Islam Pantura: Penikmat Sarung Juga Bisa Cingkrang!

Islam Pantura: Penikmat Sarung Juga Bisa Cingkrang!

Islam Pantura: Penikmat Sarung Juga Bisa Cingkrang!

Pantura itu bukan sekadar imaji. Ia menyejarah. Di dalamnya melekat banyak nilai yang berkaitan-erat dengan sifat keterbukaan bangsa Indonesia. Bahwa nilai yang dibangun berdasar kenyataan geografis yang ternyata “kenyataan air” (laut, sungai, danau, cakrawala—yang belakangan kita sebut sebagai bahari) itu melahirkan paradigma per-sama-an dengan liyan yang menggembirakan dan harmonis.

Dua yang terakhir disebut itu sama kisahnya dengan ‘Islam Pantura’ yang hidup dan menghidupi. Adaptasi budaya bahari membentuk imunitas ekonomi, politik dan agama masyarakat pesisir secara simultan dan membumbui rasa komunalitas masyarakat yang kadang kembang-kempis sebab ‘jangkar yang tertambat’.

Mbah Maimoen Zubair misalnya, sering menyebut kejayaan pesantren sebagai kejayaan masyarakat pesisir, sembari mengeja nama pesohor pesantren di Tuban, Lasem dan Gresik. Di segi ekonomi, telah lahir banyak produk kreatif yang terinspirasi dari budaya bahari, seperti olahan ikan dan motif sarung yang selalu melekat dengan orang pesisir.

Sarung adalah bagian dari tekstur budaya yang beragam dan beraroma secara bersamaan.

Tidak muluk-muluk jika menyebut sarung sebagai identitas dari “Manusia Nusantara”. Di hampir setiap selat di Nusantara, baik wilayah yang menjadi basis muslim maupun tidak, wilayah-wilayah tersebut pasti memiliki motif sarung yang beragam. Di ukuran lingkar pesantren pun, jarang sekali ditemui sarung dengan motif yang seragam—kecuali grup qasidah dan hadrah.

Sebagai identitas politik, sarung tidak hanya meleburkan fragmen religiusitas pemakainya tapi ada fungsi lain yang berubah wajah, namun konsekuensi tersialnya, ia hanya sebagai bumbu penampilan semata. Karena itu, selain fesyen, dalam bahasa politik, sarung juga mengisyaratkan identitas afiliasi pemakainya secara kelembagaan terhadap partai tertentu.

Secara filosofis, sarung yang konon, qila waqila, diadopsi dari kata “srawung” yang berarti bergaul atau berkumpul, saya diam-diam juga sepakat (ijma’ bissukuti) kepada budayawan Kiai Faizi terhadap dua hal ihwal sarung yang dinilainya secara positif: Pertama, ia menjadi identitas primer orang pesisir, terutama Madura, baik Madura Negeri maupun Madura Swasta. Kedua, sarung tidak membersamai nilai-nilai stereotip bagi pemakainya.

Sayangnya, dua hal itu merupakan subkultur di daerah yang dilingkari pesantren sebagai gudang ‘manusia-manusia bersarung’. Dan, perlu diketahui pula, jika “agama” orang Madura itu Nahdlatul Ulama. Sehingga setidak-tidaknya di lemari rumahnya, pasti ada sarung yang tertata rapi di dalamnya.

Tekstur budaya yang demikian itu, masif berkembang di beberapa wilayah di pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura), seperti halnya di kota kelahiran saya: Gresik. Sebagai bagian dari masyarakat pantura atau pesisir yang cenderung memiliki sifat terbuka itu, Gresik juga bersimbah tradisi dan atau peninggalan Islam mulai Fatimah bint Maimun (Abad 11), Giri Kedaton (Abad 13), Pondok Pesantren Qomaruddin (Abad 18) dan juga memiliki motif sarung bersejarah, yaitu motif semanggi. Dalam perkembangannya, Gresik kemudian menjadi “rumah” pabrik sarung terkemuka, yaitu Behaestex (BHS).

Dari segi kebudayaan, wong-wong Gresik menjadi penikmat sarung yang telaten. Masih bersepakat dengan Kiai Faizi, identitas sarung tidak hanya meniupkan ruh di pesantren. Bagi masyarakat Gresik, ruh sarung juga menetap selagi mereka “cangkrukan” di warung kopi, rumah sakit, balai desa, supermarket, sawah, tambak dan lain sebagainya.

Satu hal lagi yang membuat saya yakin jika masyarakat Gresik menjadi penikmat sarung yang telaten adalah, tidak sedikit dari mereka yang bermata-pencaharian sebagai petani tambak, yang di hampir waktu kerjanya, mereka selalu mengenakan sarung. Tidak tanggung-tanggung, segala jenis merek sarung mereka kenakan ketika hendak menambak. Mulai dari merek Samarinda, Gajah Duduk, Atlas, hingga merek kelas kakap berharga jutaan seperti Lamiri, Ketjubung, Donggala dan Behaestex (BHS). Tapi sejauh ini, saya belum menemukan sarung merk Lar Gurda di sana. hehe

Pemandangan yang sangat lumrah jika sarung BHS harga jutaan hanya dipakai untuk memberi makan ikan di tambak. Di pikiran mereka, mungkin harga bukan soal, karena fungsi sarung sama saja: menutup aurat.

Kalaupun disarankan untuk mengganti sarung, mereka tetap memakai merek yang itu-itu saja. Entah itu sebab loyalitas mereka terhadap merek sarung tertentu atau sekedar iseng beli merek yang sama. Saya kurang tahu detilnya. Yang jelas, di Gresik, sebagai tempat produksi sarung terkemuka itu, BHS telah kehilangan konteks.

Fenomena itu kemudian menjadikan kita malu untuk mengamini phobia kita terhadap hal yang berbau cingkrang. Lain halnya terhadap kaum celana cingkrang, kita sama-samar mengamini keberadaan kaum ‘sarung cingkrang’ yang diwakili oleh para petani tambak/pandego di daerah pantura.

Jika terhadap kaum celana cingkrang kita memilih nyinyir ketimbang menggauli, apakah sikap itu akan sama dengungnya terhadap kaum sarung cingkrang?

Kurang lebih, yang membuat kita gagal nyinyir kepada kaum sarung cingkrang ialah karena mereka berangkat dari realitas sehari-hari dan tidak dipusingkan soal gaya pakaian apa yang paling sunnah; pertama, medan tanah di tambak berunsur cukup lembek dan becek (wetland), karena itu mengharuskan mereka mengencangkan sarung, mengangkatnya sampai bebetan (lipatan) sarung jatuh di bagian tengah perut. Sejak berangkat dari rumah hingga istirahat di warung kopi dan bahkan membeli makanan ikan di pasar, sarung mereka tetap cingkrang.

Kedua, beberapa hadis Nabi yang berkaitan dengan ‘sarung’ memuat anjuran untuk menutup aurat. Kecuali satu hadis yang berbunyi demikian; “Nabi saw bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), Beliau mengencangkan sarung (syadda mi’zarahu), menghidupkan malamnya dengan beribadah (ahya laylahu) serta membangunkan keluarganya (wa ayqadha ahlahu)”.

Nah, yang perlu digaris-bawahi dari hadis tersebut adalah fragmen ‘mengencangkan sarung’. Dalam hadis itu, fragmen mengencangkan sarung disyarahi dalam konteks membatasi hubungan suami-istri. Sedangkan dalam konteks kekinian, anjuran itu agaknya tidak hanya di sepuluh akhir bulan Ramadhan belaka, melainkan sejak dari awal Ramadan. Sebab meskipun ada himbauan untuk tidak menyelenggarakan tarawih, fenomena ‘tarawih kilat’ seperti yang terjadi di Magetan tahun lalu masih menjadi pertanyaan.

Apa yang lebih puitis dari gesekan sarung pada sajadah yang mengantarkanmu bersujud kepada-Nya?

Kalau saja tidak disegerakan anjuran Nabi itu, bisa-bisa melorot sarungmu!