Mengganti sholat Jumat (shalat Jumat) dengan shalat dhuhur tampaknya asing di telinga kita. Apalagi jika selama hidup kita tidak pernah melaksanakan hal demikian. Atau seumur hidup kita belum pernah menemukan bacaan yang membolehkan mengganti sholat Jumat dengan shalat dhuhur.
Semua permasalahan jika dikaitkan dengan agama, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa agama itu hadir. Jawabannya adalah agama hadir untuk mewujudkan adanya kemaslahatan bagi umat manusia, karena tidak mungkin agama hadir untuk membuat manusia menjadi susah. Selain itu, agama hadir juga dengan tujuan-tujuan yang jelas yaitu memelihara agama itu sendiri, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara akal dan memelihara harta. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dan Imam al-Syatibi
Al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat menjelaskan;
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
Artinya: Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
Kemaslahatan sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa, mencakup tiga hal penting, yaitu Dharuriyyah (primer), Hajjiyah (sekunder) dan Tahsiniyah (tersier). Yang mana dalam setiap tingkatan kemaslahatan tersebut mencakup lima hal penting yaitu hifdzud Din (memelihara agama), hifdzun nafs (memelihara jiwa), hifdzun nasl (memelihara keturunan), hifdzul aql (memelihara akal) dan hifdzul mal (memelihara harta). Kelima hal tersebut kemudian dikenal sebagai tujuan-tujuan utama syariah atau agama hadir adalah untuk menjaga hal-hal tersebut.
Para ulama telah bersepakat bahwa dalam prakteknya, kelima hal tersebut tidak boleh saling bertentangan satu sama lainnya. Misalnya hifdzud din (memelihara agama) yang salah satu caranya adalah dengan beribadah dan menjalankan ajaran dan perintah agama seperti shalat dan lainnya.
Tujuan memelihara agama sendiri, bukan hanya sekedar menjaga kesucian agama, namun juga membangun sarana ibadah dan menciptakan pola relasi yang sehat dalam menjalankan agama, baik antar sesama agama maupun dengan orang beda agama.
Secara tidak langsung, hak ini digunakan untuk menciptakan situasi kondusif dalam mengejewantahkan keberagamaan seseorang. Dalam konteks sekarang, kebolehan mengganti sholat Jumat (shalat Jumat) karena adanya wabah adalah bentuk dari beragamnya cara beragama manusia untuk tetap menjaga eksistensi agama.
Hal tersebut dikarenakan jika tetap memaksakan untuk berkumpul-kumpul dengan orang banyak, dalam hal ini melaksanakan shalat Jumat, berpotensi merusak tujuan agama yang lainnya yaitu hifdzn nafs (menjaga jiwa) atau hak hidup manusia. Hak ini bukan hanya sekedar sebagai alat untuk pembelaan diri, juga harus diarahkan untuk mencipta kualitas kehidupan yang lebih baik bagi diri dan masyarakat.
Merebaknya virus Corona yang sangat mematikan, mengharuskan penjagaan terhadap agama (hifdz al-din) tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan syariat yang lainnya yaitu salah satunya adalah menjaga jiwa (hifdzun nafs).
Kebolehan untuk mengganti shalat Jumat tidak lain adalah bagian dari penjagaan atas hak hidup manusia atau jiwa manusia. Tanpa meninggalkan penjagaan terhadap agama, yaitu tetap beribadah dengan mengganti shalat Jumat dengan shalat Dzuhur.
Sebagaimana diungkapan oleh Quraish Shihab, bahwa segala sesuatu yang mengantar kepada pemeliharaan itu, merupakan anjuran bahkan kewajiban agama. Dan segala sesuatu yang menghambat dan mengakibatkan terabaikannya tujuan tersebut terlarang oleh agama dalam berbagai tingkatannya.
Virus Corona telah dinyatakan oleh para ahli medis sebagai penyakit yang sangat membahayakan jiwa manusia, karena itu agama pasti mempunyai pendapat terkait hal tersebut. Karena ajaran agama bukan hanya soal halal-haram, wajib-sunnah atau persoalan ibadah semata, tetapi juga terkait dengan hak-hak hidup manusia, termasuk kehidupan sosialnya.
Virus Corona yang bisa menular lewat berkumpul dan bergaul dengan orang-orang siapapun dia, maka perlu diambil langkah-langkah untuk menghindarkan pergaulan dengan mereka. Melaksanakan shalat Jum’at yang berkumpul dengan orang-orang banyak, bisa menjadi media untuk penularan virus Corona. Sehingga dianjurkan bagi mereka yang khawatir terhadap dampak buruk bagi kesehatan dari hal tersebut, boleh menggantinya dengan shalat Dzuhur. Begitu juga dengan shalat Jama’ah.
Sehingga para ulama memberi fatwa bahwa tidak dianjurkan bagi mereka yang takut dan khawatir akan terjadinya dampak buruk bagi kesehatan, tidak dianjurkan untuk hadir dalam shalat-shalat jamaah dan shalat Jumat.
Hal tersebut tidak lain adalah bagian dari menjaga tujuan-tujuan agama, yaitu itu menjaga jiwa tanpa menghilangkan tujuan untuk menjaga agama yang lainnya, yaitu menjaga agama itu sendiri. Karena fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama bukan kebolehan meninggalkan shalat jumat dan shalat jamaah, tetapi kebolehan menggantinya dengan melaksanakan shalat di rumah masing-masing.
Kebolehan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat juga bagian dari sebuah tindakan preventif atau dalam Ushul Fiqh disebut dengan Sadud Dzari’ah, yaitu menghalangi atau menutup suatu perantara supaya tidak menjadi sebuah kerusakan, atau meminimalisir dampak yang membawa kepada kerusakan.
Dalam hal ini, anjuran untuk tidak melaksanakan shalat Jumat lalu menggantinya dengan shalat Dzuhur adalah salah satu cara untuk menutup atau meminimalisir penularan virus Corona, supaya tidak menular dan menimbulkan lebih banyak lagi korban jiwa.
Dan sangat tidak benar, bahwa adanya berbagai fatwa tersebut adalah wujud untuk merusak agama. Dengan alasan masjid yang semakin sepi, tempat-tempat ibadah yang sepi. Justru jika hal tersebut tidak dilakukan, akan menimbulkan dampak yang lebih besar yaitu menyebarnya penyakit atau virus Corona yang mematikan.
Jika penyakit tersebut semakin menyebar dan menular ke banyak orang, bukan hanya aspek kehidupan manusia yang hilang. Tetapi penjagaan terhadap agama itu sendiri juga akan hilang, karena banyaknya orang yang tidak bisa beribadah untuk melaksanaka hak-hak beragamanya karena jatuh sakit.
Sehingga dalam hal ini, agama Islam merupakan agama yang memberi kemudahan, segala sesuatu yang membawa kesulitan dihindarkan oleh agama atau diupayakan untuk menghindarinya. Karena tujuan agama atau syariat secara umum adalah mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, dengan memelihara kebutuhan utama mereka.
Dalam hal ini kebutuhan untuk tetap sehat dan bisa beribadah, dengan menyempurnakan kebutuhan sekunder (hajjiyah) dan tersier (tahsiniyyah) mereka, baik itu yang bersifat duniawi (dunia) maupun ukhrowi (akhirat).