Jika ada pertanyaan “Mengapa Isra’ dan Mi’raj terjadi di bulan Rajab?” maka untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan sebuah analisa panjang dan tajam serta data-data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan pula dengan jawaban sederhana seperti “Ini rahasia Ilahi yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa”.
Bagi mereka yang ingin mencari selamat dan lepas dari perdebatan akademik, mungkin opsi dari jawaban kedua ini sangat cocok. Namun bagi mereka yang ingin mengungkap rahasia dan korelasi antara Rajab dan Isra’ Mi’raj, tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk terus membaca, menganalisa, dan menyimpulkannya lewat laporan-laporan ilmiah.
Isra’ dan Mi’raj adalah dua peristiwa penting dan merupakan salah satu mukjizat Rasulullah yang menembus batas alam fikiran manusia saat itu. Dengan Isra’ dan Mi’raj sesungguhnya para sahabat sedang diuji oleh Allah SWT. ujian di sini kaitannya dengan kualitas keimanan yang menghujam di dada. Dengan kata lain, apakah mereka mempercayai sekaligus membenarkan peristiwa yang berada di luar nalar logika manusia tersebut atau malah mengingkarinya.
Di samping itu, dengan peristiwa ini, Allah s.w.t. ingin memperlihatkan bukti-bukti atas sebagian dari kekuasaan-Nya kepada hamba sekaligus utusan-Nya. Dalam hal ini, Allah dengan tegas menyatakan: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: 17:01).
Ayat di atas secara spesifik menyatakan bahwa Allah dengan kekuasaan-Nya memperjalankan Rasulullah di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Rajihi dalam Syarah al-Thahawiyah. Selanjutnya Mahmud Syakir memberikan pandangan bahwa secara khusus perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha terjadi sebelum hijrah di mana saat itu beliau melakukan shalat Isya’ di dekat Ka’bah sampai tertidur. Tidak berapa lama kemudian datanglah dua malaikat dengan membawa kendaraan bernama Buraq.
Ada beberapa pandangan di kalangan pakar seputar Isra, secara umum perbedan pandangan itu dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu: (1) Isra’ yang dilakukan Nabi terjadi di dalam mimpi, dalam hal ini para ulama menjustifikasi bahwa pandangan akan hal ini dianggap terlalu lemah. Selanjutnya pandangan yang ke (2) adalah Isra yang dilakukan Rasulullah hanya sebatas ruh tanpa jasad, hal ini berdasar sebuah riwayat yang dinukil dari Aisyah, Muawiayah, dan hasan al-Bashri. Kemudian yang ke (3) Isra’ terjadi beberapa kali, yang pertama dilakukan di saat Rasulullah tidur, sedangkan yang lain dilakukan di saat beliau terjaga. Dan yang ke (4) adalah Isra dilakukan di dalam keadaan terjaga baik ruh maupun jasad dengan rentan waktu perjalanan satu malam.
Menurut persepektif penulis, sepertinya pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat, mengingat dalam kaitannya dengan ayat yang telah disebut di atas. Kata “Abdun” merupakan sebutan yang lumrah dan biasa bagi manusia seutuhnya. Bukan sebutan bagi jasad, juga bukan pula sebutan bagi ruh saja. Pada pembahasan ini, kata “Abdun” merupakan perpaduan antara jasad dengan ruh.
Oleh karena itu, Ibnu Mandzur memberikan defenisi kata “Abdun” dalam Lisan al-Arab dengan manusia seutuhnya, baik ia merdeka ataupun sahaya, dikatakan demikian karena ia sahaya di hadapan Tuhannya yang Maha Mulia dan Perkasa. Senada dengan Ibnu Mandzur, Louis Makluf dalam al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam memberikan penegasan bahwa yang disebut “Abdun” adalah manusia merdeka atau budak di mana ia dituntut patuh dalam menjalankan seluruh perintah Tuhan atau majikannya.
Terlepas dari perpedaan pandangan di kalangan para pakar di atas, ada beberapa poin yang perlu dicatat, yang pertama adalah tanda kekuasaan Allah sangat besar di alam raya ini, dan Ia memperlihatkannya kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang kala itu dirundung duka dan nestapa setelah kehilangan dua sosok yang amat dicintainya, yaitu Abu Thalib pamannya, serta Khadijah istrinya.
Lewat rihlah ini, Allah ingin meneguhkan sekaligus memantapkan semangat Rasulullah s.a.w. dalam berdakwah, mengingat ke depan halangan dan rintangan yang jauh lebih besar, menanti dengan segala resiko yang ada. Kemudian yang kedua adalah pada momen ini, hakikat Nabi Muhammad sebagai Sayyidul Anbiya (pemuka para Nabi) dan Imamul Mursalin (imam para Rasul) dibuktikan.
Hal itu bisa dilihat dari pemaparan Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah bahwa sesaat setelah Rasulullah sampai di Masjidil Aqsha, beliau menjadi imam shalat para Nabi, Rasul, dan Malaikat. [bersambung]
Mohammad Khoiron adalah Penulis adalah Pegiat Islamic Studies dan Sosiologi Agama. Twitter: @MohKhoiron
Baca bagian pertama: Menyoal Rajab, Membincang Isra Miraj (Bag-1)