Musik yang Merepresentasikan Islam, Adakah?

Musik yang Merepresentasikan Islam, Adakah?

Musik adalah kombinasi dari ketelitian matematis dan kepekaan eksistensial atas kehidupan sekitar. Keduanya saling memengaruhi bagaimana suatu lagu dapat menembus relung terdalam manusia secara universal.

Musik yang Merepresentasikan Islam, Adakah?
Gisele Marie, seorang musikus asal Brasil, menjadi salah satu simbol hijab mental. Source: Al Arabiya News

Adakah musik yang merepresentasikan Islam? Kalau jawabannya adalah Qasidah, dengan kualitas yang sebagaimana umumnya tampil dan tersiar di TV dan radio, maka jawaban ini telah ditolak Gus Dur dua dekade silam melalui esainya yang berujul Qasidah. Sebaliknya, Gus Dur justru memberikan testimoni personal terhadap simfoni Pastoral-nya Beethoven dan karya-karya Bach, yang dianggap lebih mampu mendekatkan diri kepada keagungan Tuhan.

Mencari musik yang merepresentasikan Islam belum menjadi pencarian yang diprioritaskan karena tertimbun oleh semangat kompetisi sektarian dalam tubuh Islam itu sendiri. Agaknya pun sangat sulit untuk membayangkan seperti apa musik yang merepresentasikan Islam. Karena, kalau pun ada, sangat sulit dibedakan antara ‘arab’ dan ‘Islam,’ baik di tataran musikalnya, bahasanya, ataupun substansinya.

Di momen-momen santai pesantren seperti roan misalnya, playlist yang diputar biasanya adalah tilawah/murottal Qur’an ataupun sholawat yang bertempo cepat dan bertonal meriah. Kadang, musik pop arab juga diputar. Tapi genere musik ini biasanya adalah pesanan dari salah seorang yang cukup terpapar modernitas zaman namun enggan lari ‘nuansa’ Islami―meskipun secara substansi, walaupun berbahasa arab, musik pop arab tidak selalu Islami.

Penyanyi legendaris Lebanon, Fairuz, misalnya, punya album Christmas Carol-nya sendiri. Amr Diab, penyanyi kawakan Mesir, adalah seorang Kristen Ortodoks. Namun, lagunya yang berjudul Tamally Maak dan Habibi ya Nour el Ain, cukup familiar di telinga orang pesantren, dan menjadi ‘ikon’ bulan puasa di Indonesia.

Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, roan (kerja bakti) kadang juga diiringi oleh musik koplo, dangdut, ataupun genere musik rakyat lainnya. Genere ini sering kali diputar oleh mereka yang punya cukup keberanian untuk mendekontekstualisasi atmosfer pesantren agar lebih ‘profan’ sedikit.

Pesantren, dalam konteks santai (seperti momen roan atau nikahan Ning/Gus-nya), dengan kata lain, adalah ruang pengukuhan dan perebutan identitas: pada satu sisi mengukuhkan identitas Islam, meski aspek musikal, tonal ataupun substansinya tumpang tindih, yakni tidak selalu Arab dan tidak selalu Islam, hanya sering kali terkesan keduanya. Namun di lain sisi, diperebutkan oleh ekspresi lokal yang cukup lama tertahan oleh kewibawaan religius.

Agar dorongan ekspresi lokal bisa terfasilitasi dan wibawa religius tetap terjaga, maka dibutuhkanlah ruang alternatif yang mampu mendamaikan keduanya. Di akar rumput, ada saja santri yang berkreasi mengkombinasikan sholawat, gitar dan ketukan lokal. Di tataran meso, sholawat langgam Jawa menjadi track wajib dalam pagelaran grup sholawat besar seperti grup Qudsiyyah ataupun grupnya Habib Syech. Di puncak tertinggi, ada grup Ki Ageng Ganjur sebagai ruang alternatif.

Berbeda dengan kalangan pesantren yang lebih lentur terhadap unsur lokal, kalangan muslim non-pesantren, kelompok urban khususnya, cederung lebih lentur terhadap unsur pop. Maher Zain, Mesut Kurtis dan Nisa Sabyan adalah beberapa penyanyi yang cukup menggema di kabin mobil, pusat perbelanjaan, ataupun teaserteaser acara Islami.

Nama-nama tersebut adalah themesong puncak kedamaian antara keamanan finansial dan keamanan akhirat. Di bulan puasa, atau di momen menjelang lebaran, nyanyian-nya beriringan dengan hasrat konsumerisme yang tumpah di pusat perbelanjaan, ataupun dengan potret kemiskinan yang menggugah iman dan keinginan bersedekah.

Kontras dengan situasi urban, beberapa daerah yang masih kental adatnya, muatan Islam dan Arab meresap kedalam spontanitas musik lokal: Di Aceh misalnya, ada Rateup Maseukat; di beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, Zafin dan Gambus Melayu cukup populer dimainkan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan misalnya.

Namun tiga konteks musikal yang telah disebutkan di atas punya masalah yang berbeda satu-sama lain bila salah satunya dijadikan musik yang merepresentasikan Islam. Musik yang ada dilingkungan pesantren, boleh jadi punya subtansi yang sangat Islam dan menghimpun spontanitas yang cukup menyegarkan. Namun, di saat yang sama, resonansinya tidak cukup universal untuk menyentuh kalangan yang akar lokalnya beda, dan tidak cukup berkembang struktur bangunan melodinya.

Berbeda dengan itu, musik-musik yang berpusar dalam kehidupan muslim non-pesantren kiranya perlu dipertanyakan pantas atau tidaknya untuk dijadikan representasi ‘musik Islam,’ mengingat ibu kandungnya berasal dari industri kapitalistik berbasis penyeragaman, yang kering dari ketulusan dan spontanitas.

Sementara itu, musik Islami kedaerahan mungkin punya ketulusan dan spontanitas yang jernih, dan punya struktur bangunan melodi dan kualitas lirik yang tak bisa disamakan satu sama lain. Namun, karakternya yang demikianlah membuat musik jenis ini kesulitan untuk menyentuh relung manusia secara universal.

Dengan kata lain, ada kekurangan mendasar umat Islam dalam mencari identitas musikalnya: kualitas lirik, struktur bangunan melodi, dan spontanitas jarang hadir secara bersamaan dalam sebuah musik yang dianggap Islami. Dalam kasus musik kedaerahan, masalah ini menjadi pengecualian tersendiri karena ruang kebertubuhannya yang khas.

***

Aura estetika musik, pada satu sisi, memang subjektif. Tiap individu punya preferensi yang berbeda untuk melabeli mana musik yang ‘enak’ dan ‘tidak enak.’  Namun di lain sisi, kiranya representasi Islam macam apa yang kita inginkan kalau bobot layak atau tidaknya sebatas diukur berdasarkan subjektifitas permukaan dan mengabaikan unsur sastrawi lirik, struktur bangunan melodi, teknik bermain dan spontanitas?

Di Kristen, Johann Sebastian Bach menjadi ikon tersendiri yang mampu memenuhi empat unsur tersebut sehingga nilai-nilai kristiani dapat diterjemahkan ke ‘bahasa’ yang lebih universal, netral dan menembus relung manusia yang berbeda. Weihnachtsoratorium BWV 248 milik Bach misalnya, adalah akumulasi dari puncak rohaninya sebagai cantor, atau ‘imam’, di Gereja St. Thomas, dan puncak musikalnya setelah mengeksplorasi beragam gaya musik Inggris, Italia dan Jerman.

Dalam Weihnachtsoratorium, pendengar akan menemukan bagaimana unsur sastra, teologis, struktur melodi dapat saling dipertautkan secara sistematis, namun tak terasa hambar bila dinikmati secara terpisah.

Akan tetapi, Bach tidak hanya meninggalkan sesuatu yang semata bersifat ‘estetik-religi.’ Karya akhir hayatnya, Die Kunst der Fuge BWV 1080, adalah peninggalan ‘teoritik-strtuktural’ yang menghimpun serangkaian pengembangan sebuah frase melodi dalam variasi-variasi struktur yang berbeda.

Satu frase melodi inti ditumpuk sebanyak dua hingga empat lapis di interval nada yang berbeda, sehingga menghasilkan frase-frase baru dari irisan antar lapisan. Die Kunst der Fuge BWV 1080 dianggap sebagai komposisi matematis sekaligus ekspresif.

Karya ini menjadi warisan seminal yang berpengaruh terhadap musik-musik setelahnya. Yang paling teranyar, komposer Jerman, Reinhard Febel merancang 18 musical studies berbasis dari Die Kunst der Fuge milik Bach. Dalam 18 studies-nya, Febel mengeksplorasi variasi melodis dan struktural apa saja yang mungkin dilakukan melalui warisannya Bach. Dengan kata lain, ada proses ‘komentar’ musikal yang berpengaruh terhadap pengembangan suatu musik.

Di dunia Islam, upaya penciptaan musik dengan kualitas serupa masih terputus dan terserak. Sekitar periode Umayyah dan Abbasiyah, upaya pencarian struktur dan teori musik pernah dilakukan oleh nama-nama seperti Al Farabi dan Safiyuddin Al Urmawi dengan menelaah tradisi musik Yunani dan kekayaan musik lokal.

Pada periode ini, tonal kedaerahan (seperti mana tonal Persia, mana tonal Mesir, Maghribi, dan mana tonal Byzantine) mulai diklasifikasi dan di tempatkan pada sistem komposisi tertentu, sehingga memungkinkan untuk diturunkan menjadi format-format musik tertentu yang pas untuk keperluan eksistensial ataupun sosial tertentu.

Akan tetapi, tradisi pembakuan yang seperti itu agaknya kini kurang diperhatikan dan dilestarikan di masyarakat umum ataupun di kalangan pemimpin agama, dan cenderung terkonsentrasi pada universitas ataupun konservatori―khususnya yang ada di area Timur Tengah dan Eropa.

Warisan musik yang telah dibakukan di zaman keemasan Islam kini justru lebih banyak dirangkul berdasarkan latar belakang etnisitas dan kebangsaan, dibanding keagamaan. Tahun 2019 kemarin, Jordi Savall, pengaba dari Spanyol, bersama anggota grupnya yang berasal dari negeri-negeri mediterania, termasuk Israel, merilis album hasil musikalisasi pagelaran yang berjudul Ibn Battuta: The Traveler of Islam. Isinya adalah himpunan musik-musik lokal dari negeri-negeri yang pernah disinggahi Ibnu Battuta, dan disponsori oleh Kementerian Kebudayaan Spanyol.

2 tahun sebelumnya, 2017, musisi yang sama juga merilis album yang berjudul Jerusalem: La Ville des deux Paix, menghimpun pluralitas musikal yang ada di Tanah Suci, baik yang berasal dari tradisi Yahudi, Kristen dan Islam. Beberapa melodi populer yang kita anggap Islami, justru sebenarnya adalah identitas bersama yang juga dipeluk oleh orang Yahudi dan Kristen di Jerusalem.

Dua album tersebut menyiratkan dua kenyataan pahit. Pertama, perhatian terhadap upaya pelestarian budaya ‘nenek moyang’ justru lebih banyak diberikan oleh mereka yang secara identitas umumnya diantagonisasi oleh umat Islam itu sendiri (misalnya label ‘barat’,yahudi’, dll). Kedua, fanatisme kita terhadap apa-apa yang ‘Arab’ dan yang ‘Islam’ ternyata bertentangan dengan riwayat historis, yang ternyata, baik itu Kristen, Yahudi ataupun Islam saling berbagi dan bertukar tradisi dan kemanusian.

Musik adalah kombinasi dari ketelitian matematis dan kepekaan eksistensial atas kehidupan sekitar. Keduanya saling memengaruhi bagaimana suatu lagu dapat menembus relung terdalam manusia secara universal. Itu sebabnya, kadang orang yang didera kenestapaan―meskipun ia buta teori musik―(apapun sebabnya, entah genosid, putus cinta, perjalanan penuh sial, dll) dapat menyampaikan kesedihannya kepada orang lain yang berbeda lewat musiknya.

Sementara itu, unsur matematika dalam musik sangat menentukan struktur harmoni dan struktur frase. Kompleksitasnya mencerminkan maju atau tidaknya tradisi bermusik yang dimiliki seseorang/kelompok, karena kompleksitas dalam musik adalah representasi dari kekayaan imajinasi yang dimilikinya.

Musik yang merepresentasikan Islam akan dapat ditemukan kalau: tali tradisi bermusik masa lalu disambung ulang dan dikembangkan; dan kalau kepekaan eksistensial umat Islam terasah. Musik Islami masa kini, sebagian umumnya berasal dari semangat industri hiburan dan keterpaksaan beribadah (akibat nalar reward and punishment), hanya sebagian kecil musik Islami yang lahir dari ketulusan ekspresi yang tak mengharap apa-apa. Artinya, ia spontan begitu saja karena tenggelam dalam ekstasi perasaannya.

Masalah selanjutnya adalah tinggal bagimana ketajaman matematis dan kepekaan eksistensial tadi diterapkan pada beberapa jenis musik yang punya tujuan yang berbeda. Acara liturgi seperti Marhabanan misalnya, dapat dijadikan wahana eksperimen untuk mengasah ketajaman matematis dan kepekaan eksistensial. Marhabanan selama ini cenderung dipandang sebatas rutinan keagamaan, bukan sebagai wahana kultural. Sehingga, potensinya untuk membuka bebagai variasi musikal justru terkungkung pada ketukan yang itu-itu saja.