Terus terang, saya salut dengan solidaritas netizen untuk Bintang Emon—seorang komedian—yang telah terimbas serangan dari sejumlah akun anonim setelah menyindir proses persidangan kasus Novel Baswedan. Melalui instagram, Bintang Emon mengemas komentar yang sangat kritis menggunakan bahasa jenaka sehingga kritik tersebut bisa membuat orang tertawa sembari misuh-misuh.
Dan saya setuju seratus persen bahwa proses pengadilan kasus Novel Baswedan ini menggeramkan!
Lebih menggeramkan lagi, mengapa ada akun Twitter yang tiba-tiba menggiring opini bahwa Bintang Emon suka nyabu, segera setelah kritik itu muncul di media sosial?
Pertanyaan kuncinya: benarkah yang menyerang Bintang Emon adalah–sebagaimana diduga banyak pihak—buzzer pemerintah?
Jika kita melihat banyak postingan dengan kata kunci ‘Bintang Emon’, kesimpulannya sebagian besar ke sana. Namun satu kemungkinan saja tidak cukup. Dalam memahami dunia per-buzzer-an kita mesti memiliki alternatif kemungkinan agar tidak terjebak dalam kubangan kemarahan.
Di titik ini saya setuju dengan Ernest Prakarsa—komedian dan sutradara film—yang memilih bersikap cool, sembari fokus pada dukungan terhadap Bintang Emon.
Kenapa? Karena yang sedang kita hadapi adalah politik tingkat tinggi. Bagi antum yang pernah ikut pemilihan ketua BEM pasti tahu bagaimana tensi panasnya proses pemilihan. Di beberapa kampus sampai lempar kursi. Ada juga yang sampai tusuk-tusukan.
Itu ‘cuma’ BEM yang keuntungannya biasanya dikasih jatah seminar sama senior yang politikus. Sementara yang sedang kita hadapi ini bosnya pemberi uang seminar, je. Tentu diperlukan kecerdasan buatan tambahan agar kita tidak jadi pion gratisan.
Apalagi kalau kita mengaku umat Nabi, duh malu sekali kalau sampai dibodohi.
Di zaman Nabi, kasus hoaks pun pernah terjadi. Ceritanya, Nabi mendapat laporan dari Haris bin Utbah bahwa Bani Mustaliq enggan membayar pajak. Sebabnya, Haris yang diperintahkan menarik pajak, sebelum memasuki kawasan itu, tiba-tiba melihat Bani Mustaliq berkerumun. Ia pun berasumsi akan diserang, lalu putar balik dan melapor ke Nabi tentang ‘peristiwa’ yang dialaminya.
Bagaimana Nabi bertindak? Nabi meminta sahabat Khalid bin Walid untuk mengecek. Usut punya usut, ternyata itu kesalahanpaham belaka. Sebenarnya, penduduk Bani Mustaliq sedang menunggu utusan Nabi yang akan mengambil pajak. Kalau saja tidak dicek, bisa jadi berkobar peperangan akibat kesalahan informasi ini.
Peristiwa ini menjadi latar turunnya ayat Al-Quran tentang hoaks, yaitu Al-Hujurat ayat 6.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya (klarifikasi dan verifikasi), agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Quran meminta kita untuk mengklarifikasi atau memverifikasi sebuah kabar. Di era digital, kerumitannya memang bertambah. Tapi sekaligus membawa kemudahan yang tidak bisa ditemukan di zaman dahulu.
Kita bisa cek siapa pembuat informasi itu. Kalau akunnya terverifikasi, tinggal kita cek ideologi politik dan track record-nya selama ini. Menjadi bagian dari buzzer pemerintah atau yang melawan?
Tetapi kalau akunnya tidak dikenal, hanya punya sedikit followers dan baru menetas beberapa hari yang lalu, ya eman banget energi yang harus kita keluarkan untuk menanggapinya.
Bisa saja akun tersebut adalah srigala kelaparan yang belum punya tuan pemberi makan. Bisa jadi dia memiliki dua jenis akun, akun pembenci pemerintah dan akun pembela pemerintah. Who knows? Bagi saya, pilihannya report atau abaikan!
Nah, bagaimana dengan kasus Bintang Emon? Siapa yang pertama kali memberi tuduhan padanya? Siapa pula yang pertama kali menanggapi tuduhan padanya? Dari sini kita bisa mencari sedikit titik terang.
Namun sayangnya akun yang disebut mula-mula menyebar hoaks @Tiara61636212 statusnya suspended. Artinya, ada banyak yang melakukan report terhadap akun tersebut. Dan memang seharusnya begitulah yang bisa kita lakukan sebagai netizen budiman. Tak perlu memperkeruh narasi yang membuat buzzer berbayar hanya ketawa-ketiwi karena berhasil mengorkestrasi kebencian pada kelompok yang entah memang terlibat dalam produksi hoaks ini.
“Tapi kan kita harus bela…”
Yup, betul. Setuju. Sepakat. Kita harus bersolidaritas terhadap Bintang Emon dan siapa saja korban cyber-bullying. Poin saya, jangan sampai kita bertindak dengan emosi. Itu hanya menghabiskan energi.
Meladeni buzzer dengan narasi ala buzzer membuat kita jadi buzzer yang tidak diupah sebagaimana buzzer. Rugi, dong? Banget! Sudah rugi energi untuk marah, rugi pula untuk kebencian yang menular dan kita tularkan pada orang lain.
Eh, wait. Tapi sebenarnya kita sudah sepakat apa belum sih tentang siapa itu buzzer? Bagi saya, buzzer adalah penebar benci. Posisinya bisa menclok di mana-mana. Bisa di pemerintah, di oposisi, atau di posisi lain yang tak kasat mata. Setuju?
Nah, setiap buzzer selalu mengatakan dirinya sedang membela kebenaran. Kita cek diri kita, apakah kita sedang membela kebenaran dengan menebar kebencian? Kalau iya, ya buzzer. Udah buzzer, gratisan! Hadeuh.