Jika saya boleh mengenang Syekh Ali Jaber lewat sebuah Hadis Nabi, maka Hadis itu adalah rekaman Imam Bukhari dan Imam Muslim, berbunyi: al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Apa artinya?
Ya, seorang muslim adalah yang umat muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Ini terjemah tekstualnya. Dan, kalau kita jerengkan secara lebih luas, maka kira-kira ia akan berbunyi: seorang muslim sejati adalah siapa saja yang lisan dan tangannya tidak melukai orang lain.
Jadi, kalau kamu mengaku muslim, tapi kok lisanmu justru kerap merobek perasaan orang lain, lebih-lebih kepada sesama umat Muslim, maka evaluasilah dirimu. Pun, jika kamu mengaku umat Muslim, tapi kok tanganmu masih suka menciderai orang lain, lebih-lebih kepada sesama umat Muslim, maka evaluasilah dirimu. (Tentu ini juga berlaku dan menjadi pengingat buat saya).
Lebih dari itu, lisan dan tangan ini bisa juga bermakna metafora. Di sini kita bisa mengajukan pertanyaan, kenapa Nabi Muhammad mendahulukan lisan ketimbang tangan sebagai simbol yang berpeluang menjadi petaka bagi orang lain? Lalu, perhatikan juga kenapa konjungsi yang dipakai dalam teks hadis itu adalah “wa” (dan)? Kenapa tidak “au” (atau), misalnya?
Lisan adalah pelantang. Lewat lisan, sebuah informasi dibunyikan. Sedangkan lewat tangan, sebuah informasi dimediasikan (bisa lewat tulisan, gambar, ataupun simbol-simbol lainnya). Karena lisan adalah sumber pertama di mana informasi dibunyikan, berarti tangan (boleh jadi) adalah pihak kedua yang turut bertanggungjawab atas sebuah informasi. Ini jika sistem komunikasi suatu peradaban masih menggunakan apa yang disebut Marshall McLuhan sebagai skema “tribal” dan tradisi oral.
Tapi, bagaimana dengan hari ini? Kita, misalnya, sangat mungkin terlibat baku-komentar di media sosial, sambil diam-diam nongkrong di toilet, atau berada di atas angkot, atau sambil nunggu antrean photo perpanjangan SIM, dan lain sebagainya. Bukankah itu berarti tangan bisa mendahului lisan?
Tepat di aras kesadaran itulah kata hubung “wa” (bermakna: dan) dalam teks hadis itu menjadi relevan. Artinya, baik lisan maupun tangan adalah sama-sama memiliki watak destruktif terhadap orang lain.
Dan, daya rusak yang dimungkinkan oleh lisan dan tangan ini sebetulnya tidak melulu soal mengganyang perasaan maupun menempeleng orang. Bentuk lain dari watak destruktif lisan dan tangan ini bisa pula berwujud mis-informasi, ujaran kebencian, hoaks, dan yang lebih kafah adalah hoaks yang diujarkan dengan ekspresi penuh kebencian.
Itulah kenapa, sehubungan dengan siapa “muslim sejati”, Nabi berwejang menggunakan redaksi salima, atau s-l-m, atau bisa dimengerti sebagai “selamat”, lawan kata “petaka”. Jadi, sejauh lisan dan tanganmu tidak menjadi sumber petaka bagi orang lain, sejauh itu pula kamu adalah seorang muslim sejati, seperti yang dibilang Nabi SAW.
Teknisnya tentu saja bisa sangat beragam. Meski begitu, yang paling umum adalah bagaimana sikap kita menghadapi sebuah informasi yang sangat meruah di era serba media.
Yang jelas, di masa lalu, sebelum teknologi secanggih hari ini, ungkapan kebencian, kabar bohong, dan mis-informasi itu tidaklah merata. Dengan kata lain, kemampuan ujaran kebencian atau perilaku represif yang dahsyat hanya dimungkinkan oleh mereka (umumnya adalah petinggi negara) yang punya alat atau corong yang besar—sebut saja industri media atau aparat.
Kiwari, sekat-sekat itu telah semakin abstrak, bahkan lenyap. Akses pun semakin merata. Konsekuensinya, semua orang jadi bisa meluapkan kebencian dengan serentak, seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ini tentu saja berkelindan dengan hadirnya media digital yang memungkinkan semua orang untuk mengakses alat atau corong kebencian yang sedianya tidak merata itu tadi.
Hanya saja, teknologi itu ternyata sebatas alat untuk memperjelas, memperpanjang, atau memperlebar jangkauan dari kemampuan panca indera kita. Mobil, misalnya, sebatas memperpanjang jangkauan kaki kita. Lensa atau kacamata hanya bisa memperpanjang jangkauan mata kita. Demikian halnya media digital atau media sosial, dia sekadar memperpanjang kemampuan orang untuk mendengar, bersuara, berkomentar, bertwit-war, dan sebagainya.
Celakanya, kendati dapat memperbesar jangkauan indera kita, kecanggihan teknologi ini tetap saja tidak akan pernah secara berimbang memperbesar kemampuan emosi dan nalar penggunanya. Artinya, yang diperbesar oleh teknologi hanyalah indera manusia, tetapi tidak dengan nalarnya. Alhasil, kita memang bisa melihat dan mendengar lebih banyak dari yang dulu, tetapi kita tidak siap dengan apa yang kita lihat dan kita dengar. Dan, ini diperparah oleh fakta bahwa teknologi seolah tidak menyilakan kita untuk istirahat.
Nah, persis pada titik itulah daya destruktif lisan dan tangan menjadi semakin meledak-ledak, bahkan pada derajat tertentu tidak terkontrol. Tentu saja, kita bisa menyaksikan fenomena kebencian ini dengan sangat melimpah ruah di media sosial yang, sialnya, cukup banyak diperagakan oleh mereka yang juga mengaku sebagai ustaz tapi hobinya mencaci pihak lain yang berbeda.
Hanya saja, saya masih malas, atau lebih tepatnya adalah keberatan jika harus melibatkan mereka ke altar dukacita ini sehingga menodai momentum berkabung, mengenang Syekh Ali Jaber. Akhir kata, selamat jalan Pak Ali Jaber. Moga-moga dakwah dan teladan panjenengan, kelak, benar-benar terpatri di sanubari publik bahwa Islam itu memang teduh, santun, dan mencerdaskan. Lahul Faatihah…