Tradisi intelektual Muslim memiliki banyak contoh kontestasi dalam hal makna dan implikasi dari konsep-konsep utama dalam agama. Beberapa contoh yang paling menonjol adalah kontestasi terkait makna sunnah, salafisme, iman, tauhid dan jihad. Akibatnya, konsep ini dan konsep-konsep utama lainnya dalam tradisi intelektual Muslim mengalami penyesuaian sepanjang sejarah oleh berbagai aktor agama dan politik, dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Untuk alasan-alasan berbeda, kelompok atau aktor tertentu mampu memonopoli beberapa konsep tersebut dan kemudian dianggap – atau, memang menganggap diri mereka sendiri – sebagai penafsir paling terpercaya, jika bukan satu-satunya yang sah.
Sejarah penafsiran yang saling bertentangan ini kadang terlupakan dalam menganalisis berbagai aspek Islam kontemporer, termasuk dalam ranah politik. Salah satu konsep tersebut adalah Islamisme (islamiyyun/islamiyyin) yang muncul dalam konteks negara-bangsa modern pasca-kolonial di negara mayoritas Muslim. Seperti yang umum diketahui, Islamisme mengacu pada gerakan politik yang menentang pendirian politik ‘sekuler’ otoriter di Timur Tengah atas dasar semacam “Islamisasi” platform masyarakat.
Sementara beberapa akademisi seperti John Esposito, Peter Mandaville dan Andrew March telah mempermasalahkan kategori “Islam politik” sebagai suatu konsep homogen, sepengetahuan saya, tidak ada yang menyarankan bahwa para pendukung pendekatan “liberal” terhadap Islam harus diberi label ‘Islamis’. Saya kira penyebabnya adalah karena Islamisme telah sangat erat diasosiasikan dengan gerakan politik Islam konservatif seperti Ikhwanul Muslimin di mana terjadi semacam peleburan terminologi, sehingga secara konseptual menjadi sinonim.
Hal ini kemudian menciptakan kesulitan terminologis lebih lanjut ketika pemikiran dan pendekatan politik gerakan-gerakan tersebut terhadap Islam semakin berkembang. Hal ini memicu diskusi tentang fenomena yang dikenal sebagai “post-Islamisme” – istilah yang diterapkan secara teratur pada kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir setelah tahun 1990-an.
Perkembangan terbaru lainnya adalah pengenalan konsep baru, yaitu konsep Muslim demokrat, sebagai pengganti dari kata “Islamis”. Contoh utamanya adalah Partai An Nahda Tunisia pasca “Arab Spring”. Memang, baru-baru ini dikatakan bahwa istilah “Islamisme” tidak lagi berlaku atau tidak lagi cocok untuk partai politik ini karena komitmennya terhadap proses demokrasi yang menjamin label baru tersebut.
Salah satu konsekuensi yang tidak menguntungkan dari menyetujui atau menerima perubahan terminologi semacam itu adalah hal ini memperkuat gagasan bahwa hanya bentuk-bentuk politik Islam yang tidak demokratis yang pantas diberi label “Islamis”. Bentuk politik Islam yang tidak demokratis tersebut tercermin dalam hal pandangan mereka tentang kesesuaian teoretis Islam dan demokrasi, bukan hanya dalam pendekatan mereka yang sebagian besar utilitarian terhadap demokrasi elektoral, seperti dalam kasus Islamis puritan Mesir.
Menurut saya sangat penting bagi kita untuk mengacaukan dan pada akhirnya memisahkan perpaduan konseptual antara Islamisme dan ekspresi-ekspresi Islam politik yang konservatif dan puritan. Mengingat bahwa kita punya sejarah panjang kontestasi dan penyetaraan konsep-konsep utama dalam tradisi Islam, serta munculnya bentuk lain dari Islam politik – yaitu Islam progresif yang memiliki interpretasi sendiri tentang sejarah intelektual Muslim dan hermeneutika Islam.
Karena itu, saya ingin memperkenalkan kategori konseptual baru Islam progresif berdasarkan interpretasi Muslim progresif tentang Islam yang memiliki implikasi politik yang nyata. Tidak seperti sebagian besar bentuk Islam konservatif, Islam progresif berpandangan kosmopolitan, menganut demokrasi konstitusional dan gagasan kontemporer tentang hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan masyarakat sipil yang dinamis.
Islamis Progresif secara luas dikaitkan dengan karya cendekiawan Muslim seperti Abdulaziz Sachedina, Khaled Abou El Fadl, Hassan Hanafi, Nurcholish Majid, Ulil Abshar Abdalla, Abdullahi An’Naim, Ahmad Moussalli, Hashim Kamali, Muqtader Khan dan Nader Hashemi. Mereka adalah tokoh-tokoh Muslim Progresif yang paling menonjol, meski mungkin terdapat perbedaan pandangan.
Seorang Islamis progresif adalah seseorang yang secara serius dan kritis terlibat dengan spektrum penuh tradisi Islam (turats) dan menganggap bahwa Islam bukan hanya masalah keyakinan pribadi individu, tetapi memiliki relevansi dalam arena politik – tetapi hanya sesuai dengan prinsip-prinsip yang diuraikan di atas.
Dalam pandangan saya, bentuk Islamisme ini akan menawarkan beberapa solusi nyata bagi negara-negara mayoritas Muslim yang masih terjebak dalam perseteruan antara rezim politik otoriter dan kelompok Islam konservatif.
Mengingat pentingnya ajaran Islam dalam kehidupan umat muslim, dan banyaknya konsep utama dalam tradisi Islam yang pada dasarnya sarat akan perdebatan, saya melihat bahwa neologisme seorang Islamis progresif akan bisa mempermasalahkan, mengacaukan dan, mudah-mudahan, secara konseptual memisahkan konsep Islamisme/Islamis – dan, secara lebih umum, memisahkan konsep Islam itu sendiri – dari ekspresi Islam politik yang konservatif dan puritan.
*Artikel ini diterjemahkan oleh Asep Rofiuddin dari artikel berjudul Why I am a Progressive Islamist. Artikel ini diterjemahkan atas kerjasama Adis Duderija dengan el-Bukhari Institute.