Abah Kirun, pelawak legendaris asal Jawa Timur, melempar guyon sederhana dalam sebuah acara seminar dengan tajuk yang cukup berat: “Menjawab Tantangan Zaman dengan Menjadi Manusia Seutuhnya”.
Kata Abah Kirun, “Lho, lha memang sejak kapan manusia kok ndas tok (cuma kepala)?” Disambut gerrrr para hadirin.
Selain menjalani tugas melawak untuk mencairkan suasana seminar yang cenderung tegang dan serius itu, saya yakin Abah Kirun sebenarnya sedang melempar pancingan kepada peserta seminar tentang tajuk tersebut.
Seperti yang pernah disampaikan oleh guru saya, bahwa menemukan definisi manusia yang utuh bukanlah pekerjaan mudah, untuk tidak menyebutnya pencarian tanpa ujung. Maka, melalui bit manusia kok ndas tok (cuma kepala) tadi, Abah Kirun ingin membawa kita pada pertanyaan pokok dan mendasar: Menjadi manusia seutuhnya, yang utuh itu, yang seperti apa?
Apakah manusia seutuhnya berarti yang pintar akal rasionya dan paling intelek? Ataukah yang utuh itu yang kaya lalu membawa maslahat buat sekitarnya? Ataukah mereka yang secara rohani memiliki kedalaman spiritual sehingga membawa kedamaian untuk sekitar? Atau mungkinkah yang paling moncer karir dan jabatannya? Atau gabungan dari kesemuanya?
Anda tidak perlu berharap-harap menjadi kemungkinan yang terakhir itu karena pilihan itu saya ada-adakan saja. Kalaupun beneran ada, apa ya Anda mampu? Wong membayangkan jadi satu di antara segala kemungkinan itu saja kita belum bisa, apalagi kok nekat mau semua.
Sebenarnya konstruksi tentang manusia seutuhnya bisa berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Latar belakang, kondisi dan keadaan terkini, keluasan wawasan, karakter kepribadian, serta segala potensi pada setiap pribadi sudah tentu tak sama, sehingga bentukan gambaran tentang manusia ideal masing-masing akan berbeda. Ini sangat wajar.
Namun pada ranah kolektif, seperti halnya tajuk seminar di atas, maka kebenaran dan pemahaman pada masing-masing pribadi harus ditemukan kesejajarannya untuk menjadi pemahaman bersama.
Tentu saja pemahaman kolektif tidak dalam rangka menggugurkan pemahaman pribadi. Setidaknya, melalui usaha pencarian dan penggalian pemahaman bersama itu kita akan semakin mendekat pada pemahaman dan kebenaran yang paling hakiki.
Pada konteks manusia ideal, atau menjadi manusia seutuhnya yang sedang kita kupas ini, kebenaran yang paling benar tentangnya adalah milik Allah. Sekalipun kita yakin pada versi kita sendiri.
Pada ranah itu, kebenaran mengenai manusia bisa dilacak melalui informasi yang ‘dibocorkan’ Tuhan melalui berbagai ayatNya. Salah satu yang paling mudah tentu melalui firman yang tersampaikan melalui RasulNya.
Manusia dalam konteks Qur’an, adalah sebaik-baik ciptaan. Misalnya, Laqod kholaqna al-insaana fii ahsani taqwiim. Ini adalah potensi. Potensi itu berangkat dari fakta bahwa manusia dikaruniai akal sehingga bisa mengelola berbagai macam urusan dan ‘lebih powerful’ dibanding makhluk lain, untuk mejadi sebaik-baik ciptaan.
Sebaliknya, perlu kita ketengahkan, bahwa dengan akal pun manusia bisa terperosok pada keadaan asfala safiliin, jatuh pada serendah-rendahnya tempat. Artinya, akal sebagai kelengkapan manusia, masihlah berupa potensi. Meskipun, tetap kita sepakati bahwa akal adalah satu variabel yang menjadikan makhluk berjalan tegak yang dinamai manusia.
Pada cakupan yang lain, Tuhan juga mengatakan bahwa manusia adalah hambaNya. Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Tak tercipta jin dan manusia, kecuali untuk beribadah, mengabdi, menghamba pada Tuhan penciptanya. Barangkali justru inilah posisi manusia. Kesadaran bahwa dia bukan pusat semesta, dan justru gedibalnya ‘Kekuatan yang Maha Kuasa’ adalah jalan manusia menjadi manusia.
Dari keduanya seolah kita menemukan dua arah berlawanan atas apa yang Tuhan sematkan pada diri manusia. Pada satu sisi Tuhan memberi keleluasaan manusia dengan segala kelengkapan akalnya untuk menjadi makhluk versi terbaik. Namun di sisi sebaliknya, justru tidak muluk-muluk, manusia dikehendakiNya cukup untuk mengabdi.
Barangkali dengan menemukan akurasi dan keseimbangan antar keduanya lah, manusia bisa menuju titik paling berat. Inni ja’ilun fil ardhi khalifah. Dijadikannya dia sebagai khalifah: pengelola, penyelenggara, dan pada beberapa definisi lain diartikan pula sebagai wakil Tuhan di Bumi.
Jadi gimana? Bisa nggak sih kita menjadi manusia yang lengkap sebagai sebaik-baik pengguna akal, yang sadar posisi sebagai hamba, sehingga pantas dan berkualitas untuk mengelola bumi menjadi harmoni. Gitu kan, arti manusia utuh itu?
Maaf endingnya malah jadi saya yang bertanya. Soal isi seminar tadi, saya nggak tahu apa isinya. Lha yang saya simak Cuma lawakan Abah Kirun saja.