Ingat Pilkada DKI Jakarta 2016? Ada salah satu ayat yang saat itu menjadi kontroversi, yaitu Q.S Al-Maidah/5: 51. Ayat tersebut secara substansi dipahami, salah satunya, sebagai larangan agar tidak memilih pemimpin non-Muslim, pernah menjadi ayat yang sangat kontroversial di Indonesia. Kontroversi ayat ini dipicu oleh video Basuki Tjahaja Purnama, atau populer dengan sebutan Ahok, ketika menyampaikan sebuah sambutan yang di dalamnya menyinggung ayat tersebut.
Video Ahok itupun viral, bahkan sampai menyulut amarah umat Muslim Indonesia. Aksi Bela Islam yang digelar berjilid, muncul sebagai respon dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, dan menuntut agar Ahok diadili. Isu mengenai larangan memilih pemimpin non-Muslim menjadi santer diorbitkan di kalangan Muslim. Wacana penistaan agama pun menuai pro dan kontra yang sangat masif saat itu. Walaupun banyak yang menuntut agar Ahok diadili, beberapa kalangan melihat bahwa penistaan agama merupakan masalah yang sangat subjektif, dan berpendapat bahwa Ahok tidak harus dituntut, apalagi sampai dipenjara.
Secara historis, isu kepemimpinan non-Muslim juga pernah menjadi kontroversi, setidaknya, di abad kesebelas pada masa dinasti Abbasiyyah. Realita bahwa non-Muslim pada masa itu menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, memunculkan perdebatan ulama fikih masa itu. Louis Cheikho, dalam Wuzara’ al-Nashraniyyah wa Kuttabuha fi al-Islam, mencatat setidaknya terdapat 75 wazir (menteri) dan 300 sekretaris Kristen pada pemerintahan Islam awal (khilafah).
Dalam konteks kontemporer Indonesia, diskusi mengenai perdebatan kepemimpinan non-Muslim memang bertebaran, bahkan terjadi sangat intens, khususnya ketika pelaksanaan Pilkada DKI 2017 yang sebelumnya juga dipicu dengan peristiwa Ahok dan Aksi Bela Islam.
Akan tetapi, seakan luput, sangat sedikit yang mengulas bagaimana realitas historis yang sebenarnya terjadi yang mana, dalam taraf tertentu, justru menjadi pemicu pertama kali perdebatan kepemimpinan non-Muslim muncul ke dalam diskursus fikih. Oleh karena itu, melihat realitas historis akan sangat penting untuk mengetahui latar belakang proses terbentuknya sebuah diktum fikih.
Di dalam penelitian berjudul The Public Role of Dhimmis During Abbasid Times, Mun’im Sirry mengulas dengan detail bagaimana non-Muslim bisa memiliki peran yang signifikan dan menduduki jabatan strategis pada kabinet pemerintahan Islam awal, berikut ragam perdebatan fikih yang mengitarinya sebagai respon atas realitas tersebut:
Perdebatan fikih
Salah satu ulama yang pertama kali mendiskusikan hal ini, seperti yang diulas Sirry, adalah al-Mawardi di dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, sebuah kitab yang cukup populer sebagai rujukan teori politik Islam mazhab Syafi’i. Al-Mawardi membagi struktur pemerintahan di bawah khalifah menjadi dua; wazir al-tafwidh (menteri delegasi) dan wazir al-tanfidz (menteri eksekusi).
Wazir tipe pertama, memiliki kewenangan dengan cakupan yang luas, yang bahkan dalam beberapa kasus, bisa menyamai khalifah. Wazir al-tafwidh bisa mengambil kebijakan bahkan tanpa persetujuan khalifah, dengan tetap menginformasikan atau melaporkan mengenai kebijakan yang ia ambil. Oleh sebab itu, al-Mawardi merumuskan syarat yang harus dipenuhi oleh wazir al-tafwidh ini, seperti halnya syarat yang ditetapkan untuk seorang khalifah, kecuali pada aspek genealogi (tidak harus bernasab Quraisy).
Berbeda dengan wazir tipe pertama, wazir tipe kedua yaitu wazir al-tanfidz atau menteri eksekusi, memiliki wewenang yang terbatas. Mereka hanya melakukan apa yang sudah ditugaskan dan diinstruksikan oleh khalifah kepada mereka, tanpa independensi atau kemampuan untuk mengambil dan menentukan kebijakan. Al-Mawardi kemudian menetapkan bahwa menteri eksekusi bisa saja ditempati oleh non-Muslim, tapi tidak dengan menteri delegasi.
Teori politik yang dikembangkan oleh al-Mawardi dalam kitabnya ditulis untuk khalifah al-Qadir Billah (991-1031), atau untuk penerusnya al-Qaim Billah (1031-1075), yang mana pada masa itu non-Muslim mendapat keleluasaan untuk menjabat.
A. R Gibb melihat bahwa kitab yang dikarang al-Mawardi ini sarat dengan kepentingan politis. Ia menilai bahwa tujuan al-Mawardi adalah untuk memberikan basis legitimasi teologis dan menjustifikasi praktik yang dilakukan pemerintah saat itu dalam mempekerjakan non-Muslim (merely the post eventum justification of the precedents atau rationalization of the history of community). Akan tetapi di satu sisi, al-Mawardi seakan berusaha memberi batas untuk non-Muslim, yang pada realitanya, bisa mendapatkan kewenangan yang begitu luas.
Dalam Ghiyath al-Umam fi Iltiyath al-Zulam, Imam Haramain Al-Juwaini, walaupun berhaluan mazhab yang sama, menentang pandangan al-Mawardi tersebut. Ia menjelaskan bahwa syarat menjadi pemimpin, termasuk wazir, harus kredibel (tsiqah). Non-Muslim tidak dapat dipercaya dari segi apapun, mulai dari perlakuan hingga pernyataannya. Kesaksian dari mereka saja tertolak. Lalu, menurut al-Juwaini, bagaimana bisa mereka dipercaya ketika diletakkan di struktur pemerintahan?
Lebih jauh, al-Juwaini melandasi pandangannya pada hadis nabi, juga ayat al-Maidah/5: 51 dan Ali Imran/3: 118, yang secara substansi berisi larangan untuk tidak menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin ataupun menjadikan mereka sebagai aliansi atau sekutu (lebih rinci lihat: cet. Matba’a al-Nahda, h. 156).
Begitupun dengan Abu Ya’la, seorang ulama mazhab Hambali, di dalam kitabnya yang berjudul sama dengan karangan al-Mawardi, menolak lebih keras keterlibatan non-Muslim dalam struktural pemerintahan. Ia banyak mengutip riwayat, seperti, misalnya, yang berasal dari Umar dan Ali bin Abi Thalib ketika melandasi argumennya.
Realitas Historis
Non-Muslim sebenarnya sudah terlibat dalam pemerintahan Dinasti Umayyah. Pada masa itu, mereka dipekerjakan sebagai penarik pajak. Akan tetapi, non-Muslim baru menempati pos-pos strategis dalam pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyyah.
Khalifah pertama yang mengangkat wazir non-Muslim adalah al-Mu’tashim. Ia mempekerjakan seorang Kristen bernama Fadhl bin Marwan bin Masarjis. Karir Fadhl bin Marwan dalam struktural pemerintahan Abbasiyyah sebenarnya sudah dimulai ketika pemerintahan al-Ma’mun. Rekam jejak dan keterampilannya dalam mengatur administrasi pemerintahan sangat diakui. Itu sebabnya al-Mu’tashim mempertimbangkannya untuk diangkat sebagai wazir.
Akan tetapi, dalam praktiknya, Fadhl bin Marwan seakan memiliki kewenangan yang tanpa batas. Ia mengatur hampir semua aspek pemerintahan, termasuk urusan finansial kantor khalifah. Hal ini berimplikasi, seakan, khalifah hanya peran simbolik saja. Dalam klasifikasi yang digagas al-Mawardi, Fadhl bin Marwan bisa dikategorikan sebagai wazir al-tafwidh atau menteri delegasi. Ia kemudian mendapat banyak penentangan, termasuk dari khalifah, yang pada akhirnya menyebabkan ia diberhentikan.
Kasus yang hampir sama juga terjadi pada pemerintahan Fathimiyyah, dinasti Syi’ah Ismailiyyah yang pusat pemerintahannya di Mesir. Terdapat seorang wazir Yahudi ketika kekhalifahan dijabat oleh al-’Aziz, bernama Ya’qub bin Killis. Sama halnya dengan Fadhl bin Marwan, Ibn Killis memiliki kewenangan yang begitu luas, sampai-sampai, keputusan qadhi harus mendapatkan persetujuannya. Khalifah al-’Aziz memiliki hubungan yang begitu dekat dengan wazir ini, bahkan ketika Ibn Killis wafat, kantor pemerintahan ditutup beberapa hari. Ibn Killis kemudian digantikan dengan seorang wazir Kristen.
Dari beragam realitas historis tersebut, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa para khalifah mempekerjakan non-Muslim, yang bahkan dalam sejumlah kasus, sampai memiliki kewenangan yang begitu luas? Mengapa tidak mempekerjakan Muslim saja?
Mun’im Sirry menjelaskan bahwa alasan pragmatis melandasi mengapa para khalifah mempekerjakan non-Muslim. Mereka memiliki rekam pengalaman dan kapabilitas yang mumpuni dalam mengatur administrasi pemerintahan dengan sistem kerajaan. Itu mengapa non-Muslim sudah dipekerjakan sejak masa dinasti Umayyah ketika transformasi model pemerintahan dari yang sebelumnya dipegang oleh khulafa’ al-rasyidun dengan, menurut istilah Sirry, menggunakan “karisma pemimpin” sebagai model kepemimpinannya.
Model kepemimpinan seperti itu menemui banyak kendala ketika wilayah Islam semakin meluas dan mencakup berbagai entitas dan etnik. Ketika terjadi tranformasi model kepemimpinan dengan sistem kerajaan pada dinasti Umayyah, para khalifah menerapkan model pemerintahan kerajaan seperti yang diterapkan imperium Sasanian Persia dan Bizantium sebagai cara untuk mengatasi kendala yang terjadi.
Salah satu sistem Sasanian Persia yang diadopsi oleh pemerintahan Abbasiyyah, tetapi belum diterapkan pada masa Umayyah, adalah sistem wizarat atau kementerian. Non-Muslim sudah berpengalaman untuk menjalankan sistem pemerintahan dengan model seperti ini. Di samping itu, model pemerintahan yang sudah mapan tersebut menggunakan bahasa non-Arab, seperti bahasa Yunani. Kompleksitas sistem administrasi pemerintahan dan penggunaan bahasa non-Arab ini menjadi alasan yang mengharuskan khalifah mempekerjakan orang-orang yang memiliki pengalaman dan kapabilitas, dan orang-orang Muslim Arab, pada saat itu, belum menguasai hal tersebut.
Dari sini kita mengetahui bahwa realitas politik yang terjadi di masa tersebut begitu kompleks. Perdebatan fikih mengenai kepemimpinan non-Muslim yang kemudian muncul sebagai respon atas realitas pada masa itu, tidak muncul dari ruang kosong. Itu mengapa menelusuri fakta-fakta historis menjadi krusial agar sebuah diktum fikih tidak kehilangan esensinya.
(AN)