Kita mungkin pernah ditakuti dengan cerita-cerita seram. Entah orang tua atau teman yang biasanya menceritakan cerita tersebut. Akibatnya kita seringkali merasakan ada sesuatu yang menghantui kita. Kita tidak pernah mengecek apakah itu benar adanya atau hanya perasaan saja.
Pada prinsipnya teori konspirasi memiliki modus yang sama. Kala kita ketakutan atau sedang menghadapi masalah, sering muncul perasaan ada suatu persekongkolan dari orang lain. Namun sering berhenti tanpa pembuktian, sebagaimana cerita hantu di atas.
Adapun jika kita mengecek Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, kata konspirasi memiliki arti persekongkolan atau komplotan orang dalam merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan rapi dan sangat dirahasiakan.
Oleh sebab modus operandinya yang mulus dan rahasia, maka kita sering kesulitan untuk membuktikan sebuah konspirasi dan hanya berujung desas-desus. Ketidakmampuan kita inilah yang kemudian populer dengan teori konspirasi.
Sedangkan teori konspirasi diartikan sebagai “suatu teori, bahwa kejadian atau gejala timbul sebagai hasil konspirasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, dan adanya suatu lembaga yang bertanggungjawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan.”
Cukup dulu soal teori konspirasinya, kita akan kembali lagi nanti. Indonesia pasca bom Surabaya dan aksi teror di Thamrin mulai “menyingsingkan lengan baju”. Lihat betapa Pemerintahan Jokowi jilid kedua sangat konsen memberantas radikalisme dan ekstrimisme, terutama di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
Dalam hal ini lalu lintas perbincangan dan konten di media sosial disebut akan diawasi sangat ketat. Pemerintah berpendapat ada banyak akun media sosial bermuatan “Islam garis keras”, yang dianggap membahayakan nasionalisme warga.
Untuk itu pemerintah merasa perlu mengadakan pengawasan pada lalu lintas aneka komentar, caption, hingga status di jagat layanan jejaring sosial. Sebab dalam defenisi pemerintah radikal dapat merujuk pada konten yang mengandung unsur kebencian, informasi yang menyesatkan, intoleransi atau sentimen anti-Indonesia.
Apa yang dilakukan pemerintah tersebut mendapatkan kritik dari banyak kalangan, terutama kelompok pro-demokrasi, karena rentan akan terjebak pada pengekangan kebebasan berbicara rakyat Indonesia.
Adapun saya melihat pengawasan media sosial oleh pemerintah itu juga memiliki kerumitan lainnya, yakni mendeteksi penanaman ideologi kekerasan tersebut. Jika ekspresi berupa konten, postingan, cuitan atau caption di linimasa diawasi penuh. Namun saya masih meragukan efektivitas dan kemampuan mendeteksi penanaman ideologi garis keras.
Konten kekerasan memang sering mendapatkan sensor entah dari operator atau pihak pengelola laman, namun yang perlu disadari pihak berwenang adalah konten non-kekerasan juga bisa menanamkan ideologi kekerasan.
Saya melihat ada dua konten yang bisa membawa ideologi kekerasan masuk ke dalam kepala masyarakat, yakni impian dan teori konspirasi. Memang sulit dan rumit bagi kita untuk membuktikan dan memilah mana konten memiliki muatan ideologi kekerasan. Namun, lewat menjual impian dan konten teori konspirasi orang bisa mulai memiliki ketertarikan pada ekstrimisme.
Selama ini kita percaya bahwa adanya faktor ekonomi yang bisa menyeret orang masuk ke dalam kelompok terorisme. Padahal kelindan antara impian dan teori konpirasi yang memiliki kemampuan menyulut glorifikasi perjuangan untuk agama atau kelompok.
Agaknya tidak berlebihan jika kita seringkali mendapatkan narasi teori konspirasi seperti “Yahudi= musuh besar umat”, “Antek-antek komunis”, “Amerika dan Israel adalah antek Dajjal” dan masih banyak lagi.
Kita mungkin bertanya mengapa orang begitu mudah percaya dengan teori konspirasi?
Tirto.id mengutip ceramah Joseph Uscinski, profesor ilmu politik dari University of Miami, untuk menjelaskan alasan mengapa orang percaya teori konspirasi, bahwa “teori konspirasi merupakan alat bagi yang lemah untuk menyerang sekaligus bertahan melawan yang kuat”. Dengan demikian, teori konspirasi dapat dianggap sebagai senjatanya orang-orang kalah.
Jadi dalam kita tak terasa sudah lama tertanam perasaan kalah, baik secara ekonomi, sosial atau politik, makanya potensi melakukan kekerasan pada orang yang kita anggap penyebabnya cukup besar. Teori konspirasi berpusar pada perasaan-perasaan tersebut, yang bisa disemai di kemudian hari oleh pihak yang berkepentingan.
Oleh sebab itu, edukasi dan literasi digital yang seharusnya digalakkan pemerintah jika benar-benar ingin memberantas terorisme. Sebab, pengetatan pengawasan konten media sosial jika salah urus maka akan terjebak pada pembungkam kebebasan berpendapat.
Selama ini pengawasan pemerintah yang ketat memang berdampak minim atau berkurangnya peredaran konten terkait terorisme, terutama yang bermuatan kekerasan.
Akibatnya, konten bermuatan narasi terorisme di media sosial bisa saja bertransformasi kembali pada narasi impian dan teori konspirasi, dan akan menyemainya jika waktunya sudah tepat.
Sebuah langkah bijak yang bisa dilakukan sekarang adalah membanjiri konten yang mendidik dan mengajarkan nilai-nilai demokrasi, kebangsaan dan toleran. Sebab, bangsa yang besar tidak akan dibangun hanya lewat pengawasan yang ketat dan keras, tapi lahir dari ikatan kebangsaan yang disemai dari pendidikan nilai-nilai di atas.