Dalam tulisan sebelumnya, peta jejaring dan relasi aktor dalam wacana nasionalisme di ruang digital telah diuraikan. Hasilnya, corak penafsiran nasionalisme islamik dan nasionalisme kebangsaan ternyata merupakan dua corak penafsiran yang paling menghidupi perdebatan publik kita tentang konsep dan arah ‘nasionalisme’ di Indonesia.
Saya melihat, idealnya, perdebatan publik kita tentang nasionalisme seharusnya tidak sedikotomis ini. Misalnya, di tahun 1981, jauh sebelum kita punya cukup teknologi untuk melihat kesemrawutan wacana daring, Gus Dur pernah menawarkan embrio ‘corak penafsiran’ nasionalisme yang lebih memadai dibandingkan corak penafsiran nasionalisme yang sebagaimana mendominasi perdebatan ruang digital kita saat ini. Dalam tulisannya yang bertajuk Nilai-Nilai Indonesia: Apakah Keberadaannya Kini? (Prisma, No.11 Nov, 1981), Gus Dur menulis:
“… kedudukan mereka sebagai kritikus sosial menuntut dari mereka kesediaan untuk mengemukakan penyakit-penyakit utama dalam kehidupan bangsa dalam ungkapan setajam mungkin. Tanpa kemampuan melakukan hal itu, mereka akan kehilangan relevansi dalam kehidupan intelektual bangsa. … yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau. Kita dapat saja menamainya pencarian harmoni, …”
Tanda-tanda hidupnya corak penafsiran nasionalisme transformatif yang diusulkan Gus Dur nampak belum terlihat mewarnai kekusutan jejaring Social Network Analysis (SNA) hari ini. Menurut hemat penulis, ada dua kemungkinan kenapa nasionalisme transformatif tidak terlihat dalam kekusutan jejaring SNA soal isu nasionalisme:
Pertama, bisa jadi, nasionalisme transformatif sebenarnya ada dan hidup, namun berada pada isu-isu yang tidak menjadi sorotan bagi dua jenis nasionalisme lainnya. Sehingga, nasionalisme transformatif tidak terekam oleh SNA dengan kata kunci nasionalisme (baca analisisnya di sini). Kedua, bisa jadi, hidupnya nasionalisme transformatif justru berada pada kantong-kantong gerakan sosial tertentu yang sering dipandang sebelah mata, dan tidak punya cukup nafas panjang untuk bertahan. Sehingga, hidupnya nasionalisme transformatif justru bernasib kembang-kempis tanpa pernah bisa benar-benar meraih capaian diskursif ataupun capaian kongkrit.
Nasib yang sangat berbeda dapat terlihat sebagaimana nasionalisme islamik dan nasionalisme kebangsaan memenuhi wacana daring.
Pada Gambar 1, kata yang ukurannya lebih besar adalah kata yang lebih mendominasi dibanding kata-kata lain yang ukurannya lebih kecil. Potret SNA menujukkan bahwa nasionalisme kita tidak jauh-jauh dari UUD, NKRI, Islam, Demokrasi, TNI-POLRI, Khilafah, Komunis, PKI, HIP, Ideologi, FPI, Cina, dan sejenisnya.
Soal nasionalisme kebangsaan, jika mengingat kasus Papua, kasus Ravio Patra, dan kasus tiupan desas-desus bahwa kelompok anarko akan melakukan penjarahan se-Jawa. Maka, sikap skeptis sangat diperlukan untuk menimbang apakah nasionalisme kebangsaan berpihak pada ‘pencarian tak berkesudahan’ terhadap perubahan sosial? Atau berpihak pada sebatas praktik nasionalisme dangkal yang lebih mengedepankan ‘simbol’ dibanding esensi dan sesibilitas sosial?
Soal nasionalisme islamik, jika mengingat manuver play-victim, dan mengingat sikapnya yang tidak pernah menawarkan mekanisme penyelesaian masalah sosial secara kongkrit. Maka, sikap skeptis sangat diperlukan untuk menimbang apakah nasionalisme islamik benar-benar cukup dewasa dan kompeten untuk mengayomi kebinekaan Indonesia? Dan apakah nasionalisme islamik berpihak pada ‘pencarian tak berkesudahan’ terhadap perubahan sosial? Atau berpihak pada modus teokratik partisan yang mengawang-awang?
Nasionalisme kebangsaan, akhir-akhir ini kerap mengunakan kata ‘nasionalisme’ untuk menghardik para penyumbang kritik dan para inisiator perubahan sosial. Kelompok yang terhardik ini beberapa kali diklasifikasikan sebagai ‘tidak nasionalis.’ Di saat yang sama, nasionalisme islamik juga kerap melabeli para penyumbang kritik dan inisiator perubahan sosial dengan sebutan liberal, komunis, tidak bermoral dan sejenisnya. Setelah 73 tahun merdeka, mengapa corak penafsiran nasionalisme kita masih terjebak pada dua corak yang kurang ramah terhadap progres?
Salah satu faktornya adalah: meskipun reformasi telah terjadi, tapi Soeharto berhasil meninggalkan warisan berupa ketakutan terhadap hantu gerakan kiri di masyarakat Indonesia. Di samping itu, keberadaan hantu ini juga memberikan keuntungan tertentu bagi pihak-pihak yang punya kepentingan tentang bagaimana Indonesia, Pancasila dan Nasionalisme seharusnya ditafsirkan. Akibatnya, gerakan-gerakan ataupun wacana seperti perburuhan, hak perempuan, kebebasan berpendapat, kesejahteraan agraris, dan sejenisnya sangat sulit tumbuh subur di Indonesia.
Di saat yang sama, tidak suburnya Indonesia bagi gerakan progresif justru memberikan iklim kondusif bagi gerakan islamik tarbiyyah era 90-an untuk tumbuh semakin subur ketika pasca-reformasi. Tingginya angka hijrah, fundamentalisme dan sejenisnya yang direkam oleh banyak lembaga penelitian hari ini adalah buah dari warisan Orde Baru. Maka, sampailah ‘nasionalisme’ terjebak pada dua corak penafsiran yang demikian.
Ketika dua penafsiran tersebut terlibat dalam ketertarikan politik, nasionalisme berubah menjadi wahana bagi praktik kekuasaan ala-ala Foucault: menguasai pengetahuan (penafsiran) sama halnya menguasai kekuasaan. Negara sebagai aktor terkuat tentu punya posisi yang lebih menguntungkan dalam melanggengkan pengetahuan dibanding kelompok-kelompok yang berusaha menyainginya.
Akan tetapi, uraian SNA dalam tulisan bagian pertama, mengindikasikan adanya kemungkinan kuat bahwa para pesaing negara dapat memberikan ancaman yang tidak remeh. Potret SNA berikut menunjukkan bahwa pengetahuan nasionalisme yang militeristik sekaligus state-centric mendominasi pemberitaan daring. Sedangkan, sebagaimana yang telah dijelaskan di tulisan bagian pertama, akun promotor nasionalisme yang berafiliasi dengan negara justru kalah pamor dibanding akun promotor nasionalisme yang berasal dari kelompok Islamik (yang notabene gerakan sibernya tersusun dari influencer islamik, pasukan siber, dan bot). Artinya, ada kesenjangan antara apa yang dipromosikan oleh negara di media pemberitaan daring dan apa yang sebenarnya terjadi di dalam dinamika media sosial.
Gambar 2 menunjukkan bahwa, pengetahuan nasionalisme di pemberitaan daring yang ditawarkan oleh negara cenderung berwarna militeristik. Nasionalisme diafiliasikan dengan keamanan, stabilitas, ketertiban dan mistifikasi simbolik. Jika ada yang bertanya tentang apa itu nasionalisme, aparat keamanan sejak dulu telah menjadi penafsir rujukan, dan rujukannya diinternalisasi oleh sebagian besar lembaga pendidikan (mulai dari tingkat dasar, hingga tingkat tinggi). Namun, kapan kah budayawan, seniman, pemuka dan penghayat agama lokal, buruh, petani dan mahasiswa bisa mendapatkan ruang yang sama otoritatifnya dengan aparat keamanan ketika menafsirkan nasionalisme?
Sebagai catatan penutup, berkaca dari dinamika SNA nasionalisme yang hanya dihidupi oleh dua corak, dan sebagian besar pengetahuan tentang nasionalisme yang ada pada dinamika itu berasal dari influencer dan akun pasukan siber. Maka, sepertinya kita perlu menelaah ulang konsep nasionalisme di ruang digital, dan merumuskan strategi tentang bagaimana sumber informasi yang lebih kredibel dapat bersaing dengan teknologi digital.
Di samping itu, menurut hemat penulis, ternyata nasionalisme yang dipotret oleh SNA menyimpan potensi letupan politik. Potensi ini terindikasi dari tingginya afek kemarahan yang mengitari isu nasionalisme di ruang digital.
Kemarahan ini boleh jadi berasal kekecewaan penghayat nasionalisme islamik terhadap status-quo yang dibangun oleh penghayat nasionalisme kebangsaan. Juga sebaliknya, penghayat nasionalisme kebangsaan merasa terganggu dengan visi nasionalisme islamik yang ingin mendirikan daulat ke-umat-an eksklusif.
Zizi Papacharissi, dalam bukunya Affective Publics: Sentiment, Technology and Politics (2015), mengingatkan agar waspada terhadap akumulasi sentimen antar kubu beserta peran teknologi dalam menularkannya. Afek, kata Papacharissi, adalah rasa keinginan seseorang untuk ikut bertubuh dengan kelompok afiliasi yang ia merasa terhubung. Kemarahan seorang individu dalam payung afiliasi tertentu merupakan bagian dari ekspresi solidaritas sekaligus respon logis atas ideologi yang dianutnya.
Ketika nasionalisme kita terjebak pada kemarahan antagonik, maka kubu-kubu yang ada didalamnya rawan menjadi mainan aktor populis. Akhirnya, alih-alih sibuk membangun format nasionalisme transformatif, bisa jadi, kita justru akan sangat disibukkan oleh ping-pong dari nasionalisme dangkal dan nasionalisme islamik yang keduanya sama-sama retrogresif.