharap film itu bisa menjadi pendorong berlangsungnya kerja-kerja kecil yang lebih banyak. Betapa sering kita mengabaikan capaian-capaian kecil, meskipun kita tahu bahwa satu capaian besar adalah kumpulan dari bersarikatnya capaian-capaian kecil. Kita sering mengabaikan kerjasama, walaupun kita tahu bahwa bekerja bersama membuat segalanya jadi lebih mudah. Kita terlalu sering didorong untuk bersaing dan berkompetisi, padahal Pancasila yang (konon) kita junjung tinggi mengajarkan kita untuk bergotong-royong.
Menebar Harapan
Lewat film ini kami juga ingin menebar harapan di tengah ancaman. Sudah sering media massa kita dikritik karena berita-beritanya sering membuat kita muram. Dalam konteks hidup di bawah pandemi, hal ini makin penting karena ketahanan tubuh dan mental kita amat bergantung kepadanya.
Tetapi maksud ini lebih mudah dikatakan daripada dijalankan, karena tantangannya tidak kecil. Untungnya, tantangan ini bisa diatasi lagi-lagi berkat kerja sama: sementara Narasi TV ingin mengabarkan berita-berita baik terkait toleransi dan solidaritas, dan berita yang bisa mendatangkan kegenbiraan, PUSAD Paramadina ingin agar hasil-hasil risetnya bisa diakses publik lebih luas melalui film dokumenter.
Tantangan pertama adalah menemukan angle (sudut spesifik) berita, yang harus terkait dengan aktor-aktor agama dan Covid-19 di Indonesia, bukan misalnya tentang sepakbola atau korupsi yang sedang ditangani KPK. Penting diingat, ketika kami mendiskusikan soal angle ini, satu syarat yang harus dipenuhi adalah kemungkinannya untuk divisualisasi atau dijadikan bahasa gambar berjalan, yang membedakan video dari audio.
Kami akhirnya menemukan dan memilih ketiga kisah di atas berkat jaringan yang selama ini sudah kami bangun dengan teman-teman pegiat media di Ambon atau pegiat kerukunan di FKUB Jakarta. Kami memilih mengangkat kisah-kisah itu, bukan kisah-kisah lain seperti penolakan komunitas agama tertentu atas korban meninggal Covid-19, karena kami ingin menyebarkan kegembiraan yang tumbuh karena meningkatnya solidaritas.
Tantangan berikutnya adalah pengambilan gambar, yang menjadi hambatan serius karena kami semua, termasuk para reporter Narasi TV, harus bekerja dari rumah. Lagi dan lagi, kerja-kerja kami dipermudah oleh adanya sikap saling percaya dan gotong royong, termasuk dari para narasumber. Pengambilan gambar testimoni bapak pendeta dan perawat Muslim dalam kisah pertama di atas, misalnya, diakukan sendiri oleh yang bersangkutan, dibantu jaringan kami. Sementara itu, wawancara dilakukan secara jarak jauh, yang makin dimungkinkan oleh perkembangan teknologi.
Dengan bekerjasama, semuanya menjadi lebih mudah dan murah dilakukan, tanpa sedikit pun prinsip yang digadaikan. Tidak ada yang diperoleh dari kerjasama yang setara kecuali keuntungan bersama. Bayangkan jika Narasi TV harus mencari sumber-sumber cerita sendiri, tanpa dukungan riset-riset PUSAD Paramadina sebelumnya? Bayangkan pula jika PUSAD Paramadina harus membuat program TV tersendiri, tanpa dukungan Narasi TV?
Sebagai lembaga riset dan advokasi yang kecil, PUSAD Paramadina sengaja bermitra dengan sebanyak mungkin pihak, agar praktik-praktik baik yang kami temukan dalam riset bisa disebarluaskan ke publik lebih luas. Sejak didirikan pada 2008, kami memang dibentuk dengan misi meningkatkan kapasitas negara dan masyarakat dalam memperkokoh kerukunan kita, dengan mempelajari dan menekankan peran positif agama.
Membangun Percakapan
Kami gembira bahwa upaya kecil kami sejauh ini cukup mendapat sambutan. Ini tampak ketika kami mendiskusikan film ini secara daring dengan beberapa komunitas di Jakarta, Bandung, Bogor, Tasikmalaya, dan Semarang. Pesertanya berasal dari mereka yang bergiat di FKUB dan Kementerian Agama, pemuda dan aktivis lintas-agama, dan beberapa di antara mereka bahkan masuk ke dalam Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di daerah masing-masing.
Selain apresiasi, banyak komentar menyebutkan bahwa kisah-kisah seperti yang dimuat dalam film ini juga terjadi di tempat mereka. Komentar lain menyatakan bahwa kisah-kisah itu menginspirasi mereka. Saran kami: mari rekam, sebarkan, dan bangun percakapan.
Sudah terlalu sering aktor-aktor agama disudutkan sebagai akar penyebab banyak masalah: dari merebaknya ujaran kebencian, “preman bersorban”, hingga terorisme. Mereka mulai disebut-sebut sebagai pembawa laknat, bukan rahmat. Di beberapa tempat, Covid-19 juga disebut-sebut disebarkan aktor-aktor agama yang tidak mau mendengar nasihat sains.
Aktor-aktor agama tentu bisa (dan perlu) membela diri dari tuduhan-tuduhan itu, dengan beragam cara. Tetapi cara paling efektif menurut kami adalah dengan menunjukkan langsung wajah positif agama. Apalagi jika hal itu dilakukan di tengah ancaman pandemi seperti Covid-19 ini. Kata satu pepatah Arab, “Lisan al-hal afshah min lisan al-maqal!” Bahasa perbuatan itu lebih kuat dari bahasa omongan.
Sudah terlalu sering pula media massa disudutkan karena mengabarkan bukan berita, tetapi derita. Lebih buruk lagi, bahkan media arus utama mulai ikut dihujat karena menyebarkan hoaks dan disinformasi, dalam persaingan mereka dengan media sosial. Karenanya banyak orang mulai malas berurusan dengan media, karena trust mereka kepada media juga merosot.
Kawan-kawan pegiat media wajib merehabilitasi reputasi mereka di depan publik. Kami bukan ahli soal ini – dan di sini mungkin bukan tempatnya membahas soal itu. Tetapi mungkin salah satu caranya adalah dengan meyakinkan publik bahwa mereka berdaya, memiliki power, untuk mengatasi masalah mereka sendiri, dengan atau tanpa bantuan negara.
Kita jelas tetap perlu membaca berita tentang penderitaan. Tetapi akan baik sekali jika hal itu dilengkapi dengan arah bagaimana kita bisa mengatasinya sendiri, dengan bersolidaritas dan bekerjasama, seperti ditunjukkan kisah-kisah dalam film ini.***