Menyimak Ustaz Salafi di Channel Youtube: Umumnya Otoritatif, Tapi Miskin Perspektif Sosial

Menyimak Ustaz Salafi di Channel Youtube: Umumnya Otoritatif, Tapi Miskin Perspektif Sosial

Beda degan asumsi umum selama ini, ustaz salafi justru sangat otoritatif: menguasai Bahasa Arab degan baik, pasif/aktif, dan bidang-bidang keilmuan Islam secara mendalam, terutama Quran/Hadits. Mereka juga alumni Mekah, dll. Bahkan sebagian bergelar doktor.

Menyimak Ustaz Salafi di Channel Youtube: Umumnya Otoritatif, Tapi Miskin Perspektif Sosial

Beberapa malam lalu, saya menonton dan menyimak banyak video di Youtube tentang kajian dari kalangan yang disebut salafi. Ada sepuluhan ustaz yang ceramah-ceramah mereka saya pelototi. Saya belajar dari banyak ceramah ini sekaligus, katakanlah, melakukan semacam riset mini. Berikut beberapa catatan:

Beda degan asumsi umum selama ini, yang menganggap mereka (kelompok salafi) tidak otoritatif di bidangnya. Menurutku, mereka justru sangat otoritatif: menguasai Bahasa Arab degan baik, pasif/aktif, dan bidang-bidang keilmuan Islam secara mendalam, terutama Quran/Hadits. Mereka juga alumni Mekah, dll. Bahkan sebagian bergelar doktor.

Ada satu channel Youtube yang menyiarkan ceramah-ceramah kelompok salafi ini, dengan subscribe lebih dari 2,5 juta. Channel ini telah mengeluarkan lebih dari 13.000 video. Bukan main kan! Menariknya, channel ini juga punya siaran untuk anak-anak.

Meski ceramah-ceramah para ustaz ini beberapanya sudah disiarkan di channel ini, secara pribadi para ustaz tersebut memiliki channel sendiri, dengan jumlah subscriber ratusan ribu dan memposting ratusan ceramah. Jadi, rata-rata mereka memiliki ‘official channel’ sendiri.

Sebagian besar ceramah diambil dari ‘ceramah offline’ di masjid-masjid atau di kelompok-kelompok jamaah. Pada umumnya, ceramah kelompok salafi adalah searah dan tematik. Tetapi bnyak juga yang dilakukan degan gaya pesantren seperti pada umumnya, yakni membaca kitab. Menariknya, kitab yang dibaca juga umum di kalangan pesantren seperti Jalalalain, Riyadhus Sholihin, Arba’in Nawawiyyah, dll. Gayanya pun santai dan komunikatif, tidak berapi-api.

Para ustaz ini berasal dari berbagai daerah, tapi mayoritas mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Dengan demikian, secara sadar mereka mengerangkakan ceramah yang bersifat nasional, khitab-nya (sasaran) adalah penduduk se-Indonesia, bukan suku atau daerah tertentu, dan dengan demkian, bukan tidak mungkin juga akan sampai ke Malaysia, Brunei, dll.

Tema-tema yang sering diangkat cukup khas, misal soal-soal bid’ah, termasuk dalam hal ini respon terhadap budaya lokal, riba, kemusyrikan, ajakan hijrah, dan lain-lain, serta soal-soal ibadah. Yang di kalangan luar dianggap biasa, di kalangan ini bisa dipandang serius sekali.

Tema-tema di atas melulu dipandang dari sudut pandang keagamaan. Hampir tidak ada perspektif sosial untuk melihat masalah keagamaan. Atau sebaliknya, melihat masalah sosial dengan perspektif keagamaan. Karena itu, tema-tema sosial seperti soal lingkungan, kemiskinan, dan lain sebagainya relatif absen.

Yang menariknya lagi, pandangan terhadap pemerintah justru cenderung netral. Tidak ada kritik, meski di saat yang sama tidak ada pujian. Dalam satu ceramah bahkan ada yang bilang wajib dukung Jokowi, dalam arti sebagai pemrintahan yang sah selama tidak ada ajakan yangg nyata untuk mlakukan tindakan yang mengarah pada kekafiran (melarang ibadah misal dll).

Sebenarnya pandangan ini tidak aneh dan cukup umum sebagai pandangan keagamaan (teologi politik) kalangan ahlus sunnah.

Dalam banyak hal, kelompok salafi juga terlihat sopan. Sependek yang saya telusuri, tidak ada ucapan-ucapan kasar sepereti menjelak-jelekkan pemimpin, atau bahkan mendoakan misal untuk segera mati. Tidak ada juga ajakan-ajakan untuk melawan pemerintah. Mungkin yang saya simak ini adalah ustaz-ustaz salafi moderat, bukan yang politis, dan karena itu pula mereka bisa leluasa mendapat pemirsa yang luas.

Demikian beberapa hipotesis saya setelah menonton ceramah-ceramah ini. Tentu harus dilakukan riset lebih luas dan mendalam lagi untuk mendapatkan pandangan yang akurat. Dalam konteks demokrasi, tentu saja mereka berhak untuk memliki pandangan keagamaan sendiri, yang berbeda dengan orang lain, bahkan dengan pandangan resmi pemerintah.

Sekali lagi, menurut saya, kelompok salafi umumnya sangat otoritatif. Meski begitu, yang barangkali menjadi soal adalah: karena mereka merasa (dan memang) punya otoritas, mereka jadi cenderung otoriter, merasa paling benar dan menyalahkan oarang lain. Miskinnya perspektif sosial dan hilangnya aspek muqaranah, membuat pandangan mereka pada umumnya jadi serba hitam-putih.

Kendati demikian, kecenderungan orang yang memiliki otoritas lalu menjadi otoriter, tentu bukanlah khas kelompok salafi. Siapa pun yang merasa memiliki otoritas, biasanya juga punya pontensi untuk menjadi otoriter.

 

*Artikel ini merupakan utas di akun Twitter penulis, Hairus Salim