Merayakan harlah PMII, bagi saya sekaligus mengenang pendirinya. Salah satunya, H. Mahbub Djunaidi. Bukan kiprah politiknya yang hendak saya kenang, melainkan kualitas tulisan-tulisannya. Saya pertama kali membaca karya Bung Mahbub ketika masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Saat itu ayah saya menyodorkan buku karya Michael H. Hart, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Buku ini awalnya enggan saya baca. Tetapi manakala jemari saya membuka secara acak halaman yang menempatkan Nabi Muhammad di urutan pertama, saya merasakan kemasan bahasa yang asyik, lincah, dan tidak bertele-tele. Saya mengecek penerjemahnya. Dan, benarlah, nama Bung Mahbub ada di situ.
Sejak saat itu nama Bung Mahbub melekat dalam benak. Ketika menjadi anggota PMII, saya baru tahu wartawan itu menjadi salah satu pendiri organisasi ini. Saat itu pula ingatan saya melayang ke peristiwa manakala saya membaca buku karya Michael H. Hart. Dan, benarlah, ketika membaca kumpulan kolomnya, baik ASAL USUL maupun DARI KOLOM KE KOLOM, kita tahu jika tulisan Bung Mahbub memang ciamik.
Tulisannya, kita tahu, sangat padat, bernas, unik dan menggelitik. Di tangannya, kritik bisa dikemas dengan jenaka dan sarkastik. Coba kita cermati kolomnya yang berjudul “Pergerseran Tata Nilai dalam NU”. Kolom yang dimuat di Harian Merdeka, 12 Juni 1982, ini menyentil sana-sini. Bung Mahbub menulis sebagai nahdliyin, tapi jangan kira dia bermanis kata. Memuji sembari mengkritik, menyindir sambil memberi hormat. Benar-benar jurus mabuk seorang pendekar pena. Dalam kolom itu pula saya mencatat quote keren dari pentolan harian Duta Masyarakat itu, “Bilamana NU itu dimisalkan sebagai perseroan terbatas, maka para ulama itu merupakan para pemegang saham istimewa yang kedudukannya tinggi di atas awan.”
Nah, keren, kan?
Di tangannya pula, narasi kepedihan bisa ditulis dengan cara yang tidak melulu menerbitkan air mata. Coba cermati gayanya saat menulis dengan gaya satiris melalui “Miskin”. Sebuah kolom yang dia tulis beberapa bulan menjelang kewafatanyanya. Bagaimana gaya tuan tanah di Filipina dia pertautkan dengan novel “ Si Dungu” karya Dostoevsky, lalu dia seret imaji pembacanya ke nasib para petani di Jenggawah, Bojong, jawa Bakti, yang tak berdaya, hingga akhirnya dia menutup kolomnya dengan prosa karya WS. Rendra, “Jangan kamu bilang negara ini kaya, karena orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.”
Sebagaimana maestro, Mahbub Djunaidi telah menciptakan gayanya sendiri sebagai penulis yang khas dan sulit ditiru. Sebagai penerjemah, dia juga piawai meliuk-liukkan kata. Coba cermati gayanya saat menerjemahkan profil Voltaire di buku 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah:
“Voltaire itu sebetulnya nama samaran. Nama yang diberikan bapaknya ketika dia diseret keluar oleh bidan adalah Francois Marie Arouet. Siapa pun panggilannya, yang jelas dia tokoh terkemuka pembaharu Perancis. Fungsinya tidak cuma dwi, tetapi jauh lebih banyak dari itu: penyair, penulis drama, penulis esai, penulis cerita pendek, ahli sejarah, dan filosof. Dia betul-betul juru bicaranya pemikiran bebas liberal.”
Benar-benar asyik. Demikian pula saat kita membaca kolom-kolomnya. Kritik sosial-politik yang dia sampaikan begitu tajam dan dalam. Karena itu dia dijuluki “burung parkit di sarang macan”. Sisi lain tulisannya yang sulit diplagiasi adalah gaya satir dan humoris. Karena kepiawaiannya menulis, dia dijuluki pendekar pena.
Pada peringatan hari lahir PMII ke-58 ini, saya melihat banyak kader PMII yang mewarisi karakteristik Bung Mahbub sebagai seorang politisi dan petarung gagasan. Namun, sangat jarang yang meneladani jejak kepenulisan dari sang Pendekar Pena ini. Bahkan, saya melihat Bung Mahbub terasing di kalangan kader-kadernya. Para aktivis muda PMII kesana kemari membincang gagasan-gagasan para pemikir hebat, namun sayang, (tanpa) sengaja melewatkan pendiskusian karya Bung Mahbub baik berupa karya terjemahan, kumpulan kolom, hingga novelnya yang unik itu.
Dari sini kadang saya merenung, jangan-jangan sebagai seorang maestro, keahlian menulis Bung Mahbub seolah-olah untuk dirinya sendiri, bukan untuk ditiru. Dia ibarat Salvador Dali, Maradona, Rudi Hartono, Pramoedya Ananta Toer dan Rhoma Irama. Mereka ada bukan untuk ditiru, karena karakternya sangat sulit diplagiasi. Mereka seolah ada untuk dirinya sendiri dan kita tinggal menikmati karya-karyanya.
Wallahu A’lam Bisshawab
*) Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Surabaya)