Menuju Puasa dan Sarung BHS yang Viral

Menuju Puasa dan Sarung BHS yang Viral

Menuju Puasa dan Sarung BHS yang Viral
Ilustrasi: Muhammad Abdul Syukri, mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik University of Duisberg-Essen Jerman ini nekat jalan-jalan pakai sarung di Berlin. Poto itu pun menjadi viral dan akhirnya membuat gerakan Sarungan Challenge di banyak tempat.

Belakangan ini tengah viral di media sosial, salah satu brand sarung. BHS namanya. Konon, BHS merupakan sarung paling mahal. Sarung dengan kasta paling tinggi. Saya sendiri tahu sepintas belakangan ini, ternyata ada banyak tingkatan BHS, dari yang harganya ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Bahkan sarung ini dijadikan gengsi dalam pergaulan, tak terkecuali para santri, Kiai dan umumnya kalangan Pesantren serta para laki-laki Muslim.

Saya sendiri memang sudah lama mengetahui sarung BHS sejak dulu di Pesantren. Seingat saya, yang punya sarung BHS itu hanyalah para Kiai dan Ustadz pengurus Pesantren. Ndilalah saya sendiri sejak di Pesantren sampai boyong, tidak punya satu pun sarung bermerek BHS. Sarung BHS memang kelihatan bagus sejak dari warna dan motifnya. Bahkan saking istimewanya, cara mencucinya pun tidak sama seperti sarung pada umumnya. Sarung BHS katanya dicuci hanya dengan dicelup dan dikucek sedikit saja di ember, tidak perlu pakai deterjen. Cara menjemurnya pun berbeda, dijempur dengan cara dibentangkan dengan bentangan yang kecang. Hal itu dilakukan agar sarung BHS tidak kusut, karena tidak perlu disetrika juga.

Ternyata sampai hari ini pun saya tidak punya sarung BHS. Sama sekali tidak ada kecenderungan untuk memiliki apalagi sampai mengoleksinya. Ndilalah juga hampir belum pernah ada bingkisan THR yang isinya sarung BHS. Sehingga tidak aneh jika sarung-sarung yang saya pakai seputar atlas, wadimor, gajah duduk, sapphire, dan serupanya, sarung-sarung biasa dengan harga yang juga biasa saja. Entah kenapa sampai sekarang pun tidak punya keinginan untuk membelinya walau satu pcs-pun. Saya merasa sarung, selain baju, celana, dll, semuanya sama, tidak ada keinginan untuk melebih-lebihkan, apalagi sampai terpengaruh gengsi.

Oleh karena itu, sampai sarung BHS viral di media sosial pun, saya tetap dalam pandangan yang sama, tidak ikut-ikutan terpengaruh gengsi untuk memakai sarung BHS. Selama ini membeli sarung asalkan suka dengan warna dan motifnya, tak terkecuali harganya murah sekali pun, itulah sarung yang dibeli dan dipakai. Tidak tersentuh untuk segera mengubah gaya hidup dengan memakai apalagi berlomba-lomba memakai sarung BHS yang kemudian erat kaitannya dengan gengsi sosial.

Saya berpendapat, sebetulnya memang tidak ada masalah apabila kita, para laki-laki Muslim membeli dan memakai sarung BHS. Selagi mampu membelinya dan tidak berlebihan. Prinsipnya dalam kehidupan, jangankan sarung, dalam berpakaian lainnya, atau dalam membeli barang apa pun, saya pikir tidak perlu kita sekadar ikut-ikutan apalagi termakan gengsi. Meskipun saya menyadari bahwa keluar dari pengaruh gengsi sosial itu sulitnya minta ampun.

Dalam beribadah dan beramal shaleh pun, sebagaimana kita pahami, agama tidak melihatnya dari pakaian yang kita kenakan. Melainkan dari kualitas hati dan keikhlasan dalam berbuat. Nabi Muhammad Saw., bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian. (HR. Muslim)

Pembahasan khusus tentang sarung BHS kali ini sebetulnya berlaku bagi perempuan yang misalnya termakan gengsi oleh tas, gamis, kacamata, jam tangan dan lain sebagainya yang kelewat mahal dan cenderung dijadikan gaya hidup hedonis. Sayang sekali kalau ibadah kita terkontaminasi oleh gengsi. Sampai-sampai hasrat mengoleksi sarung BHS mengalahkan kebutuhan pokok yang lain. Kalau sampai parah begini, saya yakin tidak dibenarkan.

Jangan sampai sarung BHS mempersulit diri kita, jangan sampai menjadikannya sebagai gengsi sosial. Alangkah baiknya jika dalam beribadah dan beramal shaleh, kita tidak perlu terjebak merek dan gengsi sosial. Hidup dan berpenampilan sederhana dengan tetap rapi tidak mesti mahal dan berlebihan. Lagi pula tidak ada ketentuan bahwa dalam beribadah dan beramal shaleh harus selalu dengan pakaian yang mahal dan branded.

Wallahu a’lam