Sebagai seorang laki-laki muslim (Muslim Bosnia sejak lahir) yang beranjak dewasa ketika terjadi peristiwa September 9/11, saya telah menempuh berbagai upaya untuk memahami keimanan saya, keimanan yang menegaskan Kebaikan dan Cinta serta terbuka terhadap segala kebaikan dan pencarian cinta dalam diri setiap manusia. Pencarian ini membuat saya memulai perjalanan spiritual yang akhirnya mendorong saya untuk menapaki karir di bidang akademis dan mendedikasikan sebagian besar waktu saya untuk membangun teori Islam progresif. Buah dari perjalanan intelektual yang panjang ini, di antaranya ialah terbitnya dua buku dimana buku kedua yang berjudul the Imperatives of Progressive Islam diterbitkan pada awal 2017.
Perjalanan intelektual saya sebenarnya sangat diilhami dan dipengaruhi oleh karya besar yang ditulis oleh Tikkun dan Jaringan Progresif Spiritual. Tikkun dan Jaringan Progresif Spritual ini sudah saya kenal sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika meneliti tentang Islam progresif. Dalam artikel ini, saya akan menggunakan latar belakang ini untuk memberikan gambaran tentang pandangan dunia yang mendasari Islam progresif, pendekatannya untuk memahami dan menafsirkan tradisi Islam, dasar-dasar teologinya, dan implikasi normatifnya. Dalam upaya memberikan gambaran ini, saya ingin menyajikan pemahaman Islam yang memang kurang begitu populer di kalangan umat Islam tetapi tidak kalah otentiknya (dibanding dengan pemahaman-pemahaman lainnya). Diharapkan gambaran sekilas ini akan menantang asumsi-asumsi awal sebelumnya yang dianut non-Muslim dan Muslim tentang hakikat Islam.
Catatan Awal
Islam progresif merupakan istilah umum yang mencakup berbagai pendekatan dalam memahami tradisi Islam dan modernitas (akhir). Kata ‘progresif’ atau terkadang juga kata ‘kritis’ (misalnya seperti yang digunakan oleh majalah Critical Muslim yang dipublikasikan di UK) merupakan kata yang menjadi ciri bagi arah pemikiran mereka atau semua pemikiran yang masuk ke dalam kategori Islam Progresif. Para pendukung pemikiran progresif dalam Islam ini merupakan para akademisi dan intelektual publik yang berasal dari negara-negara bermayoritas muslim dan negara-negara berminoritas muslim.
Para pemikir progresif Islam misalnya ialah Hassan Hanafi dari Mesir; Enec Karic dari Bosnia, Ali Ashgar Engineer dari India; Nurcholis Madjid dari Indonesia, Sadiyya Shaikh, Ebrahim Moosa dan Farid Esack dari Afrika Selatan; Ziba Mir Hosseini dan Mohsen Kadivar dari Iran; Muhammad Abed al-Jabiri dari Maroko; Jasmine Zine dari Kanada; Hashim Kamali dari Afghanistan/Malaysia; Kecia Ali dari AS; Abdul Aziz Sachedina dari Tanzania/USA; Abdullah An-Na’im dari Sudan; Khalid Masud dari Pakistan; dan Khalid Abou El-Fadl dari Mesir/AS. Lebih jauh lagi, akademisi dan intelektual muslim progresif ini tidak hanya dari kalangan laki-laki namun juga dari tokoh-tokoh perempuan. Pemikiran muslim progresif merupakan fenomena yang mengglobal. Mereka merupakan aktifis-aktifis yang memperjuangkan nilai-nilai kemajuan, kesetaraan dan pemikiran yang terbuka.
Jika dilihat dari pandangan dunia yang dimilikinya, Islam Progresif merupakan gerakan yang dicirikan dengan komitmennya terhadap ide-ide, nilai-nilai, praktik dan tujuan yang termanifestasikan ke dalam berbagai cara dan berbagai tema perjuangan yang diangkat. Tema-tema yang diangkat Muslim Progresif biasanya berbentuk respon kritis terhadap isu-isu yang berkaitan dengan (1) kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya Global North (bumi bagian utara khatulistiwa, seperti Amerika dan Eropa) yang hegemonik, (2) interpretasi yang bersifat patriarkis, eksklusivis, dan berbasis pada etika yang sangat kaku terhadap tradisi Islam, dan (3) nilai-nilai yang mendasari modernitas Pencerahan dan bentuk-bentuk pemikiran postmodern yang radikal.
Oleh karena itu, selain itu respons kritis ini menantang segenap wacana hegemonik yang ditawarkan Islam neotradisional dan Islam puritan terkait isu-isu tertentu (termasuk misalnya perdebatan tentang modernitas, hak asasi manusia, kesetaraan dan keadilan gender, demokrasi, serta tempat dan peran agama dalam masyarakat dan politik). Respon kritis Muslim Progresif juga ditujukan kepada pemahaman-pemahaman yang bersifat Eropa sentris, seperti yang tercerminkan ke dalam nilai-nilai, konsep-konsep, pandangan dunia, dan asumsi paradigmatic yang menopang pemikiran Abad Pencerahan di Barat.
Salah satu ciri utama pemikiran Muslim progresif adalah keterpusatan pemikiran pada spiritualitas dan pemeliharaan hubungan antar individu berdasarkan nilai etis yang sufistik. Yang saya maksudkan dengan nilai etis sufistik di sini adalah nilai-nilai tasawuf yang sudah mengalami intelektualisasi, yakni, tasawuf yang tidak disertai unsur misoginis yang hierarkis yang melekat dalam sebagian besar tradisi Sufi pra-modern. Selain itu, Muslim progresif menekankan sifat universalitas Tuhan dan universalitas iman, universalitas yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap umat manusia secara umum. Watak universalitas Tuhan dan iman inilah, seperti yang akan saya uraikan di bawah, yang mendorong pemikiran Muslim Progresif untuk menganut paham pluralisme agama.
Mengembangkan dan memperkuat warisan tradisi Islam yang multidimensi dan dinamis serta melawan reduksionisme dan interpretasi eksklusifnya yang didasarkan pada patriarki, kebencian terhadap wanita, dan kefanatikan agama merupakan ciri tambahan penting yang menopang pandangan dunia Islam Progresif. Muslim progresif juga sangat kritis terhadap hegemoni ekonomi, struktur politik dan struktur sosial modern berbasis pasar bebas. Mereka melawan institusi dan kekuasaan yang mendukung, mempertahankan, atau tidak kritis terhadap status quo (ketidakadilan). Kekuatan hegemonic pada tataran ekonomi, politik dan sosial ini sering disebut kekuatan “Kekaisaran.”
Muslim progresif menganggap kekuatan hegemonik ini telah mendorong upaya-upaya pengerdilan dan pengurangan martabat manusia sebagai pembawa ruh Tuhan dan menjadikan mereka sebagai konsumen ekonomi utama. Kekuatan hegemonik yang sering disebut sebagai “kekaisaran” inilah yang telah menimbulkan pada kesenjangan ekonomi yang besar antara Dunia Selatan yang mayoritasnya miskin dan Dunia Utara yang mayoritasnya kaya. Muslim progresif juga ingin mengubah wacana jihad saat ini sering diidentikkan dengan geopolitik, militerisme dan terorisme menjadi wacana jihad yang lebih ke arah usaha-usaha intelektual batiniah, penguatan etika dan perjuangan non-kekerasan serta perlawanan terhadap segenap kekuatan yang bertentangan dengan pandangan dunia Muslim Progresif secara keseluruhan.
Muslim progresif menganggap tradisi intelektual Islam (turath) sebagai produk dinamis yang dibangun secara manusiawi oleh banyak komunitas tafsir di masa lalu dan masa kini. Konsep keaslian budaya dan agama (aṣālah) dalam pemikiran Muslim progresif tidak didasarkan pada kemelekatan literal pada tradisi Islam tetapi pada keterlibatan kreatif dan kritis dengannya. Dalam pengertian ini Islam progresif dapat dipahami sebagai bentuk tradisionalisme Islam yang kritis. Kesadaran Islam progresif berakar kuat pada tradisi Islam itu sendiri yang dilengkapi dengan paradigma pemikirannya yang sangat kosmopolitan.
Yang penting dari semua itu, Islam progresif baik secara teoretis maupun secara praktis melakukan segenap upaya untuk mendefinisikan kembali makna Islam dalam bingkai modernitas akhir tanpa perlu meninggalkan parameter keimanan. Pendekatan Muslim progresif dan keterlibatannya dengan modernitas juga ditandai dengan upaya untuk mempermasalahkan sejarah perdebatan antara Islam dan modernitas atau antara Islam dan Barat yang membingkai relasi keduanya sebagai sesuatu yang saling eksklusif dan menegasikan.
Lebih dari itu, Muslim progresif melihat proses sejarah modernitas di Barat sebagai hasil dari proses trans-budaya dan proses yang terjadi antar-peradaban, bukan melulu yang khas Barat, sehingga menantang klaim bahwa modernitas adalah produk peradaban Barat murni. Oleh karena itu, Islam progresif dalam pengertian ini bukanlah produk ‘Barat’.
Baca tulisan selanjutnya, klik di sini
*Tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Aziz dari artikel berjudul Progressive Islam: Reawakening Authenticity. Artikel ini diterjemahkan atas kerjasama Adis Duderija dengan el-Bukhari Institute.