Aku menulis kisah ini di bukuku “Lisanul Hal”, Keteladanan. Aku ingin membaginya lagi.
Ibrahim bin Adham (w. 161 H/778M), kelahiran Balkh, Afghanistan, seperti Budha Gautama, pada awalnya adalah putra seorang bangsawan yang kaya raya. Rumahnya bagai istana raja, luas dan megah. Tetapi ia tak betah tinggal di sana. Ia lebih suka mengembara sambil berpuasa untuk berguru kepada para ulama terkemuka di Irak, Siria dan Hijaz.
Ketika ia berada di Kilikiya, seorang hamba sahaya ayahnya datang memberitahukan ayahnya meninggal dunia sambil menyerahkan uang warisan ratusan ribu dirham. Ibrahim kemudian memerdekakan si hamba dan menyerahkan semua uangnya kepadanya. Ia lebih suka memperoleh uang dari bekerja di ladang atau menunggu kebun. Di kemudian hari Ibrahim bin Adham menjadi seorang sufi terkemuka.
Sementara itu Sahl al-Tustari juga adalah seorang sufi terkemuka, kelahiran Persia Iran, yang wafat di Basrah, Irak. Ia juga menjalani kehidupan sederhana dan asketis, melakukan perjalanan ke Mesir dan Makkah. Ia pernah dibuang dari kampung halamannya karena pikiran-pikirannya yang dianggap aneh atau nyleneh. Dalam tradisi sufisme, ia dihormati karena telah mewariskan visi dan kearifan Helenistik dan mengintegrasikannya ke dalam kearifan sufi Islam.
Sahl al-Tustari pernah bercerita tentang Ibrahim bin Adham: “Aku dan seorang temanku pernah bersama-sama melakukan perjalanan jauh bersama Ibrahim bin Adham. Di tengah jalan aku jatuh sakit. Untuk mengobati sakitku perlu biaya yang cukup besar.
Ibrahim kemudian menjual barang-barang miliknya. Bahkan keledai kesayangan yang dipakai untuk perjalanan itupun ikut dijualnya. Ketika aku sembuh aku menanyakan keledainya ke mana. Ibrahim kemudian menjawab telah dijual.
“Lalu dengan apa kita meneruskan perjalanan ini padahal perjalanan kita masih berkilo-kilometer lagi?” tanya al-Tustari. “Naiklah di kedua bahuku” jawab Ibrahim.
Fariduddin Attar menceritakan kembali bahwa ketika mereka harus tidur di masjid yang rusak Ibrahim tidak ikut tidur. Ia berdiri dekat pintu sampai pagi. Manakala Sahl bangun, ia bertanya mengapa Ibrahim melakukan itu.
Ibrahim kemudian menjawab: “Cuaca tadi malam sangat dingin. Aku sengaja berdiri agar kalian tidak menderita karena kedinginan dan biarlah aku yang menanggungnya”.
Begitulah Ibrahim bin Adham. Ia memang seorang pemimpin sejati dan penting untuk dicontoh oleh kita semua.
Tulisan ini diambil dari akun FB KH. Husein Muhammad.