Saya ingin berbagi cerita yang barangkali ada manfaatnya buat kita.
Seorang teman mengaku bekerja di perusahaan pariwisata. Gajinya lumayan. Belum lagi, uang tip yang dia terima setiap hari. Jika dihitung, dalam sebulan, rata-rata dia menerima penghasilan lima juta. Saat itu, dia baru menikah, dan tinggal di sebuah kontrakan bersama istrinya yang juga bekerja dengan gaji sesuai upah minimum regional (UMR) di kota itu.
Anehnya, teman ini sering mengeluh kekurangan uang. Setiap habis menerima gaji, belum juga akhir bulan, dia sudah bokek. Hampir di setiap pertengahan bulan, dia mulai bingung mencari utang. Padahal, dia dan istrinya sama-sama bekerja. Belum punya anak pula. Hidup juga sekadarnya. Tidak berlebihan. Tetapi, entah kenapa, selalu ada kebutuhan yang membuat rumah tangganya kekeringan kantong sebelum waktu gajian.
Segala siasat sudah dia coba. Mulai dari memasak makanan sendiri bersama istri hingga makan dengan cara membeli di warung. Berbagai siasat hidup hemat dia lakukan, tetap saja tidak ada perubahan. Boro-boro bisa menabung saban bulan, sekadar untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja megap-megap.
Sekitar dua tahu menjalani hidup secara demikian, dia tidak betah. Bersama istrinya, teman ini kemudian hijrah ke kampung. Dia bertekad untuk mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan. Mula-mula, istrinya keberatan, dengan alasan gaji mengajar itu kecil. “Mana cukup buat kebutuhan,” protes istrinya. Setelah diyakinkan oleh teman ini, istrinya menerima.
Pasangan muda ini benar-benar pulang kampung, dan menjalani hidup sebagai pendidik. Teman ini menjadi dosen di sebuah kampus kecil, sementara istrinya menjadi guru mengaji di sebuah Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ). Bisa diduga, penghasilan pasangan ini terjun bebas, jika dibandingkan ketika keduanya menjadi karyawan swasta di kota besar dulu. Apalagi, tidak lama setelah itu, pasangan ini dikaruniai momongan.
Yang mengherankan, kendati penghasilan tidak seberapa, tetapi teman ini tidak lagi kekurangan uang. Dia sudah tidak bingung mencari utang setiap pertengahan bulan. Malah, saban bulan, meski tidak seberapa, dia dan istrinya bisa menyisihkan uang untuk ditabung. “Saya sendiri tidak mampu memikirkan misteri hidup ini,” tuturnya kepada saya suatu ketika.
Tidak lama kemudian, pasangan ini dikaruniai anak kedua. Dan, ketika itulah istrinya kehabisan waktu di luar rumah. Sejak punya dua anak, istrinya total di rumah. Tidak lagi mengajar di mana pun. Praktis, hanya teman kita ini yang bekerja dan menghasilkan uang. Sampai kini.
Namun, kepada saya, dia bilang sangat bersyukur dengan hidupnya sekarang. “Dulu ketika saya saban hari ngantor dan gaji saya juga besar, justru selalu kekurangan uang dan utang sana-sini” katanya. “Sekarang ini gaji saya tidak seberapa, entah gimana, selalu ada rezeki buat hidup sehari-hari. Malah, saya dan istri bisa menabung.”
Saya serius menyimak, dia kemudian melanjutkan, “Insya Allah, bulan depan, saya ingin membeli mobil. Sebab, saya sudah merasa butuh itu ketika saya sering ada acara di luar kota.” Ya, sebagai dosen, teman ini memang sering diundang ke mana-mana. Kadang, mengisi pelatihan, seminar, dan serupanya.
Saya turut bersyukur mendengarnya. Namun, di luar itu, saya kemudian berpikir: inikah yang namanya rezeki berkah. Besar atau kecilnya penghasilan rupanya tidak menjamin hidup berkecukupan. Teman tadi, misalnya, ketika gajinya besar, dia sering kekurangan uang dan banyak utang. Hidup cukup malah dia rasakan ketika gajinya biasa-biasa saja.
Rezeki memang tidak bisa dihitung bak matematika. Saya sendiri—atau boleh jadi juga Anda—pernah mengalami. Seperti teman lain yang—berdasarkan perhitungan istrinya—kebutuhannya setiap bulan adalah tiga juta. Padahal, gajinya hanya dua juta setengah. Namun begitu, dia mengaku tidak pernah kekurangan. Setiap ada kebutuhan, selalu ada rezeki datang. Tidak disangka-sangka. Hidupnya pun tenang, bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Bagi Anda yang hidup berkelebihan, mungkin pembahasan begini tidak menarik. Hitung-hitungan seperti ini tidak akan klik dengan hati dan pikiran Anda. Namun, bagi orang-orang dengan tingkat ekonomi biasa seperti saya, pengalaman-pengalaman demikian sangat penting. Minimal, untuk memupuk kepercayaan diri bahwa hidup berkecukupan itu tidak tergantung seberapa besar gaji kita, tetapi sangat terkait dengan berkah yang Allah taburkan dalam setiap penghasilan kita.
Cobalah kita rasakan. Jangan-jangan Anda juga merasakan dan berpikiran sama seperti saya.