Mengenali Pelintiran Informasi di Era Post Truth

Mengenali Pelintiran Informasi di Era Post Truth

Mengenali Pelintiran Informasi di Era Post Truth

Di tengah hiruk pikuk arus informasi, pikiran kita selalu menjadi wilayah rebutan bagi politisi, pedagang produk, ustadz, agitator atau bahkan buzzer untuk dimenangkan pada satu tendensi, afiliasi, atau kepercayaan tertentu. Dalam situasi ini, ada dua kemungkinan pengalaman yang dapat terjadi di pikiran kita: pertama, memodifikasi (atau bahkan menghapus) apa yang selama ini diyakini. Atau kedua, kepercayaan yang ada di dalam pikiran semakin menguat.

Dua kemungkinan tersebut tidak bisa ditentukan mana yang paling baik karena kedinamisan dunia dan pikiran manusia terlalu kompleks untuk dikategorisasi tanpa saling beririsan. Satu-satunya resep agar selamat dari pembicara persuasif dan bijak dalam menentukan keputusan adalah: berpegang pada kebenaran.

Meskipun ada yang mengatakan bahwa “manusia tidak akan pernah bisa mencapai kebenaran, namun akan selalu otw kepada kebenaran,” tapi klaim ini perlu dihayati bukan sebagai pesimisme, tapi sebagai himbauan untuk tetap rendah hati agar tidak selalu merasa benar.

Akan tetapi, masalah utama dalam berpegang pada kebenaran di masa kini adalah: setiap orang punya rasa, pertimbangan dan interpretasi yang jauh lebih beragam terhadap kebenaran yang sama dibanding era sebelumnya. Namun di saat yang sama, juga terjadi kenaikan hasrat berbicara dan klarifikasi, sekaligus juga terjadi penurunan ketelitian dan kerendah-hatian untuk mendengar.

Situasi seperti ini menjamur karena dipupuk oleh media sosial. Ketika orang berhenti mendengar dan mengamati, prejudis yang ia buat akan sangat terbatas pada hal-hal sempit. Akibatnya, ia dapat keliru dalam bersikap ataupun dalam memecahkan masalah. Ketika ini terjadi pada skala masyarakat, konsekuensinya: perpecahan.

Dalam situasi rebutan, distraksi yang berkesinambungan, impulsifitas psikologis, dan godaan-godaan emosional yang membanjiri di kehidupan sehari-hari, maka diperlukan ‘kapal’ yang memadai untuk mengarungi itu semua agar tidak hanyut. Berikut adalah tips bagaimana mengenali praktik retorika post-truth dan bagaimana mengenali obrolan persuasif pelintir.

Retorika Post-Truth*

Ada banyak cara untuk memahami post-truth. Umumnya berangkat dari pendekatan filsafat, sosiologi pengetahuan, psikologi, komunikasi atau bahkan dari hermeneutika. Tapi di antara semua pendekatan itu, pendekatan retorik adalah yang paling praktis sekaligus paling dekat dengan kehidupan sehari-hari (meskipun tidak dapat dipungkiri juga bahwa di baliknya masih saling berkaitan satu sama lain).

Retorika post-truth, atau praktik berbicara ketika ucapan tidak lagi merujuk pada fakta, kebenaran dan realita, adalah mutasi lanjutan dari retorika ‘biasa.’ Awalnya, retorika biasa hanya bertugas untuk mendandani fakta dan realita agar terdengar indah. Namun, karena rupa-rupa tren yang terjadi―mulai dari media sosial, hasrat politik, populisme hingga ketidak-memadainya tingkat literasi―retorika ‘biasa,’ bermutasi.

Retorika tersusun dari tiga hal: Logos (tata alur argumen dari premis hingga ke kesimpulan), Ethos (kharisma kepribadian si pembicara) dan Pathos (kemampuan mengontrol emosi audiens lewat kata-kata). Di retorika ‘biasa,’ logos adalah hal yang paling diutamakan sebelum ethos dan pathos. Sementara itu, di retorika post-truth, logos digusur sepenuhnya oleh permainan ethos dan pathos.

Ethos dipraktikkan sebagai permainan kharisma yang menentukan kredibilitas seseorang. Hal ini meliputi cara berpakaian, cara berbicara, gestur, cara memainkan simbol yang ada didekatnya, cara pencitraan di media sosial dan efek visual yang digunakan. Si pembicara bereksperimen dengan ethos-nya untuk mendapatkan tingkat kredibilitas yang ia inginkan.

Sehingga, ketika ia telah mencapai taraf ethos tertentu, ia punya kredibilitas semu yang dapat  memberanikan dirinya untuk menantang kredibilitas pakar ataupun institusi yang secara esensial jauh lebih kredibel.

Sementara itu, pathos dapat dilakukan lewat beberapa cara: performa emosi (kesedihan, kemarahan, heroisme, dst), name-calling (sebut nama), labelling (me-label-kan), cerita palsu, penggunaan majas (umumnya: personifikasi, hiperbolik, asosiasi, simile).

Lalu bagaimana nasib logos ketika perannya digusur oleh ethos dan pathos? Peran logos digantikan oleh bullshit (omong kosong). Pembohong masih peduli terhadap keberadaan kebenaran dan takut bila kebohongannya terungkap. Sedangkan bullshitter tidak peduli keduanya. Alias, bullshitter hanya asbun (asal bunyi) agar selamat dari situasi yang mungkin dapat membahayakan dirinya, ideologi ataupun posisinya.

Audiens akan sangat marah jika dibohongi, tapi ketika terkena bullshit, mereka cenderung―paling―agak sedikit dongkol dan esoknya lupa begitu saja. Hal ini yang mendorong orang untuk melakukan bullshit tanpa beban moral. Dan di saat yang sama, bullshitter kerap melontarkan bullshit yang selaras dengan kepercayaan audiens. Sehingga, ketika ini terjadi pada skala masyarakat, bullshit dapat menjadi norma publik karena ada ‘kenikmatan’ tertentu ketika mengonsumsi omong kosong yang sejalan dengan kepercayaan afiliatif. “Setiap bullshit punya audiensnya masing-masing” saya lupa ini kata siapa.

Contoh sederhana dapat di lihat bagaimana Felix Siauw menggunakan metafora Nabi Musa vs Fir’aun dan metafora antara pengikut Allah dan penentang Allah untuk menggambarkan apa yang dialami dirinya; bagaimana ia menggunakan name-calling (mereka) dengan penyertaan label (menentang Allah); bagaimana ia melindungi otoritasnya dengan dengan menyebut ‘para nabi’ dan ‘Allah,’ dst.

Obrolan Persuasif**

Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa ciri untuk mengenali obrolan persuasif:

  • Name-calling. Si pembicara menggunakan cara ini untuk mematikan kejernihan pikiran audiens dan mengalihkan fokus audiens kepada emosi. Emosi name-calling dipantik lewat penyematan label tertentu agar audiens teringat kembali tentang asosiasi subjektif yang ada di pikirannya. Contoh: ‘komunis,’ ‘kafir,’ ‘penentang Allah,’ ‘pengikut Allah,’ dll.
  • Generalisasi yang gemerlap. Pernyataan yang dibangun berdasarkan kata/pernyataan umum yang ambigu seperti ‘umat yang ridhoi Allah,’fitnah-fitnah kaum munafik,’ ‘kehidupan yang tidak makmur,’ Strategi ini biasanya digunakan untuk memainkan interpretasi audiens tentang kausalitas (penyebab) sesuatu.
  • Transfer figur/testimonial. Digunakan untuk melindungi kredibilitas dan otoritas diri yang lemah. Si pembicara biasanya mencatut nama tokoh, ucapan tokoh, atau ayat kitab suci yang dikagumi atau dijunjung oleh audiens untuk melegitimasi klaimnya yang tergesa-gesa.
  • Plain folks. Kebanyakan dari kita lebih mudah menerima informasi dari seseorang yang punya kesamaan (entah itu kedaerahan, agama atau apapun), dan cenderung sulit percaya pada mereka yang berasal dari ‘kelompok luar’ (outgroup). Nah, plain folks adalah istilah untuk menggambarkan: ketika si pembicara berbicara seakan-akan berasal dari akar primordial yang sama dengan si audiens, sehingga ia punya legitimasi untuk membicarakan atau mengklaim sesuatu yang sebenarnya ia tidak kredibel untuk membicarakan hal tersebut.
  • Card Stacking. Si pembicara dengan ambisius menyebutkan setiap detail uraian yang ia bicarakan. Sehingga, audiens dibuat terpukau dengan uraiannya dan lupa memperhatikan bila ternyata si pembicara tidak melakukan proses pembandingan, tidak mengatakan kelemahan-kelemahan detail yang ia paparkan, dan tidak menceritakan dari beberapa sudut pandang. Contohnya dapat ditemukan bertebaran di presentasi-presentasi tentang khilafah, tentang Ottoman versi Felix Siaux, dan tentang pernikahan via paket hijrah-taaruf.
  • Bandwagon/ikut gerbong. Si pembicara mendorong audiens untuk mengikuti mayoritas. Biasanya ia menggaris-bawahi apa yang umumnya dilakukan oleh mayoritas agar membuat mereka yang tidak melakukan terkena perasaan ‘bersalah’ dan perasaan terasing dari komunitasnya. Contoh: “semua umat ikut pergi membela ulama, bagaimana mungkin anda tidak ingin berangkat? Umat macam apa anda?
  • Konteks semu. Ada tiga koran dengan headline yang sama “Anak 10 Tahun Dipukuli kawan-kawannya.” Meskipun headlinenya sama, tapi tiga koran itu punya gambar headline yang berbeda. Koran X menggunakan gambar kepalan tangan, Koran Y menggunakan gambar pentungan, dan koran Z menggunakan gambar seorang anak yang menangis di pojok. Judul headline yang sama, dengan gambar gambar headline yang berbeda akan mempengaruhi bagaimana kita memahami dan mengkontekstualisasi keseluruhan isi berita itu. Konteks semua, dengan kata lain, adalah ketika gambar mempengaruhi ‘citra’ fakta yang di muat dalam sebuah tulisan. Konteks semu dapat ditemui dengan mudah di Instagram dan Youtube.

Sebagai penutup, ketika Sayyidina Ali digugat oleh orang-orang Khawarij “illa hukmu illa lillah” (tiada hukum selain hukum Allah), beliau menjawab “kallamaka shahih wa uridhu biha bathil,” (kata-katanya benar, tapi tujuannya keliru). Akhirul kalam, “Undzur ma qola wa la tandzur man qola, lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.”

 

 Diolah dari:

*McComiskey, Bruce. 2017. Post-Truth Rhetoric and Composition. Utah: Utah State University Press.

*Frankfurt, Harry G. 2005. On Bullshit. New Jersey: Princeton University Press

**Balu Athreya & Chrystalla Mouza. 2017. Thinking Skills for the Digital Generation. Cham: Springer

**Postman, Neil. 1985. Amusing Ourselves to Death. New York: Penguin Books.