Bagi para pengkaji studi Islam, khususnya kajian (kitab) tafsir al-Qur’an, nama sebeken Ibnu Asyur tentulah cukup familiar. Ya, beliau adalah sosok yang menghidupkan kembali kajian-kajian Maqasid Syari’ah, setelah lama vakum, pasca berpulangnya Imam Syatibi.
Selain sebagai tokoh penting dalam kajian Maqasid Syari’ah, Ibnu Asyur juga dikenal sebagai seorang ahli Tafsir berpengaruh di Tunisia dengan karya fenomalnya, yaitu al-Tahrir wa al-Tanwir—sebuah kitab tafsir yang lahir di era modern atau kontemporer, yaitu penghujung abad kedua puluh.
Lahirnya karya-karya dalam bidang tafsir dengan beragam corak tentu saja tidak lepas dari Al-Qur’an itu sendiri, sebagai mukjizat tertinggi Nabi Muhammad Saw yang mempunyai keagungan sastra dan ragam interpretasi dari para ulama.
Nah, salah satu ragam interpretasi tersebut adalah karya Ibnu Asyur tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir atau bisa juga disebut dengan Tafsir Ibnu Asyur. Di sisi lain, ada beberapa yang menjuluki tafsir karya Ibnu Asyur dengan julukan Tafsir Maqasidi, karena banyak memasukkan ide-ide Maqasid Syari’ah.
Secara metodologi, Tafsir karya Ibnu Asyur menggunakan skema tahlili, yaitu sebuah penafsiran dengan menafsirkan semua ayat Al-Qur’an mulai dari Al-Fatihah sampai Al-Nas. Dan, metode seperti ini banyak dilakukan oleh para mufassir klasik. Sebagai perintis kajian Maqasid Syari’ah setelah Imam Syatibi, maka tidak mengherankan jika dalam tafsirnya tersebut Ibnu Asyur juga menuangkan ide-idenya terkait dengan Maqasid Syari’ah.
Bahkan, dalam mukaddimah tafsirnya Ibnu Asyur mengatakan bahwa penulisan kitab al-Tahrir wa al-Tanwir adalah puncak keinginannya dalam menulis sebuah karya dalam bidang tafsir, yang mengandung dalam hal keduniaan dan agama, termasuk mempunyai kandungan dari sisi kebenaran yang kuat, mencakup ilmu-ilmu secara komprehensif, dan bisa mengungkap sisi kebahasaan (balaghah) Al-Quran. Itu semua, ditujukan supaya bisa menjelaskan percikan ilmu, serta penggalian hukum terhadap Al-Qur’an itu sendiri.
Sebagai sebuah karya yang lahir di era kontemporer, tentu banyak rujukan-rujukan yang digunakan dalam menulis tafsir tersebut. Rujukan-rujukan kitab tafsir yang digunakan oleh Ibnu Asyur dalam menulis tafsirnya, antara lain adalah al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, al-Muharrar al-Wajiz karya Ibnu Athiyyah dan lain sebagainya.
Meski begitu, Ibnu Asyur lebih dominan mengutip atau merujuk pada tafsir karya al-Zamakhsyari, walaupun sebetulnya Ibnu Asyur juga tidak sepenuhnya sependapat dengan penafsiran dan pemikiran al-Zamakhsyari.
Tafsir Ibnu Asyur, dengan demikian, mempunyai banyak penjelasan atau penafsiran dari sisi kebahasaan yang merujuk kepada tafsir al-Kasysyaf, termasuk dalam mengungkap berbagai kelembutan dari segi kebalaghahan bahasa Arab dan uslub-uslub dalam penggunaanya. Penjelasan hubungan ketersambungan antara satu ayat dengan ayat yang lain juga menjadi bagian yang tidak bias dilewatkan dari tafsir Ibnu Asyur.
Lebih jauh, tidak saja menggunakan metode tahlili dengan corak penafsiran lughowi (kebahasaan), Ibnu Asyur juga lebih cenderung menggunakan bentuk penafsiran bi al-ra’yi. Hal tersebut dikarenakan metode tahlili yang digunakan oleh Ibnu Asyur dalam menulis tafsirnya menjelaskan atau menguraikan ayat demi ayat sesuai urutan yang ada dalam mushaf, kemudian menjelaskannya kata perkata dengan begitu detail. Mulai dari makna kata, kedudukan, uslub bahasa Arabnya hingga berbagai aspek lainnya dengan menggunakan logika, yaitu logika kebahasaan.
Adapun pendekatan penafsiran yang terdapat dalam tafsir Ibnu Asyur adalah Adabi al-Ijtima’I, yaitu sebuah penafsiran yang mengungkap ketinggian bahasa Al-Qur’an, lalu mendialogkannya dengan realitas sosial kemasyarakatan. Pendekatan seperti ini banyak digunakan kitab-kitab tafsir kontemporer, seperti al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Ibnu Asyur dan kitab tafsir lainnya.
Dalam tafsirnya, Ibnu Asyur juga banyak mengungkapkan tentang perbedaan qira’at lalu menjelaskan penafsiran dari masing-masing qira’at serta mengunggulkan salah satu yang paling kuat. Beliau juga mengutip pendapat para Ulama dan terkadang membandingkannya, serta memilih pendapat yang lebih kuat, termasuk dalam ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum.
Walaupun bermazhab Maliki, namun Ibnu Asyur banyak mengunggulkan mazhab lain jika hal tersebut dinilai benar. Inilah yang dimiliki oleh Ibnu Asyur, sosok yang tidak fanatik terhadap mazhab dan tidak sungkan untuk mengunggulkan mazhab lain.
Salah satu kontribusi baru dalam dunia tafsir yang muncul dengan adanya tafsir Ibnu Asyur adalah dengan memasukkan ide-ide Maqasid Syari’ah dalam menafsirkan Al-Qur’an.
“Bahwa tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah untuk menciptakan adanya kemaslahatan dalam seluruh urusan umat manusia,” Begitu pandangan Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir.
Lalu, Ibnu Asyur merinci bahwa kemaslahatan umat manusia akan tercapai jika ada kemaslahatan personal (al-shalah al-fard), kemaslahatan sosial kemasyarakatan (al-shalah al-jama’i) dan kemaslahatan peradaban (al-shalah al-‘umrani). Dan unsur-unsur kemaslahatan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Sehingga sebuah karya tafsir pada khususnya dan karya lainnya pada umumnya, haruslah menjadi sesuatu yang solutif bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Oleh karena itulah, Ibnu Asyur juga banyak memasukkan masalah etika dalam kitab tafsirnya. Karena beliau berharap bahwa lahirnya karya tafsir tersebut bisa menjadi pedoman bagi manusia dalam berakhlak kepada sang pencipta, kepada manusia dan makhluk di sekitarnya.
Tafsir karya Ibnu Asyur tersebut tentu menarik, termasuk jika menjadi bahan rujukan dalam memecahkan sebuah permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat atau bahan-bahan kajian dan bacaan. Apalagi jika dikomparasikan dengan kitab-kitab tafsir lainnya, yang lahir sebelumnya atau dengan tafsir yang berbeda dari segi bentuk, pendekatan maupun corak, tentu akan membentuk sebuah ide, gagasan atau pemikiran yang progresif dan komprehensif.
BACA JUGA Kitab Tafsir Al-Qur’an Terlengkap Pertama Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini