Sarung Sebagai Identitas Budaya

Sarung Sebagai Identitas Budaya

Sarung Sebagai Identitas Budaya
Seminar Sarung Nusantara

Kain sarung tidak hanya simbol perlawanan melawan kolonilaisme. Bagi masyarakat Indonesia sarung telah menjelma menjadi identas budaya. Rencananya acara ini akan berlangsung secara kolosal.

Hal ini dikemukakan oleh Dr Muiz Ali Murtado ketua panitia Seminar Nasional Sarung Nusantara. Acara yang digelar oleh Lembaga Takmir Nahdlatul Ulama di Gedung PBNU. merupakan pra cara festival Sarung Nusantara. “Seminar ini merupakan pra dari acara Festival Sarung nusantara. Dan merupakan sebuah gebrakan budaya. Selama kita tidak pernah melakukan satu upaya kajian secara penuh, apa itu sarung, pengaruhnya dan lain sebagainya terhadap perkembangan budaya kita,”ungkapnya Muiz.

“Sarung itu mempunyai banyak fungsi ketika dipakai. Salah satu contohnya adalah santri di pesantren. Santri itu identik dengan berbagai kegiatan pesantren. Jika santri telah memakai sarung, maka tidak perlu memakai celana. Begitu juga selimut. Maka dari itu tidak ada santri yang memakai selimut. Sarung adalah selimutnya,”ungkap, Imam Suprayogo salah satu pembicara.

Ia menambahkan bahwa sarung pada umumnya tidak hanya berhasil menjadikan identitas budaya. “ Sarung juga mampu menjadikan seseorang itu berakhlak baik. Hal ini dikarenakan sarung dipakai oleh kiai, tetapi juga sarung itu identik dengan santri yang mempunyai karakter positif,” imbuh Nugroho.

Dalam acara tersebut juga hadir pembicara lainnya seperti Ketua Lesbumi PBNU KH Agus Sunyoto dan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Agus Sunyoto mengungkapkan bahwa sarung secara historis lahir dari dan dibawa orang Yaman. “ Namun seiring dengan waktu orang-orang Nusantara memulai memodifikasi sarung sesuai dengan identitas lokal. Maka dari itu kain sarung di tanah air itu banyak ragamnya seperti songket, ulos, tapis dan kain tenun lainnya,”ungkap Agus.

Dalam pandangan lain, Dedi Mulyadi memaknai sarung secara lebih spesifik. Bupati Pureakarta ini menagatkan bahwa dalam budaya Sunda sarung itu dari kata Sa dan Rung. “Sa itu bida diartikan tidak terbatas atau berlebihan. Ini adalah sifat dasar manusia yang dalam dirinya mengandung tanah, air, udara dan api. Manusia itu ketika sudah punya tanah, masih ingin memperlebar kepemilikan tanahny. Begitu juga dengan air. Manusia mempunyai kecenderungan memompa air sebanyak-banyak, padahal yang diminum hanya dua gelas. Begitu juga udara dan api. Keduanya dimanfaatkan dan dikuasai secara belebihan,” ungkap Dedi.
Ia menambahkan bahwa kata ‘Rung’, yang artinya dikurung sebagai upaya untuk membatasi ketamaan tersebut. “Segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung,” jelasnya.