Rezim penggusuran Gubernur Jakarta Ahok justru telah menyediakan kesempatan besar bagi kelompok garis keras Islam, seperti ditulis oleh Ian Wilson.
Di sebuah kota dimana demonstrasi menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari, rencana aksi demonstrasi pada 4 November 2016 di Jakarta mestinya tidak terlalu istimewa.
Rencana aksi demonstrasi ini telah mendominasi pemberitaan media di minggu-minggu terakhir, khususnya yang terkait dengan kemungkinan meletusnya kekerasan selama aksi tsb. Ini yang kemudian membawa Presiden Joko Widodo mengunjungi Prabowo Subianto, mantan musuhnya saat pemilihan presiden 2014, dalam rangka mengurangi kemungkinan ketegangan yang bakal terjadi selama aksi. Foto mereka berdua berada di atas sadel kuda menjadi headline pemberitaan. Sementara itu, para tokoh senior TNI berspekulasi kemungkinan lahirnya “Arab Spring”, merujuk pada demonstrasi besar yang berlangsung di Timur Tengah yang mampu menurunkan rejim penguasa. Analis lain mengingatkan kemungkinan aksi ini disusupi oleh para simpatisan ISIS.
Diorganisir oleh FPI, bersama dengan kelompok garis keras Islam lain, demonstrasi tanggal 4 November 2016 ini akan menjadi demonstrasi kedua dalam beberapa bulan terakhir yang menuntut penangkapan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang konon dianggap telah menghina ayat suci Al Quran.
Nada retorika yang muncul di sekitar aksi demonstrasi sudah begitu sangat mengerikan. Tuduhan penistaan agama telah bertumpuk dengan pidato-pidato penuh kebencian dengan nada rasis. Gubernur merupakan keturunan Tionghoa beragama Kristen. Berbagai spanduk berisi materi kekerasan etnis telah terpasang di seluruh kota, seolah mengembalikan ingatan perih tentang kekerasan yang menimpa keturunan Tionghoa pada 1998. Pilkada gubernur pada Februari 2017 tahun depan tampaknya dipenuhi kampanye yang penuh sekretarianisme.
FPI bukan lah pendatang baru dalam tipe politik seperti ini. Sepanjang 16 tahun terakhir, organisasi ini telah sangat menguasai dalam memanfaatkan beragam ketegangan sosial dan ekonomi, dan kemudian menginjeksinya dengan aroma sektarian.
Ancaman kekerasan terhadap kelompok minoritas lain seperti Ahmadiyah, kelompok Kristen Batik, LGBT, dan Muslim Syiah juga sudah lama berlangsung. Di tahun 2001, FPI memprotes pencalonan Presiden Megawati yang dianggap dilarang oleh ajaran Islam untuk menjadi presiden, karena ia seorang perempuan.
Campuran antara isu-isu berisi politik adu domba, dengan menggunakan moral sebagai alat pukul dan pemerasan, cara premanisme jalanan, dan bersamaan dengan itu “kegunaan” FPI bagi para elit politik, telah memungkinkan organisasi yang sebenarnya kecil (dibandingkan dengan organisasi Islam besar lain seperti NU dan Muhammadiyah) untuk meninju lebih kuat ketimbang kemampuan aslinya. Kehebohan yang mengiringi demo ini, terlepas dari apapun yang akan terjadi nanti, akan dilihat sebagai keberhasilan promosi yang tak ternilai bagi FPI.
Tetapi, apa yang dapat menjelaskan meningkatnya jumlah warga miskin dan kelas pekerja di Jakarta bergabung dalam aksi jalanan yang diorganisir oleh FPI demi melawan gubernur? Beberapa analis mengargumentasikan ini disebabkan karena telah meningkatnya intoleransi dan ekstrimisme agama yang dibiarkan merajalela oleh pemerintah, dengan asumsi ketakutan akan “Islamic backlash” (pukulan balik dari kekuatan Islam). Atau sebagaimana yang diargumentasikan oleh ahli lain, aksi demonstrasi ini hanyalah kasus elit politik yang memobilisasi massa sebagai bagian dari strategi menjelang Pilkada Februari 2017 mendatang.
Kedua argumen besar di atas tidak bisa sepenuhnya diabaikan. Namun demikian, perlu mempertimbangkan konteks-konteks Jakarta yang spesifik yang dapat menjelaskan aksi demonstrasi ini. Sejak 2014, saat Ahok menjadi gubernur, sampai saat ini, dia telah melakukan penggusuran paling massif dalam sejarah modern kota Jakarta.
Data statistik yang dapat dipercaya menyebutkan angka korban yang tak bisa diabaikan. Data yang dikumpulkan oleh LBH Jakarta memperkirakan lebih dari 16.000 warga miskin dan kelas pekerja beserta keluarga mereka yang tergusur dalam dua tahun terakhir. Hanya 30% telah mendapat rumah pengganti yang disediakan oleh pemerintah provinsi. Selain itu, dampak sosial dan ekonomi penggusuran sangat buruk bagi warga miskin dan kelas pekerja Jakarta.
Kebijakan penggusuran ini sangat populer di kalangan kelas menengah Jakarta. Mereka menilai kebijakan ini sebagai upaya yang tak bisa ditawar lagi dalam menanggulangi banjir, kemacetan, dan ketakpatuhan warga miskin terhadap hukum.
Apa yang gagal dilihat oleh publik, atau mungkin diabaikan, adalah kemarahan dan kekecewaan yang dihasilkan dari pelaksanaan rejim kebijakan ini. Kemarahan ini telah menyebar melebihi para korban, keluarga besar mereka, teman, komunitas, dan jaringan sosial dan kultural.
Tidak mengejutkan, kemarahan ini membutuhkan saluran pelampiasan.
Ketika Ahok turun ke lapangan, di Penjaringan, Jakarta Utara, ia dilawan oleh ratusan anak muda yang melempar batu. Beberapa mereka berteriak “Allahu Akbar”, tapi sentimen yang muncul dari teriakan itu bukan lah ekstrimisme agama. Teriakan itu merupakan bentuk solidaritas terhadap teman dan tetangga yang telah kehilangan rumah akibat penggusuran. Seorang remaja menjelaskan apa yang ia lakukan pada saya: “Saya termotivasi (melempar batu) karena separuh dari teman kelas saya tidak punya rumah lagi gara-gara Ahok. Oleh karena itu Ahok tidak bisa kami terima di sini.”
Anak-anak muda yang sama yang datang pada demonstrasi bulan Oktober 2016 tsb, dan menuntut Ahok ditangkap, akan mungkin datang ke demonstrasi 4 November 2016.
Beberapa kelompok warga sekarang turun ke jalan melawan gubernur dengan menggunakan spanduk yang disediakan oleh FPI dan kelompok Islam garis keras lain. Mereka adalah warga yang dua tahun sebelumnya adalah para pendukung gubernur. Mereka juga lah yang menjadi korban penggusuran paksa.
Kelompok-kelompok agama garis keras dan kelompok reaksioner lain makin dekat satu sama lain, dan telah membentuk kelompok oposisi melawan Ahok, khususnya di kalangan warga miskin dan kelas pekerja Jakarta. Menguatnya relasi mereka disebabkan juga karena tidak ada saluran alternatif yang tersedia bagi warga miskin dan kelas pekerja (untuk menyalurkan kemarahan mereka).
Sejak Jokowi menjadi presiden, intelektual publik dan aktivis kelas menengah mengabaikan perjuangan warga miskin Jakarta. Organisasi keagamaan besar yang dikenal seperti NU juga lebih banyak berdiam diri, lepas dari keanggotaannya yang sangat besar di Jakarta Utara, khususnya di kalangan warga korban penggusuran.
Harapan terakhir bagi banyak warga kampung adalah partai yang mengklaim diri sebagai partainya orang kecil, yakni PDI Perjuangan. Ketika partai ini justru mendeklarasikan dukungan pada Ahok, kekecewaan dan frustrasi warga kampung makin menguat.
Kesan impunitas gubernur, sebagaimana yang ia lakukan dalam mengabaikan status hukum korban penggusuran Bukit Duri, telah memperbesar persepsi bahwa gubernur adalah hukum itu sendiri. Dalam konteks ini, teori konspirasi tentang keterlibatan sekelompok kecil pengembang (developer) keturunan Cina dalam beragam proyek di Jakarta seperti menemukan lahan subur untuk tumbuh. Kabar tentang tindakan gubernur yang konon menghina Al Quran, adalah hal terakhir yang tak dapat lagi ditoleransi.
Tanpa suara dan tanpa organisasi warga yang kuat untuk warga yang terpinggirkan akibat kebijakan Ahok, pintu telah terbuka lebar bagi kelompok Islam garis keras. Dan kelompok garis keras ini telah memanfaatkan kesempatan ini.
Bagi para konsultan politik di belakang Ahok, ini semua tampak sebagai tindakan “radikalisasi” melawan Ahok. Bagi mereka, apa yang akan berlangsung pada 4 November bukan sesuatu yang buruk. Momentum ini seolah membuktikan pada kalangan kelas menengah bahwa mereka yang beroposisi pada Ahok dilatari semangat sekretarian, bukan pada kepedulian yang mendalam atas dampak kebijakan Ahok. Selain itu, aksi 4 November seperti mengkonfirmasi bahwa warga miskin dan kelas pekerja Jakarta adalah kelompok yang berbahaya dan berwatak tidak liberal
Debat publik tentang dampak kebijakan penggusuran atau aspek legal dari proyek reklamasi Teluk Jakarta telah, selama beberapa saat, menghilang sepenuhnya. Manajer kampanye Ahok, Ruhut Sitompul, yang juga merupakan tokoh senior organisasi preman Pemuda Pancasila menyatakan bahwa para demonstran yang melakukan aksi penistaan agama, adalah tim sukses Ahok.
Apapun yang muncul dari demonstrasi 4 November, kemarahan warga miskin ibukota dan pelabelan buruk terhadap mereka, akan tetap ada. Perlunya ada kesediaan untuk mendengar mereka. []
Ian Wilson adalah dosen politik dan kajian keamanan, juga peneliti di Asia Research Centre, Universitas Murdoch, Australia
(Naskah diterjemahkan dengan ijin penulis). Link tulisan asli ini berjudul Making enemies out of Friends.