Para ulama terdahulu (salaf) pada umumnya memiliki sikap istiqomah dalam melakukan amalan-amalan tertentu, termasuk membaca Al-Qur’an. Biasanya mereka memiliki kebiasaan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dalam jangka waktu tertentu. Lalu, bagaimana sebenarnya kebiasaan mereka dalam mengkhatamkan Al-Quran?
Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam at-Tibyan fi Adabi Hamalat al-Qur`an menuliskan beberapa kebiasaan para ulama salaf dalam mengkhatamkan Al-Qur’an. Di antara mereka ada yang khatam Al-Qur`an dalam dua bulan sekali, sebulan sekali, sepuluh hari sekali, seminggu sekali, tiga hari sekali, dan bahkan ada yang mampu mengkhatamkan hanya dalam waktu sehari.
Di antara mereka yang memiliki kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu sehari adalah khalifah Utsman bin Affan, Tamim ad-Dari, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Muhammad bin Idris as-Syafi’i, dan masih banyak yang lainnya. (An-Nawawi, at-Tibyan, h. 59) Namun, masih terdapat kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur’an yang lebih sering dari sekali dalam sehari.
Kebiasaan itu dimiliki oleh salah seorang qadhi (hakim) di Mesir pada masa pemerintahan bani Umayyah yang bernama Salim bin Umar. Abu Bakar al-Kindi meriwayatkan dalam kitabnya Qudhat Misr (hakim-hakim Mesir), sebagaimana dikutip an-Nawawi, bahwa sang hakim mampu mengkhatamkan Al-Qur`an hingga empat kali dalam sehari. (An-Nawawi, at-Tibyan, h. 60)
Berbagai kebiasaan tersebut menunjukkan betapa intensnya interaksi yang dilakukan oleh para ulama salaf dengan Al-Qur’an. Meski demikian, sebagian kelompok ulama salaf menghukumi makruh mengkhatamkan Al-Qur`an dalam sehari. Dalil yang mereka gunakan adalah sebuah hadis shahih dari sahabat ‘Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِيْ أَقَلِّ مِنْ ثَلاَثٍ (رواه أيو داود و الترمذي والنسائي وغيرهم)
Tidak dapat memahami (bacaan) seseorang yang membaca (mengkhatamkan) Al-Qur`an dalam waktu kurang dari tiga (hari).
Rasulullah yang notabene penutur bahasa Arab pun memperingatkan agar tidak terlalu terburu-buru dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, agar pembaca mampu memahami bacaan Al-Qur’an. Meski demikian, bagi yang memang tetap mampu memahami bacaan Al-Qur’an yang dibaca serta mampu membaca dengan lancar sesuai tuntunan, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Karena memang terdapat orang-orang yang dianugerahi keistimewaan seperti itu.
Namun, bagi Imam an-Nawawi, mereka yang memiliki kecerdasan lebih dianjurkan untuk tidak terlalu sering mengkhatamkan Al-Quran, agar pemahaman yang ia peroleh atas bacaannya menjadi lebih dalam. Hal ini juga berlaku bagi para kyai maupun ustadz yang memiliki tanggung jawab menyebarluaskan ilmu serta berbagai kepentingan agama dan kemaslahatan umat. (an-Nawawi, at-Tibyan, h. 61) Pendapat Imam an-Nawawi tersebut barangkali dilandasi kekhawatiran akan terabaikannya urusan umat ketika kyai atau asatidz tersebut hanya sibuk dengan membaca Al-Qur’an.
Berbagai kebiasaan ulama salaf yang telah disebutkan dapat menjadi teladan bagi kita semua. Yang jelas, mengkhatamkan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, tidak perlu terburu-buru hingga mengabaikan kaidah-kaidah membaca yang berlaku, karena mengkhatamkan Al-Quran bukanlah ajang balapan. Wallahu a’lam. (AN)