Ibarat yang disematkan kepada orang munafik adalah musuh dalam selimut. Mereka lebih berbahaya daripada musuh yang tampak meskipun menakutkan. Sulitnya mengidentifikasi mereka adalah faktor utama mengapa Nabi tidak semena-mena untuk menindak. Meskipun Nabi mampu untuk mengetahuinya, sudah semestinya berkat informasi wahyu, tidak lantas Nabi dengan leluasa menindak mereka. Itulah hal menarik yang perlu kita bicarakan dalam kesempatan kali ini.
Tidak jarang ulah orang-orang munafiq mengancam Nabi, keluarga, dan umat islam. Berita bohong yang membuat Aisyah, istri Nabi, begitu tertekan psikologinya adalah ulah dari orang munafiq. Perang Uhud yang berakhir dengan banyaknya korban juga tidak luput dari propaganda mereka. Namun, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan Nabi menghabisi nyawa mereka, meskipun al-Qur’an begitu mengecam sifat munafiq.
Ada pernyataan yang sangat mengganggu bagi keutuhan masyarakat Madinah. Tepatnya antara orang-orang muhajirin (warga asli Makkah) dan anshor (warga asli Madinah). Sufyan, sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani ketika mengulas tafsir QS. Al-Munafiqun ayat 8, menyebutkan bahwa kejadian tersebut terjadi pada waktu perang Bani Mushtoliq (ghazwah bani mushtaliq).
Sebelumnya, ada dua istilah ketika sejarawan membahas tentang peperangan yang terjadi pada masa Nabi, yakni ghazwah dan sariyyah. Ghazwah berarti peperangan yang diikuti Nabi, sedangkan sariyyah adalah peperangan yang tidak diikuti oleh Nabi. Para sejarawan menyebut perang Bani Mushtoliq dengan redaksi ghazwah. Ini berarti Nabi ikut serta di tengah-tengah peristiwa peperangan tersebut.
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fath al-Qadir, dengan mengutip riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, menyebutkan informasi terkait sebuah kejadian dalam perang ini. Peristiwa tersebut adalah keributan dan perselisihan antara orang anshor dan muhajirin. Fakhruddin Al-Razi menyebutkan bahwa yang terlibat dalam keributan ini adalah pembantunya Umar (sebagai orang muhajirin) dan pembantunya Abdullah bin Ubay (sebagai orang anshor).
Pertikaian tersebut semakin memanas. Bahkan pembantu Umar sempat mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar terkait Abdullah bin Ubay. Tidak disebutkam secara pasti, kata-kata apa yang dilontarkan pada waktu itu. Yang jelas, berita pertikaian yang semakin memanas ini akhirnya didengar oleh Nabi. Lantas, apa yang dilakukan oleh Nabi dalam menghadapi masalah yang rumit ini terlebih dalam suasana yang mencekam.
Nabi hanya mengajukan satu pertanyaan yang semua orang pada waktu itu sudah mengetahui jawabannya. Pertanyaan tersebut adalah “apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah?”. Sontak para sahabat menjawab, orang-orang muhajirin (orang makkah) menyerang orang-orang anshor (orang Madinah). Karena Nabi sadar bahwa mereka sudah mengetahuinya, akhirnya Nabi menginstruksikan untuk menyudahi pertikaian yang sempat terjadi penyerangan fisik tersebut.
Apa yang menjadi keputusan Nabi ini akhirnya didengar oleh Abdullah bin Ubay dengan respon penuh kekecewaan. Emosi Abdullah bin Ubay justru semakin naik. Hingga akhirnya, ia mengeluarkan pernyataan yang tidak mengenakan. Pernyataan tersebut adalah “seandainya nanti kami pulang ke Madinah, maka kelompok yang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari bumi Madinah”. Para ahli tafsir menyebutkan, yang dimaksud orang-rang mulia adalah diri Abdullah bin Ubay dengan kawan-kawannya, sementara yang dimaksud dengan orang-rang yang hina adalah Nabi Muhammad dan kawan-kawan anshor.
Pernyataan Abdullah bin Ubay bukan berarti meneyelsaikan masalah yang sebelumnya sudah mereda. Hal tersebut dibuktikan, ketika berita pernyataan Abdullah bin Ubay sampai ketelinga Nabi, Umar bin Khattab mengajukan diri dan meminta intruksi dari Nabi untuk menghukum Abdullah yang menurutnya telah lancang. Umar menyatakan, “wahai Nabi, utuslah saya untuk memenggal orang munafiq ini”.
Dengan melihat kata yang digunakan oleh Umar diatas, status kemunafikan Abdullah bin Ubay sepertinya sudah bukan merupakan rahasia lagi. Dalam artian, memang Abdullah bin Ubay sudah ditetapkan sebagai orang munafik dan disadari oleh umat islam sebagai musuh yang berbulu domba. Disinilah kita akan menemukan jawaban yang menarik dari Nabi terkait masalah ini.
Masih dari keterangan Asy-Syakauni, Nabi justru menolak yang menjadi usul Umar. Nabi justru menyatakan, “jangan, tidak diperkenankan manusia akan mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri”. Dalam hal ini, Nabi disamping tidak membunuh Abdullah bin Ubay, Nabi pun tidak memberikan pernyataan apalagi perintah untuk membunuh Abdullah. Nabi bukan sosok yang mengajarkan untuk mudah menghabisi nyawa seseorang. Nabi bukan pembegal dan pembunuh anak bangsanya sendiri. Meskipun Nabi telah mengetahui siapa kawan dan siapa lawan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
A. Ade Pradiansyah, penikmat kajian tafsir, sedang menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo