Beberapa hari yang lalu (16 Agustus 2019), saya mengikuti beberapa teman-teman Gusdurian Jogja menerima tamu kunjungan dari teman-teman mahasiswa Kristen dari berbagai penjuru Indonesia di Pendopo LKiS, Jogja. Dalam pertemuan tersebut kita banyak berbagi cerita perihal aktivitas kami masing-masing, tentunya berkaitan dengan keberagaman.
Dalam pertemuan tersebut kami dibersamai oleh Mas Hairus Salim, direktur LKiS sekaligus sesepuh Gusdurian. Paparan Mas Salim selalu menarik, santai dan penuh dengan kelakar-kelakar. Para tamu yang sepertinya sudah cukup lelah dan mengantuk karena sudah beraktivitas sejak pagi, tampak segar kembali menyimak cerita-cerita dari Mas Salim.
Percakapan menjadi sangat menarik ketika salah satu tamu menanyakan tentang tips supaya tidak takut untuk menjalin pertemanan dengan siapa saja, dengan orang yang berbeda agama dengannya. Pertanyaan tersebut secara sayup-sayup sebenarnya menampakkan ada rasa kecemasan dan ketakuan yang terimpresi terkait dengan pergaulan dengan kelompok lain, khususnya dengan orang Islam, mengingat si penanya seorang Kristen.
Pertanyaan yang dilontarkan kawan yang beragama Kristen tersebut barangkali sebenarnya mewakili kegelisahan dan kecemasan banyak kalangan non muslim di luar sana. Banyak dari mereka barangkali takut atau bisa jadi pakewuh kata orang Jawa. Tidak enak hati untuk menanyakan secara terbuka.
Sudah begitu menghawatirkan kah keadaan pertemanan lintas iman kita?
Sepertinya begitu, kita hidup dalam suasana yang penuh kecemasan dan kekhawatiran terhadap perbedaan. Banyak diantara kita takut untuk memiliki pertemanan dan persahabatan dengan yang liyan. Kebanyakan dari kita semua, lebih suka berkumpul dan berkutat dengan pergaluan “primordial” saja, kata Mas Salim.
Yang muslim hanya berinteraksi dengan sesama muslim, atau bahkan jangankan level agama, pergaulan kita kebanyakan hanya berkutat di lingkungan ormas kita masing-masing. Kaum Nahdliyin hanya berkutat dengan lingkungan pesantrennya saja, Muhammadiyin barangkali juga sama. Sejak sekolah dasar sudah di Pesantren ataupun di Mu’alimin/Mu’alimat, atau SD/SMP/SMA Islam Terpadu (IT) model-model pendidikan milik PKS yang kini sedang banyak digandrungi oleh kaum muslim kota itu.
Lantas kapan kesempatan bertemu dan mengenal sang liyan? Hampir tidak ada, sindrom pergaulan yang keluar dari kungkung ikatan primordial agama sepertinya juga berlangsung dalam lingkungan non muslim juga. Seperti yang diungkapkan salah satu teman Kristen bahwa ia sejak sekolah dasar hingga kuliah saat ini hanya belajar di sekolah Kristen.
Suasana pergaulan yang kebanyakan hanya berkutat dengan lingkungan pertemanan yang primordial tersebut memang cukup menyulitkan tumbuhnya pertemanan keberagaman. Rasa saling curiga sepertinya lebih banyak mendominasi, daripada keinginan untuk saling memahami.
Padahal, sebetulnya pertemuan dan pertemanan dengan teman yang beraneka-ragam tersebut sangat penting. Perjumpaan tatap muka dengan sang liyan, kalau menurut filusuf Perancis, Emmanuel Lévinas (1906-1995) adalah puncak dari kemanusiaan. Bagaimana kita bisa menjadi manusia yang sepenuhnya, jika dengan sesama manusia saja kita tak pernah berjumpa dan bertemu? Bagaimana kita bisa mengenal diri kemanusiaan kita, jika tak mengenal manusia-manusia lain?
Keterbukaan dan penerimaan dengan yang beragam memang harus dimulai dari sebuah perjumpaan langsung dengan yang liyan. Jika tidak difasilitasi dalam perjumpaan tatap muka, maka yang akan hadir adalah prasangka-prasangka (prejudice). Dalam prinsip psikolologi sosial, seseorang mengingat orang lain (teman, keluarga, atau siapapun) itu melalui penanda yang khas untuk diingat.
Biasanya, kita mengingat perkenalan dengan teman-teman sekolah kita adalah raut muka ataupun wataknya. Misalnya, kita menandai Si A orangnya kalem, Si B pemarah, Si C orangnya baik. Penanda kepada orang lain yang demikian itu mungkin untuk terjadi karena kita mengalami pertemuan langsung/tatap muka dengan teman-teman sekolah kita.
Jika tidak pernah mengalami perjumpaan tatap muka secara langsung dan dekat, apa yang dapat diingat oleh kita dari yang liyan? Tentu adalah identitas primordialnya, ras ataupun agamanya tentunya. Dan naasnya, kedua hal tersebut oleh banyak orang seringkali disalah artikan, dan menjadi petaka sumber kekerasan sosial.
Terlebih lagi di era media sosial saat ini, narasi seputar perbedaan agama, khususnya non muslim, seringkali diproduksi menjadi wacana-wacana yang mendiskreditkan dan penuh kecurigaan yang tidak sehat. Isu kristenisasi misalnya, narasi-narasi demikian itu mudah saja kita percayai sebagai sebuah kebetulan yang absolut.
Dan karena tidak ada perjumaan langsung dengan orang-orang non muslim, kita tidak dapat memberikan klarifikasi secara langsung dengan penuh empati. Pasti yang akan dipercaya adalah otoritas agama, akan beruntung jika yang kebetulan ditanyai adalah Gus Mus. Jika bukan, tentu saja informasi yang akan didapat hanya berisi kecurigaan-kecurigaan semata.
Ketika melihat situasi memilukan pertemanan yang kurang ramah dengan keberagaman tersebut, dalam konteks suasana HUT Republik Indonesia ke-74 seperti saat ini, lantas apa makna dari jargon “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi satu tujuan itu? Itu hanya akan menjadi jargon yang tanpa makna jika kita tak merayakan kebhinekaan tersebut dengan perjumpaan dan pertemanan dengan keberagaman itu sendiri.
Dari sini, mari kita hitung dengan jari, berapa jumlah pertemanan kita dengan orang-orang non muslim. Jika hasilnya hanya segelintir, berarti tugas anda yang utama adalah perbanyak bergaul dan piknik ke penjuru Indonesia.
M. Fakhru Riza, penulis adalah Gusdurian Jogja.